My 5 Years Old Maha
Ritme hidup selalu berubah. Kitalah yang memilihnya. Dan
kita juga yang menentukan, akan menjalaninya dengan baik atau tidak. Seperti
keputusan maha untuk sekolah, setelah merayakan ulang tahun ke limanya dengan
sederhana. Ritme hidup kami tiba-tiba berubah. Pagi menjadi terlalu cepat untuk
kami cicipi dengan sendu seperti biasa. Menjadi terlalu singkat apalagi untuk
menambah waktu tidur.
Perkara sekolah bagi maha, sebenarnya bukan perkara baru.
Dia telah menjalani proses sekolah di bone, walau tidak sungguh-sungguh.
Sungguh-sungguh dalam artian bahwa maha terikat aturan untuk datang setiap
hari. Secara, pimpinan sekolah neneknya sendiri jadi maha merasa bisa seenaknya
datang dan pergi. Perginyapun tidak terikat waktu. Datang paling lambat dan
pulang paling cepat. Mahapun ke sekolah, jika hanya sedang berada di Bone,
itupun sekehendak hatinya. Tapi dia menikmati masa-masa di sana. Walau, maha
punya satu kata yang selalu diulang-ulang untuk menggambarkan “sekolah”, yaitu
“membosankan”. Haaaaaa…. (Cepatnya sadar kalo sekolah itu membosankan) *eh
Walau tidak sepenuhnya menolak pendapat maha, kami
mengenalkan sisi lain sekolah pada maha. Sekolah tempat main, tempat bertemu
banyak teman. Itu satu-satunya yang sering bapak dan ibunya andalkan saat
bercerita tentang sekolah, saat ia enggan bangun pagi, dan betul-betul tidak
mau berangkat ke sekolah. Toh pengalaman sekolah, selain itu bukanlah
pengalaman yang membanggakan untuk dibagi untuk sebagian orang.
Sebelum merayakan ulang tahun ke 5nya, maha mulai
berkomitmen, bahwa setelah ulang tahun maha ingin bersekolah. Komitmen yang
datang seperti hujan.. tiba-tiba keras, deras, kuat, dan lama bertahan, tapi
tiba-tiba berhenti tanpa sebab. Dan setelah liburan 2 minggu di Bone, maha siap
mendaftar di sekolah baru. Yuuuuk.. sebelumnya, maha sudah melihat beberapa
sekolah. Ceritanya pun seingatku sudah kubagi. Pilihan maha akhirnya jatuh di
sekolah TK Dharma Wanita Unhas, sebuah TK di Perumahan Dosen di Tamalanrea,
kutempuh 5-10 menit dari rumah, sekolah yang punya criteria yang maha sukai.
Punya halaman luas, dan bangunannya berdiri selayaknya TK konvensional, bukan
ruko ataupun rumah yang disulap jadi sekolah. Senin kemarin, maha mengiyakan
pasti kalau ia akan bersekolah keesokan harinya.
Pagi itu, aku, kami bangun telat. Alarm yang berbunyi satu
jam sebelumnya, tidak mengalahkan kantuk kami karena semalaman tiba-tiba suar
terserang pilek dan ia enggan terlelap. Jadilah, pagi kami berjalan cepat dan
ribut dengan maha yang masih enggan bangun. Sebagai catatan penting, sejak umur
dua tahun maha sulit sekali bangun pagi. Tantangan pagi terbesar kami dan
harusnya telah kami antisipasi jauh-jauh hari adalah membangunkannya paling
lambat 06.30 dan menjaga moodnya tetap bagus. Caranya, saat terbangun, matanya
harus langsung disuguhi film kartun. Itu harus, kalau tidak ia akan bersungut
sepanjang hari karena tidur paginya telah direnggut paksa. Pagi berjalan cepat,
diantara kesibukan menyiapkan keperluan maha dan membereskan pagi suar. Yah,
suar juga sudah harus siap sebelum kami pergi. Suar harus mandi, sarapan untuk
tidur lagi, karena bapak bebi yang harus menjaganya hingga pukul 11.00 ,
pasalnya maha tidak mungkin di tinggal di hari pertama sekolah. Walau pemberian
ASI Suar masih eksklusif, menemani maha
menjadi prioritas. Hari-hari pertama sekolah adalah hari yang berat dan
menentukan perejalanannya bertahun-tahun ke depan. Pagi yang cepat, dan kami
telat. Teman maha sudah berbaris rapid dan siap masuk kelas.
