menemukan sebenarnya cinta
Seperti sore-sore yang lain, aku menyusuri jalan ini. Jalan
yang terbuat dari batako yang mulai bolong sana-sini. Sore menuju tua, kali ini
ia berteman gerimis. Kebanyakan akan memilih untuk menyeruput teh dan mengurai
tawa bersama keluarga, setelah lelah seharian bergulat dengan kerja. Tapi, aku
tidak. Sejak dua bulan lalu, tak satupun sore kutinggalkan di jalan ini.
mencari sesuatu yang tak diingat lagi. Aku bahkan rela meninggalkan anak semata
wayangku di rumah bersama bapaknya, karena mereka bosan mengikuti rutinku.
Langkahku
masih sama, pelan dan menatap pada satu titik di hadapanku. Lagi pula, sebentar
lagi langkahku akan bermuara. Tapi, aku terhenti. Di sana, di singgasanaku yang
sejak dua bulan ini menjadi hulu atas derapku berdiri seorang perempuan tua tak
kukenal. Yah..singgasanaku, adalah sebuah taman kecil yang sejatinya
adalah pembatas pintu masuk dan keluar gerbang kompleks ini. taman itu
berdinding tembok kecil yang bisa kududuki nyaman lalu mengantar sore menuju
malam. Langkahku makin melambat, tapi tetap mendekat. Perempuan itu dengan
badan agak bungkuk, sedang berdiri seperti menunggu seseorang. Ia dengan jilbab
hitam yang senada dengan baju hitam berbunga putih dari kain satin, terus
menatap ponsel yang ia genggam erat di tangan kanannya.
Perempuan itu seperti perempuan tua pada umumnya, berwajah
sendu. Waktu merenggut kecantikan yang masih tersisa sedikit di bawah mata dan
di garis pipinya. Aku semakin mendekat. Ibu itu masih menatap ponselnya yang
cukup canggih. Ponsel putih kira-kira berlayar 5’ tak lepas dari pandangnya. Aku
tersenyum. Sekilas,kuingat ibu yang umurnya mungkin 10 atau 15 tahun lebih muda
dari perempuan ini, tapi selalu saja kerepotan menggunakan ponsel keluaran
pertama Nokia yang bunyinya masih tididit. Langkahku yang pelan, ternyata
mengusik penantiannya. Ia tersenyum. Aku membalasnya. Usahaku merebut
singgasana, mulai berhasil. Ibu itu beranjak melangkah pergi. Dan aku duduk di
singgasanaku.
Saat di singgasana itu, aku mulai berbincang pada sore. Tentang
apa saja. Bercerita bagaimana lalu-lalang kendaraan saling mengejar. Tapi,
kehadiran perempuan itu mengganggu privasiku. Aku terganggu dan tak bisa menemukan
sore di sekitarku untuk kuajak bersenda. Kuhentikan pencarianku akan sore. Sebentar
lagi toh ia akan pergi dan besok datang lagi. Tiba-tiba aku tertarik berbincang
dengan ibu itu. Ia kembali melihatku dan tersenyum. Tangan kirinya memegang
kantongan hitam, berisi buku atau kertas tebal menurutku. Aku memperlebar
senyumku dan bergeser. Kuikhlaskan singgasana dibagi, dan perempuan itu seolah
mengerti isyaratku. Ia duduk dan masih menunggu sesuatu keluar dari ponselnya. Biasanya,
aku tidak suka memulai pembicaraan dengan orang yak tak begitu kukenal. Aku memang
tidak peduli. Tapi ibu ini..dia mengingatkanku pada nenek yang telah meninggal
beberapa tahun lalu.
“ibu tinggal di dalam? “ tanyaku akhirnya. Ia menggeleng.
“Tidak nak! Saya tunggu anakku” katanya dengan aksen
Makassar kental. Belum sempat pertanyaan lain kuluncurkan. Penantiannya berakhir.
