Dari Rumah Saya Nyatakan Penolakan

Sumber : detik.com
Sejak kemarin saat timeline saya dipenuhi dengan betapa resahnya dan marahnya kita dengan tindakan terburu-buru pemerintah mengesahkan RUU Cipta Kerja, saya lalu teringat satu adegan penting di film dokumenter Revolution Will Not Be Televised yang menjadi inspirasi besar saya menulis skripsi tentang Chavez belasan tahun lalu. 

Di salah satu adegannya, seorang perempuan pedagang kaki  lima disorot kamera, turun dari warung kecilnya dan bilang “saya turun ke jalan hari ini bukan membela Chavez, tapi saya membela UU Negara saya, sembari menunjuk UU yang tertempel di dinding warungnya” saat itu, saya berjanji akan mulai rajin membaca Undang-Undang agar tahu betul bagaimana negara menjaga saya dan ratusan juta kehidupan di dalamnya.  Janji yang tentunya, hanya berakhir sebagai janji semata.

Dan pembenaran saya sederhana, UU kita sepertinya memang dibuat bukan untuk jadi bahan bacaan rakyat biasa seperti saya, apalagi ditambah rutinitas apalagi ditambah kemalasan tingkat dewa. Maka berterima kasihlah saya pada lembaga-lembaga sosial, organisasi, media yang telah mengkaji itu bertahun-tahun, lalu merangkumnya dengan nyeni melalui banyak infografis yang mudah dipahami.  Ini juga bisa jadi jawaban banyak orang yang sampai kemarin sibuk bertanya “kamu sudah baca Undang Undang nya tidak?” 

Tapi, andai saja saya menepati janji, mungkin saya tidak perlu begitu kebingungan dan kelabakan akibat banyaknya informasi yang masuk, yang saya paksa serap hanya dalam kurun waktu beberapa hari perkara RUU Cipta kerja ini. Jika beberapa pagi ini saya mengisi energy dengan lagu-lagu Blackpink, sembari menidurkan Rekah pagi ini saya menyimak wawancara Dita Indah Sari di Kompas TV via youtube. Tentu karena dia sudah berada di barisan pemerintah, pemaparannya pemaparan standard yang berusaha meyakinkan kalau rancangan UU ini diperbaharui agar jauh lebih baik dari UU perihal ketenagkerjaan sebelumnya. Tidak ada yang baru.

Tapi, melihat prosesnya, melihat bagaiamana ia secara ugal-ugalan didorong lalu kemudian disahkan, saya kira penting bagi saya untuk menaruh curiga. Dan setelah membaca sana-sini, UU Cipta Kerja ini menurut saya terlampau kendor, sangat tidak tegas, dan punya banyak celah untuk dimainkan kuasa. Pengusaha punya banyak peluang untuk memutar plintir undang-undang ini. 

Lalu, kalian mungkin bertanya, mungkinkah hal ini akan mempengaruhi hidup saya? Pasti 

Saya seorang ibu rumah tangga, punya suami dosen tetap di universitas swasta. Undang-Undang ini bisa diapakai perusahaan memPHK suami saya dengan alasan sedang rugi atau bangkrut tanpa pesangon yang layak. Suami saya bisa dituntut atas jam kerja yang panjang dan minim libur. Saya akan kesulitan merencanakan waktu liburan, momen bersama sebagai keluarga berkurang, beban kerjanya meningkat, di rumah ia letih lalu kesulitan mengerjakan pekerjan domestic, pasti akan berujung ke saya.  Saya akan lebih letih, “me time” saya berkurang, saya akan lebih cepat marah lalu anak-anak bisa jadi sasaran empuknya.

Saya ibu rumah tangga sehari-hari di rumah, menggunakan air sumur untuk pekerjaan sehari-hari. Tapi, air tanah semakin hari semakin berkurang, saya kesulitan. Dan akan semakin kesulitan karena undang-undang ini, Investor  dipermudah untuk menanamkan investasi dan membangun perusahaan tanpa mengkhawatirkan  dampak lingkungan. Kalau kalian bertanya lagi, apa dampaknya pembangunanan sama air tanah, plis duleee.                                    

Saya ibu rumah tangga yang masih produktif. Jika kelak akan bekerja, saya tetap harus bekerja saat nyeri haid di hari pertama dan hari kedua datang. 

Dampaknya mungkin melalui jalan panjang untuk saya yang perempuan, kelas menengah, dan punya akses untuk terus berdaya. Tapi, jangan tanya bagaimana dampaknya bagi para pekerja, buruh harian, bagi asisten rumah tangga, bagi buruh perempuan, bagi nelayan, petani dan keluarga miskin yang nyata hidup bersama kita. 

Saya ibu rumah tangga yang akan melihat anak-anak saya tumbuh menjadi mesin pekerja yang tenaga dan pikirannya bisa saja dinilai dengan angka yang tidak layak.  Saya bisa saja menyarankan dan menyiapkan mereka untuk menjadi  mandiri, tidak bergantung pada perusahaan, agar tidak perlu terikat langsung dengan undang-undang ini.  Bisakah mereka lari? Bisakah saya atau anak-anak saya tidak terikat atas undang-undang sapu jagat ini, lalu memilih tidak perlu peduli? 

Tentu tidak, karena menurut saya BUKAN ITU INTINYA.

Intinya adalah negara secara jelas memperlihatkan bagaimana ia mengurusi rakyatnya, yang adalah saya, yang adalah kalian, yang adalah anak-anak saya kelak. Mereka  pongah menentukan aturan dengan bebal. Mereka tidak mau mendengar. Buruh, mahasiswa sudah meneriakkan penolakannya di jalan,  akademisi sudah menyuarakan pernyataan sikapnya, beberapa lembaga berbasis keagamaan juga ikut mengecam, jurnalis menunjukkan protesnya, tapi undang-undang ini tetap disahkan. 

Secara sederhana atau mungkin kasar, begini, UU kita yang ideal dalam kerangka tekstual saja selama ini bisa diakali, bisa dipermainkan, bisa tunduk didepan kuasa modal. Bagaimana hasilnya, jika undang-undang, mentah-mentah secara gamblang memang tidak menunjukkan keberpihakan pada rakyatnya? Hari ini mungkin kamu tidak bersinggungan degan keputusan DPR 5 Oktober lalu, tapi tidak akan lama. Mereka akan mengejarmu dengan rentetan rancangan omnibus law yang merongrong untuk disahkan. Dan penting bagi saya untuk melibatkan diri.

Tulisan ini saya tulis dengan sudut pandang “saya sekali”. Sangat individual berdasarkan kepentingan saya sendiri.  Sengaja saya tulis untuk kalian yang masih berpikir bahwa demonstrasi buruh dan mahasiswa sepanjang jalan di Makassar sejak dua hari lalu tidak mewakili kalian. Saya, selalu tunduk  hormat pada mereka. Semoga terlindungi dan tetap sehat. 

Tulisan ini selemah-lemahnya kekuatan saya untuk menolak tindakan sewenang-wenang pemerintah atas keputusannya mengesahkan UU Cipta Kerja, UU yang tidak berpihak pada saya, seorang perempuan,  ibu rumah tangga.

Ibu Nhytha, Wesabbe 8 Oktober 2020

Komentar

Postingan Populer