Silariang
Kakek saya seorang Imam Desa
selama lebih dari 20 tahun hingga meninggal 2009 lalu di sebuah desa di
Kecamatan Cina, Kabupaten Bone. Darinya saya paham betul, bahwa menjadi Imam
Desa, dia tidak hanya mengurusi perkara mesjid dan seputaran masalah agama. Namun jauh melampaui itu, Imam menjadi salah
satu perangkat adat yang sangat dihormati. Saat ada warga yang bertikai, saat
ada keluarga yang berebut tanah, atau saat ada anak muda yang memutuskan silariang. Beberapa kali, saya menjumpai
orang-orang asing di rumah yang tinggal beberapa saat, lalu pergi, kebanyakan
perempuan muda, atau yang tengah hamil, atau laki-laki muda, atau pasangan
perempuan dan laki-laki muda.
Dalam pandangan remaja saya saat
itu, mereka adalah dua insan yang sedang memperjuangkan cinta mereka, sampai
satu pagi ketika saya bertanya-tanya, nenek saya dengan singkat menyatakan. “ aja’na muissengngi, to mappakasiri’ iyyaro” (kamu tidak perlu
tahu, mereka adalah orang yang membuat malu). Buncahan rasa penasaran saya,
kemudian berakhir di kata itu mappakasiri’
dan berujung tanya sederhana “kenapa orang yang saling menyukai dan ingin
berkeluarga tetiba menjadi aib bagi keluarga mereka?” belakangan, saya baru
tahu, pertanyaan ini tidaklah sesederhana yang saya pikirkan.
Cerita silariang atau kawin lari di Bugis Makassar bukanlah cerita baru,
bahkan di seluruh penjuru negeri. Bangsa kita yang tumbuh dan besar dari sistem
feodal dan patriarki, selalu akan menjumpai kisah drama dimana cinta dua
manusia tidak mendapatkan restu pihak keluarga. Latar belakang cerita, penyebab
dan penyelesaian dalam kasus silariang
selalu beragam, dan tidak pernah berhenti bahkan hingga kini. Fenemona inilah yang coba diangkat dan diceritakan ulang di
Film Silariang-Cinta yang (Tak) Direstui yang
direlease di Gala Priemer Minggu, 14 Januari 2018 kemarin, dari sudut
pandang tradisi dan budaya Bugis Makassar.
Sejak 2014 lalu, harus diakui
geliat industry film di Makassar sedang melaju, salah satu milestone nya saat beberapa film karya anak Makassar
menembus pasar nasional dan tayang di seluruh Indonesia. Walau responnya tidak
melulu positif tapi capaian tersebut memicu karya-karya sineas muda Makassar
yang lain. Dan yang tidak boleh dilupakan, bahwa keberhasilan Athirah menyabet
empat Piala Citra sekaligus dan sebagai Film Terbaik 2016 adalah pun kerja
keras sineas muda Makassar. Di tahun
2017 kemarin, Makassar melepas karya-karya yang juga tayang serentak di bioskop
nasional, sebutlah, Suhu Beku, Molulu, Kaili, dan beberapa judul lainnya. Walau targetan nya tidak sesuai harapan,
namun tidak menyurutkan semangat yang lain untuk melahirkan karya baru.
Silariang, menjadi karya pertama
yang direlease tahun 2018 yang diproduksi Inipasti Comunica dan Indonesia
Sinema Persada. Gala Premeiernya di Studio XXI, Mall Panakukkang kemarin
disesaki ratusan penonton, sejak pagi hingga malam hari. Saya yang menonton threallernya di acara F8
di pantai Losari Agustus lalu, cukup penasaran dengan film ini dan beruntung
bisa menyaksikan Gala Premiernya. Saya menonton di sesi pertama pada pukul
12.20 di Studio 2 dan semua kursi terisi penuh hingga film selesai diputar.
Setiap menonton film, khususnya
film Indonesia saya tidak muluk mengharapkan tontonan yang lebih. Saya justru
selalu berharap dikejutkan dengan ide-ide sederhana yang dieksplorasi dengan
totalitas dan tersaji apik di layar besar di depan jutaan mata nantinya. Adalah
dua sejoli Yusuf (Bisma Karisma) dan Zulaikha (Andania Suri) yang sedang saling
mencintai dihadang problematika besar. Dinding strata sosial yang kuat dan
mengakar sejak ratusan tahun berdiri diantara mereka. Zulaikha adalah golongan
bangsawan berdarah murni, tidak mendapat restu ibunya Puang Rabiah (Dewi
Irawan) untuk menikahi Yusuf seorang saudagar kaya di Makassar. Keduanya dengan
sadar memilih satu jalan silariang.
Bagi orang Bugis Makassar, apalagi golongan bangsawan, tindakan silariang ini mappakasiri’
keluarga mereka dan halal baginya darah lelaki yang membawa lari anak gadis
mereka dan dalam hukum adat, tindakan keluarga perempuan tersebut akan
dimaklumi sebagai upaya mengembalikan siri’
mereka.
Dalam pelariannya, di sebuah desa
yang jauh dari Makassar, cinta Yusuf dan Zulaikha diuji. Mereka miskin dan jauh
dari hiruk pikuk anak muda milenial jaman sekarang. Mereka berbaur dengan warga
kampung dan hidup apa adanya. Berteman dengan satu keluarga yang akhirnya
menjadi teman dan penyelamatnya. Setelah satu dua tahun, persembunyian mereka
terbongkar namun tidak menyurutkan mereka untuk pulang sampai mereka
dibenturkan dengan masalah kesehatan anaknya. Kisah tragis ini berujung bahagia
seperti yang diharapkan pemirsa tentunya.
