Cerita ini Tentang Kehilangan

Aku sudah sering kehilangan ponsel. Sejak pertama memilikinya, cerita tentang ponselku yang raib, menjadi hal yang biasa di sekitaran teman kuliahku apalagi yang saat itu dekat denganku. Di salah satu rumahku saat kuliah dulu Teater Kampus Unhas, cerita itu bahkan seperti hal basi yang selalu kuulang-ulang. Pasalnya berbeda-beda, beberapa yang dicuri, beberapa jatu, dan lainnya lupa kusimpan di mana, tapi bermuara pada satu kesimpulan utama “teledor”. Dan itu seolah melekat kuat dalam diriku saat kuliah dulu.

Menjadi teledor ternyata pelan-pelan hilang dalam hari-hariku, mungkin bertambahnya usia membuatku belajar untuk lebih menghargai akan apa yang aku miliki, aku mulai rapih bukan hanya menata barangku  tapi hidupku. Dan, kisah itu berulang tepat diumur 30ku kemarin. Umur 30 adalah angka yang selalu kubayangkan akan seperti apa aku diumur itu. Tapi ternyata waktu berjalan begitu cepat, dan menurutku aku tidak banyak berubah hingga mencapai umur 30 ini.  Aku sama sekali tidak tahu bagaimana, tepatnya saat membelikan Suar sepotong roti di acara Pecha Kucha Night di Trans Mall, ponselku sudah raib tidak lagi berada di tas. Sekitar 50 detik, aku cukup panic. Sekarang, ponsel bukan hanya masalah koneksi, di dalamnya kamu menyimpan identitas yang sebagian hidupmu telah kau percayakan di benda yang selalu kau genggam itu. Tapi tidak sampai semenit, aku menghela nafas. Aku ikhlas. Aku bersyukur, aku tidak menyimpannya bersama dompet seperti biasa. Kuberi tahu komrad dengan tenang, dan menyuruh kawan menghubunginya. Tidak aktif lagi.  Aku duduk, dan menikmati presenter di depanku. Sama sekali, aku enggan merusak malamku dengan resah berlebihan. Ini hanya ponsel, jika punya rejeki, beli lagi. Cukuplah begitu. Aku enggan bersungut-sungut dan memikirkan betapa malangnya aku tanpa benda itu. Ah duniaku akan baik-baik saja dan mengkin lebih baik tanpa bising dunia maya yang selalu ingin kuintip disela rutinku. Betul, aku ikhlas kali ini. mungkin ini masih rentetan kado yang Ia berikan untukku.

Aku hanya  kehilangan ponsel. Bersyukurlah……

Lalu, malam mulai tua. Setelah makan dan mengunjungi LOI, kami pulang. Saya, komrad, Sawing dan Mega. Suar sudah lelap. Perjalanan kami seperti biasa, diisi dengan membicarakan hal-hal yang tak berhenti kami hujat dan ketawai. Dan tawa kami pun perlahan meredup, sesaat sebelum melewati jembatan Racing.

“komrad...liatki coba, ini ada….” Belum sampai kalimat yang menyuruhku melihat ke jembatan. Setiap kali lewat situ,komrad memberitahuku hal yang sama. Untuk melihat anak lelaki bersama dagangannya duduk di jembatan itu. Beberapa kali kulihat ia tertidur di jembatan, atau menggantungkan kedua tangannya sambil menatap jauh ke sungai di bawah, atau ia sedang memperbaiki buah lontar yang dijualnya. Kalian pasti sering melihatnya. Namun, malam itu. Saat lampu mobil menyorot jauh, wajahnya terlihat jelas. Ia sedang menangis berteriak seperti sedang ketakutan. Sedang memanggil seseorang dalam tangisnya. Sontak kami memutuskan untuk berhenti. Mobil diparkir, Sawing dan komrad menghampirinya. Aku bersama Mega diselimuti tanda tanya. Tapi, rasa haru dan sedih mulai menghampiri kami berdua. Wajah anak itu, memilukan. Kuingat maha yang sebagai ibunya, selalu kuusahakan untuk tidak membuatnya takut akan semua hal. Jika ia menangis, aku seperti tertohok ke dalam. Dan wajah meraung anak lelaki itu yang kutangkap tidak cukup dua detik, melahirkan sedih yang tiba-tiba sangat dalam. Kemana orang tuanya, itu pertanyaan pertamaku. Orang tua mana yang sanggup melihat anaknya menangis ketakutan ditengah malam tidak ditemani siapapun.  Aku berkali-kali balik berharap bisa melihat komrad dan Sawing yang mencoba mencari tau. Mega kutangkap pun merasakan yang sama, kami berdua dikerumuni tanda tanya dan rasa sedih mungkin atau apalah namanya. 15 menit berjalan pelan. Komrad dan Sawing datang. Aku dan Mega menyerbunya dengan pertanyaan. Mereka pun bergantian menjawab, dengan suara sedih dan marah. Entah pada siapa.

Anak itu sedang menunggu jemputannya menuju rumahnya di Jeneponto. Bapaknya sedang sakit. Jualannya tidak laku, dan sebagian ia sembunyikan dibalik tumpukan batako yang juga dijual di sana, karena jika jualannya masih banyak, ia tidak akan diambil. Buah yang ia jual sudah hampir busuk. Sawing memberinya uang seharga jualannya. Jika jemputannya tidak datang, ia akan berjalan kaki ke Toddopuli.

