Ode Buat Kota

Apa yang paling selalu menginterupsi pagi dan perjalanan anda menuju tempat beraktivitas? Jawabannya tentu akan bervariasi. Tapi kalau anda bermukim di kota-kota besar maka jawabannya saya kira hampir seragam, kemacetan. Saya tidak tahu apakah ada yang pernah menjadikan kemacetan sebagai salah satu ciri sebuah kota dapat disebut sebagai kota besar, tapi sepertinya hampir semua kota-kota besar di republik ini sedang menghadapi masalah ini, tidak terkecuali Makassar.  
*
Sebagai penghuni kota besar ini, saya tentu harus legowo menikmati kemacetan serta kekisruhan yang diakibatkannya setiap pagi. Saya bermukim di wilayah Tamalanrea dan berkantor di sekitar Jl. Urip Sumoharjo. Itu artinya hampir setiap hari saya –yang berkendaraan roda dua- bersama ratusan pengguna jalan lainnya dipaksa “menikmati” kemacetan di sekitaran Jembatan Tello hingga Patung Adipura.
Awalnya, setiap terjebak macet saya selalu merasa kesal dan benar-benar penasaran ingin tahu apa yang terjadi didepan hingga kegaduhan yang begitu panjang –bahkan seringkali hingga ratusan meter- ini bisa terjadi. Dan ini tidak saya rasakan hanya ketika terjebak macet di pagi hari - di sekitaran Jembatan Tello hingga Patung Adipura- tapi juga di beberapa spot  Kota Makassar yang memang menjadi langganan kemacetan. Ketika sampai diujung kemacetan dan jalan mulai lowong, saya seringkali tidak menemukan penyebab kemacetan yang berarti kecuali karena memang kendaraan semakin banyak dan kadang-kadang lampu merah tidak lagi begitu keramat bagi beberapa pengguna jalan, prinsipnya siapa cepat dia dapat.
Nah, ada yang selalu menarik perhatian saya ketika berada dalam kemacetan. Selain memperhatikan ruang kosong untuk maju disela-sela kendaraan beroda empat yang padat merayap, saya selalu memperhatikan dan menangkap ekspresi wajah mereka –khususnya yang berkendaraan roda dua- yang terjebak dalam kemacetan. Anda yang setiap hari bertemu kemacetan tentu bisa menebak bagaimana ekspresi mereka ini. Atau kalau tak sempat memperhatikan cobalah sesekali menoleh kiri kanan saat berada di tengah kemacetan. Sebagian besar dari mereka menunjukkan ekspresi kekesalan, marah dan sejenisnya. Bagaimana tidak, ditengah kemacetan itu, kita juga harus merasakan cuaca Makassar yang seringkali panasnya begitu ekstrem, polusi yang sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, dan tentu diperparah bayangan tumpukan kerjaan yang harus segera diselesaikan. Lengkap sudah pokoknya!
Marah dan kesal ditengah kemacetan itu seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dan saya pribadi –dan tentu juga anda- tidak mau merasakan kerugian ganda tentunya. Karena itu, saya selalu menyiapkan sesuatu untuk mengantisipasi rasa kesal dan marah ditengah kemacetan. Sebelum berangkat ke tempat kerja, saya melengkapi diri dengan satu set list lagu di telpon seluler beserta earphone dengan volume yang tak begitu keras –selain agar tidak merusak telinga, juga agar kita tetap bisa mendengar suara klakson dari belakang- yang akan menemani saya di sepanjang jalan menuju tempat kerja dan khususnya saat berada ditengah kemacetan yang akut.
Salah satu lagu favorit saya saat berada ditengah kemacetan adalah Ode Buat Kota, salah satu lagu yang berada dialbum Ode Buat Kota milik band Jogja –yang kini hijrah ke Jakarta- Bangkutaman. Lagu ini selain berisi nada-nada ceria khas The Stone Roses yang sangat cocok untuk pelipur lara ditengah kemacetan, juga bercerita tentang berbagai hal yang mengakibatkan kekisruhan massal di masyarakat urban, termasuk tentang kemacetan, tentu masih dengan gaya bertutur Bangkutaman yang lugas dan sarat kritik namun tetap santai.
*
Menurut analisa Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) yang dirilis pada tahun 2010, kota kita ini bersama beberapa kota besar lainnya di Indonesia akan dilanda kemacetan total pada 2014 jika tidak terjadi pembenahan yang mendasar berkaitan dengan sistem transportasi, kepemilikan kendaraan, tata ruang kota dan berbagai persoalan di jalan-jalan kota kita. Dan saat seperti ini, satu set list lagu sekeren apa pun atau solusi-solusi instan lainnya tentu tak akan cukup untuk menawar rasa marah dan kesal yang diakibatkan oleh lingkaran setan persoalan ditengah kemacetan.
*
Saya juga tak tahu apakah tingkat kepenatan di jalan-jalan kota yang terus meninggi atau saat pilihan untuk berjalan kaki menjadi lebih rasional (baca: lebih cepat) ketimbang berkendara roda dua apalagi roda empat, menjadi tolak ukur sebuah kota disebut sebagai kota dunia. Tapi jika akar masalah kekisruhan akibat kemacetan di jalan-jalan kita tak segera diatasi dengan baik, maka gelar kota dunia sepertinya sebentar lagi memang akan sangat layak untuk kota kita ini. Dan inilah Ode Buat Kota anak-anak kita kelak!

BapakBebi

Komentar

Postingan Populer