Suar dan Hak Atas Tubuh


Sejak dini, sebisa mungkin, semampu kami, Saya dan bapak komrad, selalu  berupaya menjelaskan ke MahaSuar tentang bagaimana tubuh mereka bekerja. Walau pelan, kami mencoba tidak merasa tabu membicarakan tentang sex sejak mereka kecil. Tentang alat kelamin, tentang proses reproduksi, tentang bagaimana mereka berdaulat atas tubuhnya sendiri.

Suar beberapa kali ditertawai karena mengucapkan kata penis di depan teman-temannya saat menunjuk alat kelamin. Tapi ia tidak merasa aneh sama sekali. 

Suar piawai menjelaskan bagaimana sperma yang serupa berudu berenang-renang menuju sel telur demi menjelaskan kenapa ibu bisa memiliki Adek Rekah di perut. Yang ia bingung, bagaimana sperma yang milik lelaki bisa ada di kolam perempuan. Yang itu belum saya jelaskan, pada Maha sudah. Dan ia senyam-senyum malu.

Perkara tubuh, kami begitu menghargai pilihan mereka. Misalnya yang paling sederhana meminta izin saat ingin mencium mereka. Begitupun sebaliknya, saya marah besar saat Suar tanpa babibu menyentuh payudara saya sejak disapih beberapa tahun lalu. 

"Ini tubuhnya ibu, nda boleh ada yang pegang, kalau tidak ibu izinkan" Saya selalu bilang begitu saat dia tanpa merasa bersalah menjalankan serangan mendadak. Sejak itu, Suar tahu sekali bahwa dia juga berhak atas tubuhnya.

Karenanya, beberapa kali dia minta ijin untuk buat tato 

"bisaji toh? Kan tubuhku ini?" Dan saya selalu bilang

"Asal mampujaki menahan sakitnya jarum di tubuhta" ia keder dan berakhir dengan tatotatoan pakai pulpen yang ia buat sendiri. 

Namun, selain itu, saya juga selalu mengingatkan bahwa tubuh punya hak atas dirinya. Dia berhak diperlakukan baik dengan makanan dan minuman sehat, dengan dilatih, dan berolahraga, dia harus dirawat dan dibersihkan. MahaSuar cukup paham dengan hal ini tapi selalu butuh "bantuan" ibu untuk mengingatkan.

Lalu, di awal Oktober kemarin, ada ajakan sunat untuk Suar. Suar lalu mengiyakan karena ia akan disunat dengan temannya, Hilmi. Dia mengaku sangat takut dan deg-degan. Dia ingat betul bagaimana  Maha melewati satu minggu pemulihan dengan meringis atau menangis, sembari dia sibuk menertawai. 

17 Oktober, Suar melaluinya dengan berhasil. Walau sempat berteriak berkali-kali, tapi masih dalam tahap wajar. Suar juga melalui 3 hari pasca sirkum dengan tidak begitu berat. Lalu, tibalah hari kemarin, saat perban dalam mesti dibuka.

Saya memutuskan ke dokter setelah melewati perdebatan dan pertikaian panjang di rumah. Dia memutuskan tidak ingin membuka perban. Dia tidak bisa menghadapi rasa sakit, katanya. 

"Traumaka' ibu" dan banyak penjelasan panjang lebar yang ia keluarkan.

"Tidak, tubuhku ini. Saya yang tentukan. " Katanya sambil menangis. Saya menjelaskan dengan sabar. Tapi dia tetap keukeh. 

Setiba di dokter, sesaat setelah dokter menyuruh ke ruang tindakan, tiba-tiba dia lari sambil menangis. Dia menolak. Meronta. Dengan kekuatan yang entah dari mana. Padahal luka bekas sunatnya belum kering.

Di klinik, sejam lebih. Saya meladeni teriakan, ketakutan, tangisan, dan penolakannya. Saya meminta waktu pada dokter. Tapi Suar keras bertahan.

"Meninggalka nanti' ibu. Ibu tauji itu meninggal? Mati.Tidak adami dunia. Ibu mau bunuhka'?". Katanya sambil meraung-raung. Dia mengulang itu berkali-kali. 

"Bukanka' saya anak hebat. Anak lemahka'. Jadikanma lelucon." Katanya beberapa kali. Kalau tidak dalam keadaan letih, saya pasti sudah ketawa tappokara'. 

Sampai habis kesabaran dan debat yang tidak berujung. Dia tetap tidak mau. Ini tubuhnya. Dan dia yang memutuskan, katanya berkali-kali. Karena alasan itupun, saya berniat tidak memakai kekerasan dan tetap mengandalkan diskusi sebagai jalan keluarnya.

Lalu, saya angkat tangan. Bapak komrad datang dengan sabar yang minim dan membuatnya semakin ketakutan. Dia menolak bapak untuk menemaninya. Perawat pun datang membantu. 

Perban terlepas kurang dari 3 menit dan menjengkelkannya, Suar sudah bisa berceloteh sok imut dengan dokter dan perawat. Saya hanya bisa menahan kecamuk amarah dan lelah yang menyatu.

Suar dan tubuhnya. Suar dan keputusannya. Suar dan ketakutannya. Akan kami ingat, dan akan kami ingatkan kelak padanya. Bahwa karena ocehannya yang tidak habis, yang kalau diingat-ingat sungguh lucu, membuat saya dijudge dokter. Judge yang paling memalukan dan sungguh tidak ingin saya terima

"..terlalu banyak nonton sinetron Indosiar inie..." Hahhaha. Jika dalam keadaan normal, saya pasti akan berdebat panjang dengan ibu dokter. Kami bahkan lupa, kalau ada stasiun tv bernama Indosiar, dok.hihihi.

Kembali ke Suar, dari drama lepas perban yang sungguh tidak kami sangka-sangka, saya senang satu hal. Suar paham betul, bagaimana dia menentukan otoritas atas tubuhnya. Suar harus takluk. Penisnya juga berhak untuk tumbuh sehat, dengan disunat tentunya. 

Selamat Suar, Great Job as Always

Ibu Nhytha

Wesabbe, 22 Oktober 2020


Komentar

Postingan Populer