it's not easy to be....

Di tengah banyaknya alarm dalam Ramadhan ini, aku bersyukur. Malam ini, aku bisa menulis. Sejak Ramadhan, ini malam tercepat si bungsu suar tidak membuat kami lelah dan kadang marah karena matanya yang terus benderang. (dan salah..dia terbangun jam 10 lalu tidur lagi setelah hampir jam 1 malam) Menemaninya sedang tidur, aku berniat membuka ingatanku untuk mereka dalam beberapa waktu terakhir ini…
Suar masih dengan tubuh kecilnya, sekarang mulai melangkah menari, mencoba berlari dan mengeksplorasi kemampuan kakinya di dalam rumah. Ini adalah saat “jatuh dan menangis” menjadi hal yang begitu dekat dengannya, saat dimana penyesalan akan mengujunginya karena ia luput beberapa detik dari perhatian kami. suar sudah berumur 14 bulan. Perhatian memang lebih banyak tertuju padanya. Dan ini bukanlah hal mudah untuk diterima kakak maha.
Diumurnya yang telah melewati usia 5 tahun, maha kritis dengan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya. Perkara cemburu, adalah perkara biasa dalam hubungan persaudaraan. Tapi jika tidak bijak menyikapinya, menurutku akan tumbuh menjadi masalah besar nantinya. Maha yang sejak dini kami tanamkan untuk berani mengungkapkan apapun yang dirasakannya pada kami, satu hari dan beberapa hari setelahnya akhirnya menanyakan hal ini
“ibu tidak sayang sama saya to?” ditambah dengan mimik wajah yang dibuat dramatis. Saya tau betul, maha merasakan bahwa perhatian tidak lagi sepenuhnya tertuju padanya. Aku dan komrad berusaha membuatnya nyaman dengan kondisi ini, situasi yang mengajarkannya untuk berbagi. Makanya, komrad lebih banyak mengurusi maha. Tapi mungkin karena perasaan itu, ia lebih memilih untuk tinggal di Bone bersama mama dibanding bersamaku. Dan jika ia ditanyai, ia lebih sayang siapa? Ibu atau mama (panggilan untuk nenek)? Dia akan berkata “mama”. Pernah juga dia berkata dua-duanya. Lalu ia terdiam, “tapi lebih banyak mama”. Bukan hanya karena mama ia anggap sebagai dewi penolong atas semua usahaku menerapkan disiplin padanya yang  kadang keras dan tak mau ia terima, tapi menurutku lebih banyak karena di Bone ia merasa perhatian yang ia dapatkan tidak timpang. Di Bone, walau ada Aira, ia tidak cemburu. Karena ia mendapatkan perlakuan yang sama. Bersama ade suar, ini menjadi berbeda. Ia bilang begini padaku satu kali
“saya mandi sendiri, makan sendiri, apa-apa sendiri. Ade suar dimandikan, disuapi, diperhatikan. Ade Suar tidak pernah dimarahi, tidak dilarang-larang. Saya disuru-suru, di suru ambil ini..diapnggil panggil..mahaaaa..mahaaaa..tolong..mahaaaa” katanya dengan nada yang miris. Aku selalu tersenyum saat ia menyatakan hal itu. Ekspresinya lucu. Aku berusaha sabar menjelaskan bahwa kemampuan ade suar yang masih kecil, pastinya tidak sama dengan kk maha. Menjelaskan bahwa suar secara verbal belum mengerti dengan apa yang kita katakan. Berbeda dengan kk maha yang sudah bisa mendengar, bisa diajak bicara, bisa dibuat mengerti. Tapi penjelasan seperti itu, tidak juga memuaskannya. Beberapa hari ini, ia bahkan minta disuapi dan dimandikan. Padahal ia telah fasih melakukan semua itu sendiri. Ia berdalih, bahwa aku lebih memilih ade suar dari pada dirinya. Ia selalu bertanya,
“kalau ibu harus pilih salah satu, saya atau ade suar, ibu pilih siapa?” tentunya dengan diplomatis ibu katakan, tidak mungkin memilih dua orang yang dua-duanya lahir dari perut ibu, besar dari air susu ibu. Itupun tentu tidak membuatnya puas. Kemarin, aku punya jawaban baru. Kuceritakan padanya bahwa maha juga pernah sekecil ade suar. Dan kk maha harusnya bersyukur, karena saat itu, maha adalah satu-satunya sumbu perhatian ibu dan bapak. Tidak dibagi untuk siapapun. Itu hadiah istimewa. Sedangkan ade suar, sejak kecil mau tidak mau sudah belajar berbagi. Kareana ade suar tahu, dia punya kk yang juga tentunya akan diperhatikan sama ibu bapak.
Jawaban ini lumayan berhasil. Beberapa hari terakhir, ia tidak lagi mengungkat ungkit tentang skala prioritasku untuk anak-anakku. Aku pusing, iya. Apalagi karena maha tipe anak yang keras dengan pendapatnya.
Seingatku, aku dengan lima saudara tidak pernah memusingkan mama dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Yah, salah satunya mungkin karena kami dididik secara tidak langsung menerima apa yang ada di hadapan kita. Kami tidak diberi ruang untuk bersikap kritis, karena garis pemisahnya begitu tipis dengan ketidaksopanan. Kita tidak diajari mengungkapakan cinta dan sayang secara lisan, bukan tabu, tapi apa namanya di?? Kita malu memeluk,mencium bapak dan mama, ketundukan kita yang paling jelas saat mencium tangan mereka seusai shalat berjamaah, setiap mau pergi ke tempat yang jauh, dan di awal Ramadhan dan di hari lebaran. Namun, aku tidak merasa ada yang kurang, dengan apa yang bapak dan mama berikan. Toh hal berupa kasih sayang tersebut menjadi dalam dan terasa tanpa perlu mengumbarkannya. Ruang-ruang yang lebih demokratis pun di rumah, pada dasarnya sangat terbuka. Buktinya, sejak kecil bapak dan mama tidak pernah memaksakan apa yang mereka inginkan untuk kami. mereka memenuhi apa yang kami butuhkan untuk meraih apa yang kami inginkan.
Entah zaman yang sudah menua, namun menurutku penting membangun komunikasi dengan anak sejak dini. Walau kuyakin dengan pasti, bahwa bapak dan mama telah memebesarkan kami ke lima anakanya dengan sebaik usaha mereka, tapi tetap saja kurasa ada hal yang harus kubuang dan kutambahkan dalam membesarkan dua jagoanku. Yah..zaman berubah. Orang-orang tidak berhenti belajar, semoga aku termasuk di dalamnya.
Terakhir, aku ingin bilang. Aku bangga akan sikap berani kakak maha menghadapi rasa tidak adil yang ia rasakan dalam dirinya. Yah, teruslah lantang saat kamu rasakan ketidakadilan sekecil apapun terjadi di hadapanmu. Suarakanlah, tidak akan mudah tentunya. Dan untuk rasa cemburu itu, biarlah. kamu akan menemukannya dalam banyak bentuk yang berbeda kelak. Menghadapinya, juga tidak akan mudah. Tapi, percayalah bapak ibu selalu ada untukmu.

18 Ramadhan
#ibumahasuar

Komentar

Postingan Populer