Che Guevara dan Ruang Revolusioner Bernama Dapur

Setelah Soeharto tumbang, orang-orang mulai leluasa untuk memiliki atau bahkan mengoleksi memorabilia tokoh-tokoh revolusioner dan dengan bangga memajang atau memakainya di ruang terbuka tanpa takut dituduh hendak berbuat makar. Dan salah satu tokoh yang saya kira paling banyak dikoleksi memorabilianya adalah Ernesto Che Guevara.

Masing-masing orang tentu memiliki motivasi berbeda-beda saat menggunakan kaos atau memajang poster Che di kamar kosnya. Ada yang hanya ingin gagah-gagahan dan dianggap aktivis lalu berhasil menggaet harim-harim era 90-an akhir hingga 2000-an awal yang menganggap berpacaran dengan aktivis itu punya sensasi dan tentunya seksi. Bukankah kiri itu seksi? Hehehe… 

Tapi beberapa –jumlahnya mungkin sangat sedikit- dari para enthusiast ini adalah mereka yang berharap bahwa etos juang om Ernesto bisa menginspirasi apa yang mereka lakukan setiap hari. Dan saya mengenal beberapa dari yang sedikit ini. 

Salah satunya adalah seorang kawan yang sudah lama tak kujumpai. Terakhir ia menyapaku via kotak masuk akun Facebook disaat hiruk pikuk pemilihan Presiden tempo hari. Ia melayangkan pertanyaan yang mengingatkanku pada masa-masa sesaat sebelum Gus Dur mengeluarkan dekrit. Membayangkan wajahnya yang antusias dengan pertanyaannya barusan, saya lalu tersenyum dan segera menjawab pertanyaannya dengan singkat dan jelas. “Saya sudah lama tak berkoordinasi.” Setelah itu tak pernah lagi kudengar kabarnya.


Saya pertama kali berjumpa dengannya di sebuah koordinasi rutin sebuah organisasi yang tumbuh bersama geliat revolusi prematur ’98. Ia berperawakan tinggi besar dengan rambut panjang hampir sebahu lengkap dengan topi baret di kepalanya. Pokoknya sangat Che Guevara lah. Ia dengan bangga dan sama sekali tak canggung memakai atribut itu kemanapun ia pergi. Dan yang paling penting, si kawan ini adalah pejuang tangguh di masanya. Ia fasih dengan teori-teori revolusioner saat berdiskusi, garang saat berorasi dan tentu giat mengorganisir. Salut!

Saya sendiri punya cerita tentang barang-barang bergambar Che Guevara. Kaos Che pertama yang saya miliki seingatku adalah pemberian seorang kawan asal Samarinda. Kalau tak salah ingat, saat itu kami barteran tapi entah dengan barang apa. Jadi saat berkunjung ke daerah lain biasanya kami akan saling bertukaran kaos yang bertema-tema revolusioner dengan kawan lain. Saya juga dulu punya kalung bergambar Che Guevara yang diberikan seorang kawan di Kendari yang kemudian saya hibahkan ke kawan sekosan saya yang kini jadi anggota Bawaslu di Luwu Utara. Sebuah buku kisah perjalanan Che Guevara juga pernah dihadiahkan oleh adik junior kuliahan dulu saat ulang tahun yang entah keberapa. 

Tapi diantara barang-barang bergambar Che yang saat ini terus ngikut kemanapun saya pergi –selain buku tentunya- adalah sebuah poster berbingkai berukuran kertas A2. Poster itu saya beli seharga dua puluh ribu rupiah plus bingkainya di penjual poster yang sedang lapakan di Fakultas Sastra Unhas. Untuk layanan bingkai poster ini anda harus menunggu sehari atau dua hari karena si abang penjual mesti membawa poster yang kita beli untuk dibingkai di rumahnya. Pokoknya, di masa itu siapa pun ikut menikmati “kebebasan semu” produk khas revolusi premature ’98 termasuk si abang penjual poster yang dengan leluasa dapat berdagang di koridor kampus. Menjual poster tokoh sosialis Kuba lagi… hehehe.

Setelah beberapa kali pindahan bahkan setelah saya menikah dan kini punya dua jagoan kecil, poster Om Che ini tetap dibawa serta dan selalu saya tempatkan di tempat-tempat penting. Motivasinya mungkin lebih banyak untuk gagah-gagahan tapi niatannya sih siapatau bisa menginspirasi dan terus mengingatkan jika perjuangan kemanusiaan harus terus berlanjut.

Kemarin siang, tiba-tiba saya teringat kembali dengan poster Om Che yang beberapa bulan ini saya taruh diatas lemari setelah pindahan dari rumah yang lama bersama beberapa koleksi kolase pemberian kawan yang belum sempat terpajang karena belum dapat ruang yang tepat untuk memajangnya ditambah rasa malas yang lebih merajai. 

Ingatan saya terhadap poster itu muncul saat saya sedang memandangi dinding salah satu ruang yang paling sering disambangi istri saya. Setiap hari saya menjadi saksi bagaimana ibu kedua anak saya itu berusaha keras mencintai ruang itu. Sejak kami menikah, dengan segenap tenaga, konsentrasi dan semangat tak pernah menyerah untuk belajar, ia meracik menu-menu makanan yang semakin kesini semakin nyaman di lidah. Di ruang itu ada harapan dan tentu perubahan menjadi niscaya disana. 

Dan setelah beberapa bulan akhirnya saya menemukan tempat yang tepat untuk memajang poster si pejuang revolusi Kuba itu. Di ruang revolusioner yang bernama dapur. 

“Mengapa di dapur,” tanya ibunya maha. Jawabannya sederhana, semoga poster Che Guevara bisa terus mengingatkan kita jika dapur adalah ruang kesetaraan. Dapur adalah ruang interaksi dan belajar bersama. Dan yang terpenting karena disanalah kita memikirkan dan meracik semua yang dikonsumsi keluarga kecil ini, maka motivasinya sedari awal tentu bukan asal kenyang tapi bagaimana menu yang disajikan adalah suguhan penuh cinta dengan harap bahwa semua energi yang dihasilkan akan bermanfaat untuk kebaikan bagi siapa saja. 

Om Che, terima kasih (sekali lagi) sudah menginspirasi.


Kedai Buku Jenny, 17 Agustus 2015
Merdeka lah sejak dari pikiran





Komentar

Postingan Populer