Janji di Balik Jendela

Jendela selalu punya kisah sendiri bagi tiap orang yang mengadu padanya. Kau bisa melihat apa saja melalui jendela, penglihatanmu bahkan melampau apa yang tersaji di hadapannya. Jendela paham kesedihan, jendela bersabar akan amarah, ia berbahagia atas lemparan senyum kecil yang melaluinya, atau batu-batu kecil yang melemparinya, ia bersenandung mendengar siulan atau nama-nama yang disebut di hadapannya. Jendela menyimpan rahasiamu rapat-rapat, menelan air  mata yang kau adukan setiap rinai hujan, atau umpatan kala terik menghantar. Jendela menjaga sebagian dirimu yang bisa saja terlupa.
Di rumah yang kami tinggali sekarang, maha punya jendela kecil di kamar tidur kami. Lewat jendela, bersama suar, dia bisa tahu siapa yang datang sesaat setelah pagar terbuka. Lewat jendela, dia bisa memastikan apakah teman-temannya sudah siap bermain saat sore datang. Ia senang berada di samping jendela sembari menonton serial kartun favoritnya. Jendela di sini selalu tentang moment-moment yang ia nantikan.
Lain di rumah, lain pula di sekolah. Jendela kelas di sekolah maha adalah cerita tentang penuntasan janji-janji.
Jendela kelas maha, seperti jendela kelas sekolah negeri pada umumnya. Hampir memenuhi satu dinding kelas yang tingginya sepinggang orang dewasa. Setelah  resmi menjadi anak SD dan hampir tiga bulan bersekolah, maha masih menautkan mata dan hatinya pada jendela besar yang hanya dibatasi kawat  kecil yang dirangkai berbentuk persegi kecil. Di bulan pertama sekolah, maha meminta ditemani, sebagai orang yang sadar betapa beratnya melalui hari-hari baru dengan teman-teman baru di sekolah, saya mengiyakan. Seingatku hampir dua minggu saya dan beberapa ibu-ibu lainnya ikut bersekolah. Dua minggu berikutnya, negosiasi saya berhasil, saya diperbolehkan pulang dengan catatan pakai huruf besar tebal-tebal yang artinya itu tidak boleh dilanggar mungkin bahkan ketika musibah apapun menimpa kami  TIDAK BOLEH TERLAMBAT. Itu adalah janji, Dan saya atau bapaknya, begitu hati-hati dengan janji itu.
Begini, maha  adalah tipe anak yang tergolong susah bersosialisasi. Saya menghabiskan hampir enam bulan pertama menemaninya di TK, sampai satu sore dia bilang “bu, besok saya tidak usah ditemani.” Satu kalamat itu, seperti terang yang kami tunggu-tunggu. Dan itu berarti satu hal, bahwa dia telah punya teman atau orang yang ia percayai bisa membuatnya nyaman. Sayangnya, belum cukup setahun merasakan gembiranya bermain bersama teman TKnya, mereka harus berpisah. Dan kami menjalani satu fase lagi yang sangat lama bagi maha untuk mencernanya. Kami “mengulang” proses yang sama. Dan kami berjanji untuk tidak menyerah.
Saya dan komrad tahu betul, bahwa maha selalu butuh waktu yang tidak sedikit untuk memiliki teman baru. Buktinya, dalam setiap ceritanya maha hanya mengulang-ulang tiga sampai empat nama temannya, Daffa, Wildan, Azzam, dan selebihnya maha tidak tau atau lupa namanya. Kami memang hanya butuh ekstra sabar untuk menghadapinya. Melalui minggu ketiga sekolah, kami mulai  lelah, apalagi satu persatu orang tua yng menunggui anaknya mulai gugur satu persatu. Menjadi satu-satunya orang tua yang menunggui anak lelaki kami seperti hal yang tidak biasa bagi banyak orang. Tapi kami mengikutinya. Kami berjanji pada maha.
