CINTA. (dibaca dengan tanda titik)
Hampir seminggu novel baru itu
kuperhatikan. Sejujurnya, saya sering men
judge book by its cover. Apalagi
kalau mau beli buku dan sebelumnya tidak punya refrensi tentang buku yang bagus
dan saya sudah di toko buku. Maka salah satunya, pasti melirik cover yang kece
di mataku. Walau kadang itu tidak selalu benar. Menilai buku dari covernya
punya kecendrungan menyesal sampai 60%. Tidak sama dengan novel ini, seorang
kawan yang sebelum menuju pulang setelah menimba ilmu di kampus Merah
menyumbangkan buku ini dan beberapa buku lainnya untuk Malala Library, dan buku
ini cukup menarik perhatianku. Judulnya sangat pendek dan bisa jadi apa saja.
Karena keperluan administrasi, buku ini menganggur beberapa hari di rak buku
sebelum kuputuskan untuk kubaca dua hari lalu.
Biasanya, tulisan di cover
belakang buku, cukup membantuku untuk menerka ceritanya. Herannya, saya tidak
membacanya diawal, seperti biasa dan baru kusadarai setelah bukunya terlahap
habis hingga halaman belakang. Sampul hitam
dengan tulisan dan doodle putih yang
sederhana memberikan kesan yang elegan pada buku ini. Seperkiraanku,
novel ini adalah novel pop biasa yang bercerita tentang kisah cinta anak remaja
atau yang telah dewasa dengan lika-likunya.
Dan tebakanku betul, prolognya
menggambarkan suasana perpisahan yang memilukan. Dan aku memutuskan membacanya.
Pilihan itu tidak sembarangan. Bagiku yang punya sedikit waktu luang untuk
membaca, menurutku harus tetap punya standardisasi bacaan yang laik konsumsi
untukku. Kasat mata, cara penulisan buku ini mirip Perahu Kertas, 5 CM, Cinta Kemarin,
beberapa novel pop yang menurutku jauh dari kacangan. Yang mengkombinasikan
cerita cinta, musik, seni dan sastra
dalam kisahnya. Dan empat hal itu tidak hanya menjadi tempelan semata, atau
pelengkap, tapi menjadi bagian penting cerita yang jika ia tidak ada menjadi
hal yang agak basi.
Mengambil latar cerita di
Jogjakarta, membuat novel ini menjadi menarik. Subjektif, karena saya bisa
membayangkan tempat-tempat yang penulis sebut secara detail dan rinci. Nah, itu
juga yang menarik, Bernard Batubara, penulisnya, sangat detail menjelaskan
tempat dan suasana. Menurutku, itu hal penting karena akan menggiring pembaca
berimajinasi dengan hampir sempurna. Adalah tokoh Nessa, seorang perempuan yang
bukan perempuan kebanyakan, (dalam artian yang sebenarnya) dengan pergulatan
hatinya. Menyimpan amarah akan kehilangan ibunya yang pergi dengan lelaki lain
dan meninggalkannya berdua dengan ayahnya yang serta merta membuatnya lupa bagaimana
memulai lagi untuk mempercayai hubungan yang berlandaskan cinta. Ia bertemu tidak sengaja dengan seorang
lelaki yang perlahan namun pasti mencairkan gunung es dalam dirinya, Demas. Yang naasnya, saat itu telah memiliki Ivon,
tunangan. Ceritanya menjadi menarik karena kehadiran Endru, laki-laki flamboyan
yang secara sengaja dijodohkan oleh ayahnya untuknya.
Cinta yang nyata Nessa rasakan
pada Demas, membuatnya mulai mentolerir keberadaannya sebagai orang ketiga
dalam hubungan Ivon dan Demas. Ia membenarkan hatinya yang memilih dan dipilih
Demas, walau Demas masih terikat resmi dengan tunangannya. Namun pilihannya bukanlah pilihan yang mudah
diamini kebanyakan orang. Menjadi orang ketiga dalam satu hubungan seperti noda
hitam yang harus segera dihapus. Baik oleh ayahnya, oleh sahabatnya, dan oleh
Endru yang perlahan ia anggap seperti kakaknya. Pergumulannya semakin menarik
karena Nessa bukan hanya melawan mata awam tapi juga dirinya sendiri yang telah
punya cerita kelam akan cinta segitiga ibu-bapak-dan lelaki lain yang merusak
keluarganya, karena ia akhirnya perlahan menjadi “tokoh jahat” itu.
Nessa, Demas dan Endru sendiri
dalam cerita ini punya kesamaan. Mereka sama-sama punya ketertarikan pada dunia
tulis menulis, mencintai sastra, dan jago menulis puisi. Maka jadilah,
perbincangan yang dimunculkan dalam cerita ini menjadi berisi bukan hanya
bualan gombal atau kisah cinta yang mendayu-dayu. Potongan lagu-lagu keren yang
kebanyakan milik Maroon 5 seperti soundtrack
yang mengalun sendiri mengiringi cerita ini. Dan tentunya sensasi berdebar,
marah, jengkel, malu-malu juga sangat terasa saat menyelesaikan novel ini.
Padahal, saya membacanya di tengah mengeloni bungsuku yang sedang demam.
Tapi, seperti novel Indonesia
pada umumnya. Kisahnya berakhir bahagia. Saya mengharapkan akhir dramatis yang
biasanya bikin saya agak sakit hati sampai ingin menulis ulang ceritanya. Yah,
tapi setidaknya novel ini punya sensasi untukku. Layak dibaca dan cukup
mengaduk-aduk rasa.
Hal yang tidak biasa di akhir
cerita ini adalah, bahwa Nessa dari apa yang ia alami bersama Demas, akhirnya
bisa mengerti pilihan ibunya. Bahwa hati tidak pernah salah kemana ia harus
berlabuh, ia hanya kadang tidak tepat waktu.
Untuk itu, menurutku kata cinta tidak perlu dibubuhi tanda titik. Ia
mungkin akan berhenti pada sebuah hati, tapi bukan berarti ia butuh tanda
titik. Ia tidak betul-betul berhenti. Ia terus belajar dan menyempurna hingga
waktu bertekuk lutut.
Ibumahasuar
28oktober2015
Komentar
Posting Komentar