Maha, Piala dan Kami Yang Sangat Berbangga

Minggu kemarin, adalah salah satu akhir pekan yang gemilang.  Maha menerima gelimang puja, elu dan tepuk tangan atas usaha yang tidak biasa. Mendapat 2 piala dalam dua hari, seketika membuat Maha menjadi spot cerita dalam akhir pekan kami. 

Seminggu lalu, setelah berdiskusi, diberi pertimbangan, Maha menerima ajakan kami untuk mengikutkan puisinya dalam lomba cipta puisi. Walau rutin menulis, Maha tidak pernah mencoba menulis puisi. Beberapa kali dia bertanya tentang aturan puisi dan bagaimana sebaiknya menulis puisi. Awalnya saya kesulitan, tapi saya mengarahkan Maha membaca beberapa buku puisi di perpustakaan. Saya lupa apa yang membuat susunan kata disebut puisi, atau saya mungkin tidak percaya diri menjelaskan pada maha tentang puisi yang saya pahami. Dalam diskusi, saya bilang begini "puisi itu memadatkan cerita maha" dan justru membuatnya semakin bingung. Akhirnya saya bilang " tulis saja dulu". 

Cara itu ternyata ampuh buat Maha, dia tidak perlu terbatasi dengan aturan yang selama ini dia kenal lewat pelajaran Bahasa Indonesia di sekolahnya atau puisi yang biasa ia bacakan d panggung teater.

"Kalau saya menulis tentang pagi, bisa? " Saya mengangguk dan bertanya
 "kenapa pagi?"
"Pagi itu kaya susah tapi bahagiaki" saya mengangguk dan membiarkannya menulis.

Sekitar 1 hari 1 malam, dia mengerjakan puisinya. Sampai dua malam berikutnya, dia menyetor puisi yang ia tulis. Saya membaca dan menandai beberapa kata yang menurut saya tidak penting. Kami sama-sama mendiskusikan, tentang kenapa kata itu harus ada atau tidak. 

Ada beberapa kata yang diganti kata lain, ada beberapa kata yang dia ngotot harus tetap ada dengan pertimbangan dan sudut pandangnya sendiri. Setelah proses editing, kami membaca kembali karyanya. Dia puas dan meminta saya mengirimkannya.

Lalu, tidak jauh berselang, selepas pulang sekolah, Maha dengan riang menyatakan kalau dirinya ditunjuk  mewakili sekolah untuk lomba menggambar. Saya heran pasalnya Maha jarang menunjukkan bakat menggambarnya  di sekolah.  Apalagi untuk pelajaran kesenian. Dia tidak terlalu senang jika harus menggambar atas titah orang lain. Dan dia selalu kesal, karena tema gambar selalu "pemandangan". 

Takjub sekaligus gembira, karena dia mau berpartisipasi, dan menurutnya ini bisa jadi momentum memperlihatkan bahwa ada jenis gambar lain yang juga bagus, tidak melulu pemandangan. Ia sudah membayangkan apa yang akan digambarnya.

Namun, sayang. Keesokan  harinya, Guru pembinanya memberi bocoran bahwa tema yang akan digambar adalah pemandangan. Ia pulang dengan lesu dan pesimis.

Saat begitu, maha hanya perlu diajak bicara, seperti anak-anak lainnya saya biasanya hanya perlu membantunya melihat dari sudut pandang yang lain.
" Kenapa maha tidak berusaha menggambar pemandangan?" 
"Menurut ibu, maha tidak kalah jagonya jika mau sedikit latihan" 

Begitu saya mengulang-ulang sampai akhirnya dia teringat, saat liburan kemarin dia bersama Puang Ana dan Aira menghabiskan banyak waktu libur dengan menggambar menggunakan crayon sebagai latarnya. Saya tidak tahu, teknik apa namanya. Mereka menggunakan gradasi warna lalu menambahkan gambar serupa siluet. 

gambar saat maha latihan
Dengan ragu, Maha memutuskan menggunakan metode itu. Kami mendukungnya dan menyemangatinya. Berbekal mesin pencari google, maha semalam sebelum hari lomba, giat berlatih. Dia kelihatan tidak puas dengan gambarnya, lalu membuat gambar lagi. Beberapa kali. Hingga waktu tidurnya tiba, maha kelihatan tidak puas dengan apa yang ia usahakan. 

Selama ini Maha memang terpaku pada metode menggambar sketsa dengan manusia sebagai objek utamanya. Dia hanya suka menggunakan pulpen atau pensil dan  tidak terlalu senang dengan warna. Karenanya ia selalu ogah saat lomba mewarnai. 

Pagi, sesaat sebelum pergi saya memberi kesempatan lagi untuk mencari inspirasi untuk gambarnya. Lalu, akhirnya Ia dapat satu pemandangan senja di pinggir pantai dengan pohon kelapa dan orang yang sedang berjemur. Dia mantap memilih gambar serupa.

Tidak saya sangka, maha pulang dengan berita kemenangan. Dia senang karena cara menggambar tersebut membuatnya terpilih sebagai juara. Kegembiraannya berlipat-lipat karena ia akan menerima piala saat upacara bendera hari Senin. 

Kami tidak berhenti berdecak kagum, tidak berhenti memuji kecakapannya, tidak berhenti mengingatkan bahwa ia bisa menggambar apa saja jika ia mau.  
Kami,  semua. 


Tidak lama setelah berita bahagia itu, kabar tentang puisinya juga kami terima. Juara 3. Kebanggan, kebahagiaan kami berlipat ganda. 

Lalu, Suar bagaimana? Suar merayakan paling heboh dengan caranya sendiri. Berteriak, bertepuk tangan, dan mengelu-elukan Kakak Maha. Ia justru kelihatan paling berbahagia. Tapi, disela puja-puji untuk kakaknya, dia dengan berani mempercayai dirinya bahwa ia juga pernah juara. Cerita prestasi maha hari ini akhirnya diselingi dengan cerita Suar yang ia ingat atau yang ia bayangkan tentang prestasinya di sekolah atau di rumah.

Piala Maha hari ini adalah perayaan atas proses yang kami lewati bersama sebagai tim, sebagai keluarga, sebagai partner diskusi, sebagai ruang belajar yang harus terus direproduksi. 

Kami menyemangati menyoraki MahaSuar untuk tiap piala, tiap piagam, tiap prestasi, tiap usaha, tiap langkah yang mereka usahakan dengan baik dan membantunya merayakannya dengan cara yang sederhana. 
Tidak ada yang lebih membahagiakan saat anak-anak tumbuh bahagia dengan apa yang ia miliki lalu mensyukuri dan merayakan setiap usaha yang mereka kerjakan. Sekecil apapun itu. 

Selamat, Maha Suar. Great job as always

ibumahasuar
20 Februari 2019

Komentar

Postingan Populer