Ponselnya berbunyi. Sigap ia berdiri dan melangkah agak jauh dariku. Sayup-sayup
kudengar
“ Di depanma ini nak. Jadi tidak usahma masuk?” katanya
begitu lembut tapi tegar. Kucoba menerka itu anaknya yang tinggal sekompleks
denganku dan pastinya tidak kukenal. Ibu itu melangkah jauh, suaranya mulai
tertelan deru motor, mobil, klakson, decit rem, sirene ambulans dan teriakan
orang yang lalu lalang. Inilah yang sering kucumbui bersama sore hamper dua
bulan ini. mereka yang bergegas pulang, yang rindu rumah, rindu istri dan anak,
rindu kasur dan bantalnya, rindu radio atau televisinya. Sore selalu
menyuguhkan kendaraan yang bergegas meraih segala yang ia tinggalkan pagi tadi,
untuk ia tinggalkan kembali keesokan harinya. Ada yang tersenyum puas, bahagia,
atas apa yang merka raih hari itu. Bahwakepergian mereka sama sekali tidak
sia-sia. Ada juga yang marah, berlinang air mata atau hancur untuk apa yang
mereka dapatkan. Namun, senang atau sedih mereka pasti menuju pulang. Ke rumah
mereka. Di warung kopi mungkin, di pusat perbelanjaan, atau dalam pelukan
keluarga. Mereka pun telah memilih. Dan setiap pilihan telah mereka terima
konsekuensinya.
Langkah ibu itu kembali terdengar . Aku menoleh. Matanya seolah meminta kembali tempat yang
kuberi tadi untuknya. Aku bergeser, dan ia duduk. Aku bisa mendengar helaan
nafasnya.
“anakku tinggal di dalam. Ini se bawakan buku-bukunya.” Kata
ibu itu. Keherananku, memancinngnya bercerita bahwa anaknya yang tinggal di
dalam adalah seorang pegawai bank Swasta yang 1 tahun lalu berhenti dari
pekerjaannya dan memilih jadi penulis. Bukunya sudah ada 2 judul, dan ia sedang
mengerjakan novel autobiografinya.
“makanya dek..se bawakan buku-bukunya waktu SMP. Dia memang
suka menulis. Sejak SMP. Supaya dia bisa ingat lagi, to? “ katanya dan
membuatku kagum terhadap ibu ini. kecakapannya menjaga barang-barang
anaknya dan perhatiannya terhadap minat
anaknya sekaligus kekagumanku pada anaknya yang melepaskan hiruk pikuk kerja
lalu menyepi dalam buku menjadi penulis. Salut. Ibu ini pasti bukan perempuan
biasa, seperti pikirku saat kali pertama melihatnya.
Ibu itu mulai bercerita bahwa ia punya 5 anak lelaki. Semuanya
sudah berkeluarga dan hanya anak yang tinggal di kompleks ini yang ada di Makassar,
selebihnya di Batam, di Sengkang salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, di
Jakarta dan satunya lagi di Jepang menjadi TKI. Ceritanya menjawab keherananku
melihat ponselnya yang cukup canggih. Tanpa banyak tanya, seperti kebanyakan
orang tua, ibu ini bercerita tentang keberhasilan anaknya. Tentang rumah yang
dibangunkan untuknya oleh anak-anaknya, walau mereka jarang pulang. Terakhir bertemu
anaknya. Lebaran 4 tahun lalu,
“itupun karena bapak mereka meninggal” aku menangkap
kesdihan dalam ceritanya yang ia buat menjadi bahagia. Dan aku semakin miris
mendengarnya.
“itumi kaya’nya” ibu itu berdiri setelah menoleh. Sebuah Ford
merah mendekat. Seorang lelaki parlente, gagah keluar. Ia tidak berbasa-basi
denganku walau ia tahu aku sedang duduk bersama ibunya sejak tadi. Akupun malas
tersenyum. Hanya mencoba membaca lelaki ini dari semua yang ia pakai.
“ besokpi lagi datangki, soalnya maminya Dian di rumah. Nda enakka.”
Itu kalimatnya. Jelas dan menusuk jantungku berkali-kali. Tidak, ibu itu tidak
bilang kalau ia tidak akan dijemput ke rumah anaknya, ibu itu juga tidak bilang
kalau dia hanya akan bertemu anaknya dua menit setelah ia tunggu berjam-jam
sejak tadi, ia juga tidak bilang bahwa menantunya, si Maminya Dian, tidak
mengharapkan kedatangannya di rumah anaknya sendiri. Dia juga tidak bilang,
bahwa anaknya dengan segala pemikiran modern yang ia miliki sama sekali tidak
mengajaknya untuk masuk ke rumah hanya karena tidak enak pada istrinya.
