Tangisan Bapak

Instagram : @maha_el_gaza

Saya melihat bapak menangis untuk kali pertama, saat usia 7 atau 8 tahun. Tepatnya, setelah dia dan mama' mengantar Nanang ke Pesantren di Kajuara untuk melanjutkan sekolahnya. Saat itu, mama pulang dengan sesenggukan dan bapak sibuk menertawainya. Tanpa diketahui mama', beberapa saat kemudian, saya mendapati bapak berdiri dengan punggung yang berguncang menahan tangis dalam shalatnya. Saya tidak begitu ingat yang saya lakukan selanjutnya, tapi moment itu terekam menjadi salah satu moment pilu bagi saya. 

Setelah itu, saya melihat bapak menangis saat sulung di keluarga kami, Mami Heri menikah. Tapi jelas sekali, bahwa tangisan saat itu adalah tangisan bahagia. Yang aneh, dia tidak menangis saat saya menikah kaweee...hehehhe. Dia lebih banyak menertawai saya yang saat pesta pernikahan bersungut-sungut karena dandanan yang terlalu berlebihan 😌 

Tapi, tangisan untuk saya pecah saat dia beserta keluarga lainnya meminta izin kembali ke Bone setelah mengantar saya ke Kendari. Saya dan komrad setelah menikah, bersepakat untuk melanjutkan cita dan mimpi di sana dan bapak melepas saya dengan pelukan yang lama dan tangisan yang dalam.

Bapak seperti banyak lelaki di masanya, tumbuh dengan keras dan dikenal sanak keluarga tetangga sebagai lelaki yang lebih banyak diam, tegas dan pekerja keras. Dan ingatan-ingatan di masa itu, sayangnya tidak lagi bisa ia jangkau. Karenanya kini, kami kerap menceritakan padanya bagaimana begitu hebatnya dia dulu. Cerita itu lebih banyak ia tertawai, ia sangkal, bahkan ia lupakan.   

Bapak hingga kini berjuang melawan serangan penyakit yang menggerogoti segala kemampuannya. Dia jauh lebih banyak diam. Ia lebih banyak lupa.  Kami, anak-anaknya berupaya sebisa mungkin menunjukkan kalau kami anak-anaknya akan bersamanya melewati hari-hari yang mungkin semakin sulit baginya.

Setelah lama, tangisan bapak kami lihat lagi saat sekitar 2 minggu lalu, stroke kedua menghantam tubuhnya. Dia tidak menangis karena stroke, dia menangis saat Heri dan Nanang datang tanpa mengabari dan seperti kejutan yang membuatnya mengharu. Kami semua menangis dan bapak sesenggukan.

Lalu, kemarin, Ana berkabar kalau Bapak bersama Puang Senna, adiknya, diantar untuk berziarah ke makam Nenek Temme. Katanya, di sana, bapak menangis, lama, di depan pusara ibunya.

Bapak kami, 67 tahun, 5 anak 7 cucu, menua dan sakit-sakitan, pun adalah seorang anak. 

Ya, kita menua, berkembang, beranakpinak, menjadi besar, meraya, menghadapi rintangan hidup, menuju cita, menggapai puncak, berada dalam gemintang, menikmati keberhasilan, menginspirasi orang lain, tapi kita tetap anak kecil di depan perempuan dan laki-laki yang kita panggil ibu dan bapak, dan di depannya lah segala sesuatu terasa jadi lebih mudah dan lebih nyaman, bahkan ia tak memerlukan kata.

Sehat selalu, Bapak Ci', Sehat selalu.

Ilustrasi oleh Mahatma El GAza

Komentar

Postingan Populer