Namun, ada hal genting yang buat kami_aku dan komrad_ kadang tidak bisa menerimanya. Maha selalu menangis saat masuk di kelas. Walau kami ada di sana, berdiri di jendela. Air matanya seolah tumpah begitu saja. Saya biasanya, dari jendela akan menyuruhnya menghapus air mata lalu mulai beraktivitas. Tapi sekali dihapus, air mata itu berlinang lagi. Seringkali terlihat lucu, seringkali buat saya jengkel. Bahkan sesekali saya marah. Setiap kali jika ditanya, ia selalu bilang “keluar sendiri air mataku”. Dan komrad menyuruhku berhenti menanyainya, “tidak ada jawabannya itu, komrad. Saya tahu betul rasanya” begitu bela komrad pada sulungnya. Jadi, PR selanjutnya memastikan dia baik-baik saja sebelum ke sekolah dan berharap mood itu membuatnya tidak lagi menangis saat masuk di jam pertama pelajaran. Nah, episode air mata ini cukup lama berlagsung. Dan air matanya akan menangis lebih deras saat kami beranjak pulang. Lewat jendela itulah, saya berjanji untuk tidak datang terlambat. Jika dia pulang pukul 10.40, paling lambat jam 10 saya sudah harus ada di sana. Dan dia akan mengulang-ulang itu berkali-kali setiap saya melihatnya. Mulutnya akan berkata begitu jika tempat duduknya jauh dari jendela “jam 10 ibu, tidak boleh terlambat” dia akan mengulangnya berkali-kali dengan mata berkaca-kaca.
Sampai satu sore hampir sebulan yang lalu di bilang “ bu, besok saya diantar sampai pagar saja” kami tersenyum senang, satu fase terlewati. Dan kami bangga dengan usahanya. Namun tetap saja,  saat turun dari motor ia akan mengulang kalimat untuk tidak terlambat dan datang sesuai dengan jam yang ia inginkan. Matanya masih kadang berkaca-kaca dan menurut cerita gurunya, ia beberapa kali masih menangis saat masuk ke kelas. Tapi, tetiba berhenti ketika pelajaran dimulai. Makanya, kami harus memastikan untuk tidak datang terlambat. Menurut pengakuan maha jika orang tua mulai berdatangan matanya tidak berhenti menatap jendela hingga kami tiba. Yah, dan kami merasakannya, saat melihat kami datang melalui jendela, ia akan berikan senyuman, yang berarti banyak hal. Serupa kelegaan, rasa aman, rasa percaya, yang membahagiakannya.
Kami memegang betul janji kami, berusaha sekuat tenaga untuk selalu tepat waktu, untuk tidak membuatnya merasa dilupakan. Kami membicarakan kemungkinan jika kami terlambat, dia hanya harus menunggu sedikit. Tapi, jika terlambat dia akan menangis hingga kami datang dan esok hari dia akan kesulitan mengawali harinya di sekolah. Ada yang bilang, kami terlalu memanjakannya. kami terlalu menurutinya, padahal mereka akan baik-baik di sekolah. Banyak yang bilang, dia mungkin akan kesulitan hidup mandiri.
Menurutku tidak, kami_aku dan komrad_  punya batasan yang cukup jelas antara memanjakan dan menunaikan kewajiban sebagai orang tua. Menyerahkan sepenuhnya anak-anak pada sekolah, membiarkan gurunya mengatasi masalah hampir 20 anak dalam 2-3 jam saja menurutku bukan hal yang bijak. Ada beberapa teman maha yang juga sering menangis di kelas, dan saya liat sendiri gurunya tidak begitu hirau. Menegurnya sedikit, lalu membiarkan waktu menyelesaikan tangisnya. Tidak, anak-anakku tidak boleh tumbuh dengan sedikitpun ingatan bahwa mereka pernah terabaikan oleh kami.
Untuk itu, hingga hampir satu semester, kami tidak ingkar untuk mencoba tidak terlambat menjemputnya pulang. Jendela itu menjadi saksi, bahwa kami akan menepati janji menjaganya hingga ia enggan ditemani lagi. Jendela itu menjadi saksi bahwa dia selalu memiliki kami untu diandalkan. Selanjutnya, kami rapalkan doa agar waktu masih terbentang panjang, lalu ia tumbuh sebagaimana adanya anak-anak dan tidak merasa kekurangan apapun. Hingga kami bertemu jendela-jendela lain dan mengucap janji dibaliknya.

Ibumahasuar

13oktober2014

Komentar

Postingan Populer