Dari awal hingga ahir, saya
menikmati film ini. Saya berani bilang, kualitas sinematografi yang ditunjukkan
jauh melebihi film Makasssar yang saya nonton beberapa tahun lalu. Dan itu
melegakan. Film ini dimulai dengan lanskap kota Makassar hari ini, pembangunan
kota, gedung-gedung tinggi nan megah. Penonton juga akan dipuaskan dengan
keindahan alam, karst-karst yang menjulang tinggi, sungai yang jernih, pematang
snan terhampar permai. Di banyak adegan, diselipkan khasanah budaya Makassar
yang kental namun dengan pacakaging yang lebih kekinian. Baju bodo, lipa’sabbe, kain sutra, badik, dan
makanan khas Bugis Makassar.
Sepanjang film, semua tokoh
menggunakan dialek Makassar, dan disertai subtitle Bahasa Indonesia hingga
memungkinkan untuk dimengerti oleh penonton dari seluruh Indonesia. Selain oleh
dua tokoh utama yang memang tidak berdarah Makassar, dialek tokoh lainnya yang
sampai ke telinga saya sangat alami, tidak dipaksakan dan tidak disetting untuk
dilucu-lucukan. Dan itu penting. Industry film kita mulai harus beranjak dari
ide hanya sekedar memuaskan kerinduan orang-orang Makassar akan identitas
mereka yang dipaksa melekat di sebuah film, yang biasanya akan diujungi dengan
tawa penonton. Kualitas acting aktornya pun sangat alami, yang menonjol
sebutlah Sesse Lawing, Muhary Wahyu Nurba, dan Zulfi, kakak Zulaikha.
Yang menarik, film ini menyajikan
beberapa hal yang baru saya ketahui. Dalam adat Bugis Makassar,dalam kasus silariang ada upacara attalassa’ yang merupakan ritual keluarga tumasiri’ (keluarga perempuan) yang secara adat menyatakan anak
mereka telah mati. Ritual ini pun menghapuskan kewajiban mereka sebagai tumasiri’ untuk menghapus siri’ mereka pada annyala’ (keluarga
laki-laki). Di film ini Puang Rabiah memutuskan melakukan ritual ini dan
menyatakan Zulaikha telah mati baginya. Juga ditampilkan prosesi abbaji’ , ini adalah prosesi perdamaian
kedua belah pihak. Proses abbaji ini menandai akhir cerita cinta yang bahagia
antara Yusuf dan Zulaikha. Namun, adegan
yang paling mengutak atik emosi saya, yaitu saat lagu Inninnawa Sabbraki’ dilantunkan mengiringi
permintaan maaf Zulaikha pada ibunya. Mungkin karena lagu ini punya history
yang cukup panjang dalam perjalanan hidup saya
Walau, menikmati film ini dari
awal sampai akhir, saya juga menemukan beberapa adegan-adegan yang tidak pas,
yang tidak nyambung, atau tidak sesuai konteksnya. Beberapa tokoh yang harusnya menonjol tapi
tidak keliahatan, Ibu Yusuf misalnya. Dia terlalu datar untuk seorang ibu yang
ditinggal pergi anaknya. Beberapa
adegan-adegan bocor, saat proses melahirkan yang masih terlalu kasar karena
menampilkan bayi yang sedemikian besarnya. Perpindahan waktu yang tergesa-gesa
juga membuat kisah ini tidak sepenuhnya utuh.
Saya sangat mengapresiasi pilihan
Sang Sutradara Wisnu Adi dalam menonjolkan beberapa adegan yang dengan jelas
menyatakan bahwa fenemona Silariang bukanlah hal mudah yang harus jadi pilihan
atau jawaban atas cinta yang tak direstui. Kebimbangan Zulaikha sebelum
menikah, proses advokasi oleh pak Imam, penyesalan Bisma dan Zulaikha yang
sesekali meluap lewat kemarahann saat kesulitan mendera, dan dua keluarga yang merasakan
penderitaan yang sama hebatnya. Mengapa ini penting, bahwa anak-nak muda yang
mungkin berpikir melakukan hal yang sama, bisa berpikir ulang berkali-kali
sebelum memutuskan hal tersebut.
Walau berakhir bahagia, ada satu
hal yang menurut saya luput ditegaskan dan jauh lebih penting untuk dikabarkan.
Bahwa fenemona Silariang mestinya
tidak lagi perlu ada, mestinya dinding-dinding strata sosial manusia patut
ditumbangkan, bahwa darah manusia yang satu lebih memiliki derajat dari manusia
lainnya, harusnya adalah keyakinan yang usang, karena manusia adalah sama dengan
manusia lainnya, pun darah kita sama merahnya.
Secara keseluruhan, menuruut
penilaian subjektif saya, film ini mendapatkan bintang 8 dalam sakla 1-10 untuk
produksi film Makassar dan bisa kalian
tonton bersama keluarga, bersama teman-teman untuk kemudian dikaji ulang.
Selamat untuk Tim Produksi atas lahirnya karya ini, semoga menjadi picu untuk
melesatnya industry film di kota kita tercinta, Makassar.
Harnita Rahman
Komentar
Posting Komentar