Itu keterangan pasti yang diberikan si anak yang kemudian kami tau bernama Rinto, pada komrad dan Sawing. Selebihnya, kamilah yang mengira-ngira dan mengait-ngaitkan. Mencoba menganalisa. Mengutuki siapapun yang sengaja membuatnya menangis malam ini, tentunya sudah kehilangan hati.  Pemandangan seperti itu, mungkin lumrah, biasa saja kau lihat di jalanan Makassar ini. Tapi, Rinto yang umurnya kira-kira 8 atau 9 tahun itu, sendiri, betul-betul sendiri,  jam 1 malam dan menggantungkan harapan pulangnya pada pete-pete yang tidak tahu kapan datangnya. Dia menangis meraung. Memangnya apa lagi yang bisa dilakukan seorang anak kecil yang takut?  Dan itu ungkapan paling jujur yang ia bisa lakukan. Komrad dan Sawing bergantian mengutuk banyak orang yang bisa disalahkan, apa saja. Aku yang sedari tadi menahan tangis akhirnya berhenti membendung air mata. Kudengar Mega sesegukan sesekali. Lalu, perjalanan mengepung kami berempat dalam kesedihan masing-masing, namun aku lebih pada rasa marah pada diriku sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa.  Kami akhirnya tak mengeluarkan kata walau sepatah. Kuyakin, masing-masing kami sedang berkubang pada Rinto.

Tapi, aku lalu mengingat banyak anak yang tidak memilih dilahirkan di tengah kehidupan keras seperti itu yang harus menanggung beban besar di pundaknya.  Mereka tidak memilih orang tua jenis apa yang akan menjadi ibu dan ayahnya. Mereka hanya anak-anak yang tumbuh seperti yang  ayah dan ibunya ajarkan padanya. Aku menangisi masa kecilku yang kuhabiskan dengan bahagia tanpa beban sedikitpun lalu kubandingkan dengan Rinto,aku mengingat anakku maha lalu melihat Suar, lalu dikepung ketakutan jika saja itu terjadi pada mereka, lalu berdoa sebanyak-banyaknya agar mereka tumbuh seperti selayaknya anak-anak. Lalu aku mengingat wajah Rinto yang menangis diterpa cahaya lampu mobil. Aku mengutuki orang tuanya, mengutuki tetanga-tetangganya, mengutuki pemerintah, mengutuki Negara, lalu mengutuki diriku sendiri.

Dan menurutku, yang harus kalian liat sebagai pembeda. Anak ini tidak sedang memelas kasihan. Ia berusaha, ia menjual sesuatu. Saat ditanya sudah makan atau belum,ia menjawab sudah. Jika saja ia ingin meminta, ia pasti mengambil kesempatan atas iba Komrad dan Sawing. Tapi tidak, bahkan saat ia melihat Sawing dan Komrad, ia menyeka tangis lalu memperbaiki dagangannya. Seperti bahagia menjamu pembeli dan siap menjual. Oh Tuhan, sebesar apa jiwa yang kau titipkan dalam tubuh anak sekecil itu? Mungkin di umurku ini, aku tidak bisa selapang itu menghadapi hidup.  Hingga  tiba di rumah, aku tidak bisa melepaskan sepotong wajah meraung anak itu.

Lalu aku ingat, sepanjang Minggu mataku bergerak-gerak. Kuharap itulah kabar terburuk yang harus kulihat.  Aku mungkin tidak sanggup melihat hal yang lebih buruk lagi. Mataku melihat jelas, bahwa ada anak di sana yang memiliki jiwa yang sangat besar yang berjuang atas hidupnya saat seharusnya ia masih berlari-lari bermandikan hujan bersama temannya. Aku yakin, Rinto tidaklah satu. Ada ratusan anak di luar sana yang hidupnya tereksploitasi, yang gelap melihat masa depannya, yang menggantungkan hidupnya di jalan, yang berperang setiap hari membunuh mimpi-mimpi mereka sendiri. Bukankah itu kejahatan yang sesungguhnya? Dan kita ada di tengah-tengahnya…oh shiiiiit!

Aku memang tidak melakukan apapun, tangisku juga tidak akan mengubah nasib Rinto. Keesokan harinya saat kami lewat, dia dengan wajah baru duduk di tempat yang sama dibelakang buah dagangannya. Hidupmu, hidupku, hidup Rinto akan berjalan terus. Tapi tulisan ini tidak akan membuatku lupa, bahwa satu malam tepat di 30 tahunku, setelah kuresah akan hilangnya ponselku,aku ditohok untuk harusnya memikirkan hal-hal yang lebih substansial untuk kuresahkan. Aku melihat wajah yang tidak akan kulupakan. Yang mengajariku banyak, yang lewatnya pesan-pesan untuk saling melihat, saling berbagi dengan kehidupanmu adalah penting.

Yah…kita sepanjang hidup akan kehilangan banyak hal. Ikat rambut, peniti, baju, sepatu, panci, gelas, pacar, hape, laptop, uang. Semua kehilangan yang kita rasakan akan buat kita resah. Kebanyakan bisa kita ganti kembali, bisa kita beli lagi. Tapi Rinto dan banyak anak-anak lainya di sekitar kita telah kehilangan masa kecilnya. Dan kabar buruknya, hal tersebut tidak bisa tergantikan. Mereka melewati masa yang bahkan untuk dibayangkan saja, akan terasa sangat menyesakkan.  Jika tidak bisa melakukan apapun, cukup tidak menambah kesulitan mereka dengan manghardik atau berprasangak buruk terhadap mereka karena sekali lagi “mereka harusnya tidak ada di sana”.    

Mengawali akhir

Desember 1st 2014 

IbumahaSuar

Komentar

Postingan Populer