Karena saat di Bone maha ke sekolah bersama dede Aira,
nenek, dan gurunya telah maha kenal
sejak lama, artinya ini pengalaman pertama maha. Maha tidak pandai
bersoisialisasi, apalagi dengan teman sebayanya. Dia harus dipandu dan butuh
waktu lama. Makanya, sekolah penting untuk melatih kemampuan tersebut. Hari
pertama, menurutku berjalan mulus. Berat untuknya, karena maha masuk di tengah
semester, dimana semua anak sudah saling kenal dan hampir menghapal seluruh
lagu yang mereka nyanyikan. Tapi, menurutku lumayan karena maha tidak perlu
ditemani duduk di kelas. Aku duduk bersama orang tua lain di ruang tunggu.
Hari pertama yang menurtku mulus, kujadikan landasan untuk
bisa bergerak maju. Pagi kami mulai lebih cepat dan kami tidak lagi terlambat.
Dan, aku membuat kesalahan besar. Dengan ijin maha, aku meninggalkan sekolah.
Perkiraanku aku bisa datang sesaat sebelum bel istrahat berbunyi. Dan dia telah
mewanti-wanti kalau aku harus segera mungkin datang kembali ke sekolah. Aku
pulang, belanja memasak dan menuju sekolah setelah pukul 9. Dari jauh, kulihat
anak-anak sudah memenuhi halaman. Aku mulai was-was dan kekhawatiranku
bertambah saat orang tua siswa menjemputku dengan tatapan “inimi ibunya”. Aku
berlari dan mendapati maha sudah bercucuran air mata, menangis sesegukan,
dipegangi bundanya yang pasti tidak berhasil membujuknya. Aku memeluknya masih dengan
tangisan yang tumpah. Butuh waktu lama
bagi hama untuk memulihkan diri. Memulihkan diri dari sedih dan amarah. Aku
mendekapnya lama, dan menunggunya reda. Ia masih sesegukan ssembari aku meminta
maaf telah melanggar janji. Ia mengangguk dan menjawab uluran tanganku, masih
menangis. Salah satu cara, yang bisa buat maha memproses cepat emosinya adalah
dengan bercerita. Ia senang mendengarkan cerita sejak kecil, apalagi yang
diceritakan kisah nyata. Kuceritakan bahwa ibu juga dulu sering menangis waktu
TK, walau sebenarnya aku tidak. Aku mengarang cerita demi menguatkan hatinya.
Dan metode itu berhasil. Ia bermain dan melupakan tangisnya.
Bencana hari kedua ini, membuatku merasa bersalah. Aku telah
memberinya tanggungan terlalu besar untuk umurnya yang baru lima tahun. Aku
terlalumemaksakan, ia bisa mandiri di hari kedua. Sebagian anak mungkin bisa,
dan aku mengutuk keinginanku itu. Salah satu bentuk keegoisan aorang tua yang
berbuah tangis. Bukan hanya tangis, tapi perasaan kehilangan selama hamper 10
menit itu, tidak bisa kubayangkan sakitnya. Perasaan bahwa tak ada seorangpun yang bisa kau sandari
adalah perasaan menyakitkan apalagi untuk anak kecil seusia maha. Padahal, aku
sudah berjanji, untuk selalu ada di sampingnya. Aku tidak sabar menunggu, aku
tidak sabar untuk maha yang sedang berproses untuk dirinya. Aku menyesal. Aku tidak hanya mengingkari janji, tapi aku
telah mengenalkan padanya rasa “kehilangan” di usianya yang masih kecil. Toh
banyak, anak-anak yang ditunggui ibunya hingga 1 bulan. Kenapa tidak aku??
Kenapa aku tidak bisa bersabar untuk maha? Bukankah ini kali pertama aku
melepasnya di luar tanpa siapapun yang ia kenali?
Dan, pagi ini. Hari ketiga. Kesalahanku berimbas buruk .
Masuk kelas, mata maha langsung merah. Ia terlanjur tidak percaya bahwa aku
akan menemaninya. Ia menangis di kelas karena takut aku akan pergi lagi.
Bahkan, ia menemaniku ke WC karena takut aku pergi. Dan akhirnya, aku harus
duduk di depan kelasnya sembari menulis cerita ini. Lihatlah, akibat kesalahanku
kemarin. Bukan hanya menyisakan takut berlebihan akannya, tapi menimbulkan rasa
tidak percaya padaku. Aku bisa saja memaksakan untuknya proses ini, tapi aku dan
komrad percaya sesuatu yang kami paksakan tidak akan berbuah baik untuknya.
Dan aku duduk di sini, masih di depan kelas maha. mahaku
yang sudah lima tahun bisa saja selalu merasa besar, marah jika diperlakukan
seperti anak kecil dalam beberapa hal, tapi bagaimanapun. Ia masih 5 tahun. Aku
harus lebih bersabar. I promise. Dan untuk ade suar dan bapak bebi di rumah,
bersabar juga ya…
23 Januari 2014
#menunggumaha
Semangat, Kak! Semoga Maha bisa betah di sekolah barunya :) Welcome to the club, dek...
BalasHapus