Menyepelekan Rasa


Mungkin saya sudah sering bercerita, bagaimana Suar tumbuh tangguh untuk umurnya. Dia adalah pribadi yang mencintai dirinya, berani berdiri atas keinginan dan kebutuhannya. Dia tidak punya kesulitan mengekspresikan amarah, kesedihan dan rasa sakitnya. 

Karena tidak kesulitan mengutarakan hal tersebut, kami terlampau terbiasa mendengarnya mengeluh, sakit, bosan, tidak suka, benci, marah atas apapun. Karena terbiasa kami semakin ke sini mungkin semakin menganggapnya hal biasa. Tidak urgent. 

Dia terlampau sering pulang dengan keadaan luka dan berdarah sehingga kami merasa hal tersebut biasa. 

"kasi minyak" Begitu biasanya kami menimpali setelah melihat sedikit.

Ia sering berceloteh "ibu toh, itu terus, kalo kita sakit, kasi minyak, kasi minyak"

Kami lupa, kalau dia hanya anak anak yang terus tumbuh dan belajar. 

Termasuk saat kami memutuskan untuk memindahkan sekolahnya. Saat bertanya, dia langsung mengiyakan. Kami bahkan tidak butuh banyak memberinya pertimbangan kenapa ia mesti pindah. Dia hanya tahu, hal itu akan memudahkan kami jika sekolahnya tidak terlalu jauh dari rumah. Menurut kami, mudah saja bagi Suar.

Ya, karena kami tidak mungkin akan mengambil keputusan yang cepat dan gegabah apalagi terkait lingkungan baru jika ia Maha. Kami akan memberinya banyak waktu, mendengarkan ketakutan dan kekhawatirannya. Maha kamintahu sekali punya kesulitan yang cukup besar dalam menghadapi lingkungan baru. 

Kami pikir itu mudah bagi Suar, tapi kami salah. Tanpa memberinya waktu yang cukup untuk berpikir, tanpa memberinya kesempatan menimbang, dan hanya langsung meyakinkannya "Bisaji Suar lah" Kami dengan cepat mengambil keputusan besar untuknya. 

Di hari pertama sekolah, dia cukup excited. Menyiapkan semua kebutuhan sendiri dan bergegas ingin pergi. Ia beberapa kali mengaku gugup. Saya menemaninya hingga ke kelas, saat ia dikerumuni oleh teman barunya. Setelah gurunya datang, ia diperkenalkan, pelajaran dimulai. Dia menyuruh saya pulang. Hari pertama yang keren. 

Ia pulang tanpa dijemput, lalu menceritakan tentang beberapa teman teman barunya. Tidak ada kendala. Beberapa hari sekolah, dia pulang dengan cerita cerita yang seolah ingin bilang bahwa teman temannya selalu bermain dengan kasar dan gurunya tidak begitu koperatif. 

"Begitu memang beberapa orang, nda selalu sesuai yang kita harapkan" Kalimat saya langsung meledakkan amarahnya. Dia merasa saya menyepelakan keluhannya, tidak menganggap penting ketakutannya. 

Dia menangis sepanjang malam itu sambil menggerutu tentang kenapa hanya dia yang dipindahkan dan Maha tidak. Padahal sekolahnya yang dulu menyenangkan dan ia menyukai semua teman teman dan gurunya. Ia benci sekolah barunya. Dan ia mengungkapkan hal tersebut dengan menangis tersedu, pilu. 

Saya terdiam dan mendalami semua yang ia katakan sambil menangis. Sesekali menimpali dan mencoba mencari pembenaran atas keputusan yang kami ambil untuknya. Tapi, saya mesti mengakui, kami memutuskan dengan cepat karena selalu berpikir bahwa Suar bisa menaklukkan banyak tantangan di depannya. 

Tapi salah. Sekali lagi, Suar hanya anak anak. Dia tidak akan setangguh itu dan kami sejatinya tidak boleh menaruh beban terlalu besar untuknya. Saya kesal pada diri sendiri. Tapi hal hal administrasi terkait kepindahannya sudah diurus. 

"Bagaimana kalau Suar coba dulu sebulan, kalau tidak suka. Mari kita diskusi kan lagi. Suar mungkin akan pindah lagi, atau apa saja yang buat Suar senang" Kata saya malam itu dan cukup membantu menenangkannya. Dia tidur. 

Keesokan harinya, dia bangun. Mengambil tas dan buku. Mengerjakan PR. Dengan semangat. 

Saya takjub. Dia cepat pulih. Menurutku, karena dia fasih mengungkapkan hal yang ingin dia katakan tanpa mempertimbangkan banyak hal. Dia tidak perlu mempertimbangkan bagaimana kami akan kerepotan mengurusi sekolahnya dan semacamnya. Dia tidak memikirkan itu. Dan itu harusnya SAH bagi anak anak. 

Kemarin, dia pulang. Wajahnya tidak berbeda. 

" Ibu ditappeka' temanku " Ia berkata seolah itu hal biasa. Saya langsung murka. Saya memintanya menceritakan dengan detil lalu mengambil telpon dan menghubungi wali kelasnya. 

Tidak ada respon sampai pagi ini dan rencana nya saya akan ke sekolah bertemu guru dan teman temannya. 

Saya dan bapak telah sangat salah karena selalu menyepelekan perasaan Suar, menganggapnya drama atau tindakan mencari perhatian. Bahkan jika itu betul, harusnya kami tidak menegasikan semua perasaan yang ia ungkapkan ke kami dengan terbuka dan jujur.  Kami selalu terburu buru menuntutnya untuk lebih baik versi kami atau versi yang ditunjukkan Maha pada kami. Kami ingin dia tumbuh dewasa padahal dia masih anak anak. 

"Ah ibu selalu bilang ke orang, tidak boleh menyepelekan rasa sakitnya orang, pas saya bilang sakit, ibu bilang " Tidakji " , padahal saya yang rasa " Saya harap, kelak kamu tidak perlu mengulang kalimat ini lagi. Mari saling mengingatkan, kita sama belajar dan bertumbuh sebagai manusia.

Ibu Nhytha

Moncongloe, 15 Februari 2022

Komentar

Postingan Populer