Mahatma, Jam Weker Baru dan Kemerdekaan Individu
Nonton film kartun bisa dibilang menjadi agenda rutin harian si maha. Pagi, sore dan malam aktivitas itu dia lakukan dan membuat kami harus memutar otak untuk mengalihkan kebiasan yang sepertinya sudah berada pada tahap “awas”. Setelah menonton, standarlah maha meminta dibelikan berbagai macam pernak pernik yang memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh kartun yang ditontonnya berulang-ulang di beberapa stasiun tivi swasta atau beberapa film kartun yang kubiarkan tetap berada di salah satu folder di laptopku. Pakaian, mainan, alat tulis menulis semuanya harus bermotif tokoh-tokoh itu. Oh iya, sebelum lanjut, maha juga selalu ingin menjadi tokoh kartun yang ditontonnya dan lucunya karena semua keinginannya itu harus ia sampaikan terlebih dahulu kepada ibunya. Jadi misalnya, sebelum atau setelah menonton Spongebob, maha akan datang atau dari depan tivi ia akan berteriak “ibu, maha mau jadi Spongebob nah” “ibu, maha jadi Patrick nah.” Dan terus seperti itu maha selalu memastikan kalau ibunya memberi persetujuan akan keinginannya untuk menjadi seperti tokoh-tokoh kartun itu. Ibunya pasti mengiyakan tanpa penjelasan berarti kecuali saat maha ngotot mau jadi Nobita. Apa yang menarik dari Nobita? tanyaIbunya. Tak ada penjelasan berarti dari maha, pokoknya dia tetap teguh ingin jadi Nobita. Belakangan baru kami tahu kalau maha melihat sisi lain Nobita di film Doraemon yang menunjukkan sisi “kepahlawanan” Nobita tidak seperti di serial yang diputar saban Minggu. Dan akhirnya ibunya kembali mengiyakan keinginan maha.
Kembali ke soal pernak pernik
tadi. Karena meniru Spongebob yang punya jam weker, akhirnya maha juga meminta
dibelikan jam weker ke Ibunya. Beberapa hari lalu sebuah jam weker kecil
berwarna dominan kuning dengan gambar Spongebob dibelakang jarum jam akhirnya
berada di tangan maha. Mimpi maha sederhana, ia mau terbangun di pagi hari
karena dering jam weker. Bukan karena suara bernada minor hingga mayor dari ibu
dan bapaknya apalagi jika matahari semakin meninggi dan maha masih
berasyik-masyuk dengan kasur bergambar spiderman milik maha. Dan kami berdua
mendukung mimpi sederhana maha.
Beberapa hari ini, sebelum
maha tidur di malam hari, ibunya sudah mengatur kalau ia harus bangun pagi dan
berolah raga sebelum ia bergelut dengan aktivitasnya yang lain. Dan jam weker
Spongebob itu di setting mengikuti agenda pagi maha. Keesokan paginya, diwaktu
yang telah diatur jam weker itu mengeluarkan kedigdayaannya dengan suara yang
sama seperti belasan tahun yang lalu saat saya masih menjadi seorang santri di
ponpes yang tak jauh dari kompleks ini. Tapi harapan tak selalu sesuai
kenyataan, sudah beberapa hari ini maha tak pernah bangun atau terusik
sedikitpun saat jam weker itu mengeluarkan “bisa” nya. Hingga akhirnya kami
berdua bosan dan benar-benar terganggu dengan bunyi weker yang memang tak merdu
itu lalu mematikannya dan kemudian nada-nada minor hingga mayor kembali
menggema di telinga maha. Dan saat seperti itu barulah mata indah itu mulai
terbuka sedikit demi sedikit dan selanjutnya “Papa bebi…cucu” sebuah instruksi buatku
hampir tiap pagi untuk membuatkan maha susu sebelum ia benar-benar terjaga. Jadi
singkat cerita, proyek membangunkan maha dengan weker sejauh ini gagal total,
serupa gagalnya reformasi dan saatnya menuju revolusi demokratik…hahahaha…
Seringkali maha tak mau
benar-benar mengakui atau merasa terganggu jika sesuatu yang ia anggap sebagai
kelemahan atau kekurangannya diungkit-ungkit. Misalnya, ia agak terusik jika Om
Sawing mengingatkan kalau dulu saat ia masih berumur dua hingga tiga tahun
pipinya benar-benar tembem dan lucu. Saat diingatkan seperti itu, maha akan
segera berkilah “ah memang begitu kalau
masih bayi orang Om Sawing”…hahahaha….pembenaran yang tepat. Dan selalu
seperti itu, maha hampir selalu punya jawaban dengan segala sesuatu yang ia
anggap sebagai kelemahan atau kekurangannya tapi saat ia tidak menemukan
jawaban maka selanjutnya adalah gelegar tangis diikuti cucuran air mata.
Nah, kemarin saat sedang
memandikan maha di sore hari, kami terlibat dalam sebuah percakapan agak serius
dan rada-rada filosofis. Sejak dulu saya memang selalu kebagian tugas
memandikan maha dan momentum ini selalu jadi menarik karena kami berda sering
membicarakan berbagai hal sambil meladeni keisengan maha saat mandi. Kemarin,
saat sedang mengguyuri maha seperti hujan, seperti permintaan maha, tiba-tiba
ia membuka pembicaraan soal ketidakmampuannya merespon bunyi weker di pagi
hari. “Papa kenapa marah kalau saya nda bisa bangun pagi?” Saya tak memberi
jawaban berarti dan terus sibuk mengguyurinya seperti hujan. Karena melihat
gelagatku yang tak setuju saat ia mulai nampak hendak membela diri karena tak
bisa bangun di pagi hari meski bunyi weker sudah berdering cukup lama, maha
mulai berceloteh sok filosofis. “memang begitu manusia Papa Bebi, ada yang
cepat bangun pagi tapi ada juga yang terlambat bangun, jadi janganmi marah.”
Kira-kira maha mau bilang, soal bangun cepat atau tidak itu pilihan
masing-masing, jadi tak perlu terlalu pusing dengan pilihan-pilihan itu. Seperti
yang sudah kubilang, maha selalu punya seribu satu pembenaran atas apa yang dia
anggap sebagai kekurangan disaat umurnya belum lagi genap lima tahun. Saya tak
banyak berkomentar dengan pernyataannya. Yang saya pikir, maha dapat referensi
dari mana. Meski hampir setiap hari dia dikelilingi buku-buku koleksi
perpustakaan kedai buku jenny tapi kan maha belum juga menghafal semua abjad.
Saat seperti itu saya hanya tertawa sendiri dan sesekali menimpali. Ah, maha
sudah besar!
Maha, terima kasih untuk
inspirasi kerennya. Soal kemerdekaan individu nantilah kita diskusikan lebih
lanjut kalau maha sudah sampai Iqra’ 5…hehehe…
BapakmahaSuar,
Kedai Buku Jenny
5 April 2013
Komentar
Posting Komentar