Kado Akhir Tahun Kala untuk Kota



Saya menonton teater kali pertama di Gedung Kesenian Makassar, seingatku di tahun 2005 atau 2006. Saat itu Sinta Febriany yang sekarang dikenal sebagai seniman perempuan Makassar sekaligus pendiri Kala Tetaer, mementaskan naskah monolog. Saya tidak yakin, apakah produksi itu merupakan produksi perdana Kala Teater atau masih dibawah naungan Sanggar Merah Putih. Tapi yang saya pastikan, sejak saat itu saya tidak boleh absen menonton pertunjukan Teater di Gedung Kesenian, khususnya yang diproduksi oleh Kala Teater.

Kehadiran Kala Teater di tahun 2005 yang awalnya saya kenal sebagai anak kandung Sanggar Merah Putih perlu dicatat sebagai langkah baru dalam seni pertunjukan kota Makassar, khususnya teater. Kala Teater perlahan meruntuhkan esklusifitas pertunjukan teater yang bukan rahasia lagi, selalu hanya dimiliki oleh seniman-seniman di kelompok tertentu. Upaya tersebut makin memperlihatkan hasil lewat helatan Festival Kala Monolog yang digelar pertama kali di tahun 2010 dan rutin digelar hingga tahun ini. Kala lewat Festival tersebut menyediakan panggung yang lapang bagi para seniman-seniman muda dan mahasiswa untuk menunjukkan karyanya. Kala rutin mengadakan workshop dan menggelar pelatihan keaktoran, yang membuka kesempatan besar bagi nama-nama baru untuk meraih sinarnya di panggung pertunjukan. Dan menurut saya, yang paling menarik, sejak beberapa tahun terakhir Kala tidak hanya konsern pada kebutuhan artistic dan seni semata, hampir semua karya yang diproduksi lahir dari hasil penelitian baik primer maupun sekunder.

Lalu dalam perjalanannya, di tahun 2015 Kala bersepakat untuk melakukan langkah real di dunia pertunjukan yang bisa menjadi kontribusi untuk pembangunan kota, dalam hal ini Makassar, untuk itu lahirlah project City in Theater. Project ini dilakukan dengan merangkum isu-isu terkini di tengah kota Makassar yang punya pengaruh besar dalam kehidupan masyarakatnya kemudian dipadatkan dan diterjemahkan menjadi naskah dan berakhir pada artikulasi di atas panggung. Di tahun 2015 lalu, Kala memproduksi tiga naskah menngcover persoalan sampah, kemacetan dan banjir setiap tahunnya. Ketiga naskah ini ditulis berdasarkan riset 200 warga Makassar dari semua kalangan dan berkolaborasi dengan tiga penyair Makassar, yaitu Aan Mansyur, Aslan Abidin dan Hendra Gunawan. 

Di penghujung tahun ini, 26-28 Desember kemarin Kala dengan bangga menyuguhkan tiga naskah dalam project yang sama, City in Theater. Melalui hasil risetnya, Kala menilai ada tiga persoalan yang dihadapai kota ini di sepanjang tahun 2017. Yaitu tingginya angka bunuh diri di kalangan anak muda yang termaktub dalam naskah Jangan Mati Sebelum Dia Tiba, Gila Orang Gila sebagai respon atas  maraknya orang gila, dan pro kontra reklamasi Pantai Losari dalam naskah Berikan kami Pantai yang Dulu. 

Sama dengan sebelumnya, ketiga naskah ini, ditulis dan disutradarai oleh Sinta Febriani berdasarkan hasil penelitian lapangan dan angket yang dibagikan pada 200 koresponden, pengolahan data sekunder, berupa literatur-literatur terkait, pun menyelipkan puisi penyair muda  Makassar, Alfian Dipahattang, Faisal Oddang, Ibe Palogai, dan Mariati Atkah.