Petir seolah menyambarku, teringat anak lelaki yang berumur
3 tahun di rumah. Ia yang sedang mulai aktif bicara, yang mulai sering menolak.
Bahkan saat ia kecil begitupun kadang ada rasa sakit, saat menerima penolakan
dari anak sendiri. lalu, ibu itu? Suara mesin kendaraan anaknya yang nyaris tak terdengar, melaju
pergi. Ibu itu tersenyum. Kucari kesedihan di matanya, tak juga kudapat. Kutelisik
di pinggir bibirnya, yang kudapati hanya senyum. Ia ikhlas. Ikhlas.
Aku masih marah beraduk sedih, khawatir dan cemas saat ibu
itu mendekatiku. apa yang akan kulakukan, jika kelak aku mendapat perlakuan yang sama oleh anakku. Ia tersenyum padaku. Ia seolah tahu apa yang beradu dipikiranku.
“adami anakta?” aku mengangguk lemas. Sembari menunggu kata
yang akan keluar selanjutnya
“anak itu titipan, bukanji milkta’. Tugasta’ kasi semua yang
dia butuhkan, penuhi semua yang ia perlukan..sudahmi.” katanya enteng. aku tersentak, terhenyak, bisu. Kutatap wajah
ibu itu dalam. Yah..dia menguasai ilmu ikhlas. Ia ikhlas menjadi ibu bahkan
tanpa mengharap balasan kasih sayang dari anaknya. Ia tunaikan kewajibannya
tanpa pamrih sedikitpun. Aku tidak berkata-kata, hanya mengangguk dengan
senyuman yang berat.
Ibu itu pamit padaku lalu memanggil tukang ojek menuju
rumahnya. Langkahnya kuat dan tegar. Aku, selama dua bulan ini sedang
mengumpulkan recehan 100, 200, 500, atau 1000 rupiah yang tercecer atau
terjatuh di jalan setiap sore. Kadang aku dapat tapi di kebanyakan sore aku tidak
menemukan apa-apa. Recehan itu lalu kubersihkan, kukumpulkan dan kelak akan
kubelikan seuatu. Aku bertekad bahwa apapun yang tertinggal, terjatuh dan
dilupakan adalah sesuatu yang berarti. Walau ia hanya uang 100 rupiah.
Dan sore ini, aku menemukan yang seharusnya kucari sejak
lama. Menjadi ikhlas. Kebanyakan orang tua mendidik, membesarkan, merawat
anaknya dengan harapan bahwa mereka akan selalu ada untuk mereka kelak. Kita orang
tua, bahkan kadang menuntut anak mengembalikan apa yang telah kita berikan pada mereka lalu kita menyebutnya “bakti”. Saat mereka, berontak, kita menyebut mereka
durhaka. Saat mereka melawan, kita mendustakan dan mengingkari mereka. Yah..kita
tidak ikhlas melakukan tugas kita. Aku akhirnya paham, mengapa anak-anak ibu
ini berhasil secara ekonomi, karena ibu ini menutup semua kemungkinan dosa oleh
anaknya padanya. Ibu ini ikhlas, dan ia paham Sang Maha menyiapkan sesuatu yang
lebih besar untuknya. yang tidak ia dapatkan dari anaknya, mungkin setidaknya dari anak yang baru saja kulihat. Ia ikhlas. Walau dibuang, walau dilupakan, walau tidak
dianggap. Ia ikhlas.
Aku pulang..berterima kasih pada sore yang mempertemukanku
dengan perempuan itu. Yang padanya kudapati sebenar-benarnya cinta.
ibumahasuar
*inspiringafternoon
*setelah lama tak menulis cerpen lagi
November 4th, 2013
#mahabelajarngaji
sedih banget dengernya mbak... keterlaluan sekali anaknya... Semoga kita ga termasuk orang yang memperlakukan ibu dengan cara seperti itu..
BalasHapuspelajaran keikhlasan yang begitu indah.....
terkadang seorang anak lebih memilih untuk lebih malu pada pasangannya ketimbang malu pada orangtua yang telah mendidiknya selama belasan tahun...
BalasHapusmenyedihkan, semoga saya ndag termasuk anak seperti itu, agar kelak saya tidak mendapatkan apa yang disebut sebagai "karma". but apa pun itu, thanks buat penulisnya. barakallahufikum