Dan semalam, saya beruntung berkesempatan untuk menonton produksi Kala di ujung tahun ini. Selama 2017 , Kala menyajikan 3 produksi besar. Tanpa menegasikan keberhasilan pertunjukan-pertunjukan sebelumnya, produksi terakhir ini adalah yang paling brilian. Saya yakin, proses produksinya pun membutuhkan waktu yang panjang. Saya ingat, bertemu teman-teman Kala di satu event di Pantai Losari di bulan Agustus dan mereka menceritakan perihal project yang sedang mereka garap. Saat itu, salah satu pemainnya bertanya pada saya tentang orang-orang gila yang mungkin kerap saya temui di sekitar rumah. Tetiba, perbincangan itu terngiang ketika kali pertama melihat official posternya dirilis, dan kalau saya hitung-hitung itu sekitar 4 bulan sebelum malam ini, bisa jadi tim produksi telah bekerja jauh sebelumnya. Dan proses tidak pernah menghianati hasil, begitu kata awam. Buktinya,  dua hari pertama pertunjukan,  saya menikmati review pendek teman-teman beserta potongan-potongan adegan via akun media sosial yang tidak berhenti menebar kepuasan akan karya tersebut. Pun bagi saya.

Hampir pukul delapan malam, penonton satu persatu masuk ke dalam gedung Kesenian Societtet de Harmoni. Menurut pemaparan singkat yang direlease di akun instragramn Kala Teater, produksi kali ini akan mengajak penonton untuk terlibat tidak hanya secara audio visual tapi juga gerak. Saya sudah membayangkan, bahwa tiga pementasan ini digelar di tiga panggung yang berbeda. 

Panggung pertama, tentang maraknya keputusan bunuh diri di kalangan anak muda. Angka bunuh diri di Indonesia pada tahun 2015 menurut lansiran data Badan Pusat Statistik mencapai 812 kasus. Di Sulawesi Selatan sendiri, di tahun 2017 setidaknya terdapat hampir 10 kasus bunuh diri di kalangan anak muda. Dan ini sangat meresahkan. Anak-anak muda usia 18-30 tahun memutuskan mengakhiri hidupnya dan sebagian besar karena alasan patah hati. Betapa mengenaskannya. Suasana ini dibangun tim artistic dengan sangat detail, memilih ruang yang memanjang dan sempit dengan tiga mata lampu di titik yang berjauhan. Di belakang, jauh di depan, dan disamping panggung. Panggung ini memberikan ruang gerak yang sedikit bagi 5 aktor yang muncul dari belakang satu persatu. Mereka mengenakan busana berwarna hitam dengan kantong plastic menutupi kepala. Properti yang digunakan sederhana tapi sangat tegas. Sekitar puluhan tali gantungan. Dialognya minim dan repetitif, namun jelas menyebut pasal kenapa dan bagaimana mereka memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Saya menangkap satu dialog singkat yang bisa jadi , dianggap sebagai jalan keluar “manusia harus belajar mendengarkan”.

Suara gendang besar dari arah samping memanggil penonton untuk berpindah panggung. Tidak ada property yang berarti selain puluhan baju bekas yang tersebar di lantai dan dinding yang dilapisi kain hitam. Ruang ini lebih besar seolah menggambarkan ketidakterbatasan orang-orang yang kita sebut gila. Mereka bertindak jauh di luar batas orang-orang normal seperti kebanyakan, mereka berbicara hal yang tidak sesuai kaidah-kaidah yang dipahami orang normal. Perkara orang gila di kota Makassar, adalah perkara using yang tidak terselesaikan. Menurut data Dinas Sosial Makassar sejak 2015 terdapat sekitar 205 orang gila yang berkeliaran di dalam kota dan meningkat hingga kini. Upaya Dinsos yang menjalankan Patroli tiap hari di senatero kota tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Bahkan kabar terakhir di beberapa media on line memberitakan beberapa orang gila di Makassar sengaja dibuang ke daerah Maros. Semntara  orang-orang gila di negara ini, mestinya dilindungi negara bukan? Hampir serupa dengan naskah sebelumnya, dialog yang dipilih adalah dialog-dialog minim. Namun kali ini suasana yang terbangun bukan lagi mencekam, namun amburadul layaknya kegilaan itu sendiri.

Pertunjukan ketiga, kita berada di panggung terbuka Gedung Kesenian di bagian belakang yang biasanya dipakai Kala dalam setiap produksinya. Suara angin dan desiran ombak mengantar penonton menuju panggung ini. Panggung nyaris kosong  hanya gambar pantai melalui LCD. Satu persatu actor masuk mengenakan busana putih, jika pertunjukan pertama dan kedua sangat personal, pertunjukan ini lebih dialogis. Kalau menurut Afrizal Malna, yang malam itu diminta menjadi pemantik diskusi di akhir pementasan, “pertunjukan ketiga ini jauh lebih cerewet dari dua pertunjukan sebelumnya”. Dan saya setuju. di pertunjukan ketiga ini, ada dua elemen yang coba angkat bicara. Pemangku kuasa dan masyarakat yang terkena imbas dari reklamasi Pantai Losari. Penonton juga diajak berpikir jauh lebih keras karena gerak tubuh yang ditampilkan berbentur-benturan dengan paparan fakta yang disajikan melalui naskah dan rekaman audio. Pertunjukan ini lebih konfrontatif menurut saya, karena secara langsung memaparkan kegagalan pemerintah menjaga lestarinya Pantai Losari.

Ketiga pementasan ini, menurut saya berhasil mengajak penonton untuk mengolah banyak indra sejak pertama masuk di gedung pertunjukan dan hal tersebut memang sengaja untukdihadirkan sebagai kebaruan dalam pertunjukan Kala.  Ketiga naskah ini dikemas terpisah, menurut pemaparan Sinta Febriani, sang sutradara, tapi tidak menutup kemungkinan garis-garis batas ketiga pertunjukan sangat kentara. Saya sendiri, melihat pertunjukan pertama dan kedua dikemas dari satu sisi dan berangkat dari persoalan personal. Kedua pementasan memaparkan bahwa dua masalah ini, kegilaan dan bunuh diri adalah persoalan kota, namun tidak ada tinjauan yang lebih dalam yang ditunjukkan dalam setiap adegannya. Berbeda dengan issu reklamasi di pertunjukan ketiga. Di sana ada aksi dan reaksi, ada  kontra dan pro kontra. Ketiga pementasan ini, juga adalah tipikal pementasan Kala Teater, ketiganya menyuguhkan olah tubuh yang tidak main-main dan  tidak hati-hati.

Malam itu, penonton antusias dan mengulik banyak hal dari diskusi karya di akhir pertunjukan  yang berlangsung lumayan alot. Penonton tidak hanya merambah perkara simbolik yang tentunya ditafsirkan mejemuk oleh setiap orang, namun tentang gagasan-gagasan yang lahir dari penelitian teman-teman Kala. Tidak hanya membahas perkara artsistik, namun mengulik seberapa jauh kesenian berpadu dengan realnya angka-angka statistik. Dan saya setuju dengan Afrizal Malna, bahwa dibalik angka-angka dan data-data yang menarik untuk diangkat ke atas panggung, maka distulah seni harus menunjukkan  dirinya (saya lebih memilih kata “keberpihakannya”)  

Namun, sejatinya ketiga pertunjukan ini adalah projek menatap kembali wajah kota Makassar sepanjang dua tahun ini. Dan diharapkan, penonton bisa ikut terlibat di dalamnya, selemah-lemahnya iman hal tersebut akan dibicarakan, di setiap akun media sosial mereka yang datang, dibalik caption dan diskusi-diksi kecil setelah menonton pertunjukan tersebut. Dan kerja itulah yang semestinya dibicarakan lebih lanjut, agar kerja-kerja seniman teater tidak berhenti setelah lampu padam, dan tepuk tangan bergemuruh dan upaya ini, mesti dilakukan bersama.




Terakhir, saya menghaturkan terima kasih, rasa salut, bangga dan hormat untuk seluruh Tim Produksi,   untuk kelima actor keren,  Miftahuddin Palannari, Nirwana Aprianty, Wiwin, Nurhidayah dan Arwan Irawan, yang selama hampir20 menit x 6 panggung menunjukkan totalitasnya dan menyuguhkan kepada kami pertunjukan yang super luar biasa, dan untuk sutradara menawan yang tidak berhenti menginspirasi lewat karya-karyanya. Sungguh, ini adalah kado akhir tahun yang mencerahkan untuk saya, dan untuk kota Makassar.

Harnita Rahman

Komentar

Postingan Populer