Melacak Cerita Pure Saturday di Makassar

Kira-kira dua minggu sebelum lebaran kemarin, buku tentang Pure Saturday (PS) yang berjudul Based on a True Story karya Idhar Resmadi akhirnya bisa juga kubaca tuntas. Buku itu dibawa oleh seorang teman asal Makassar yang berkuliah di Bandung. Tak butuh waktu lama untuk membaca buku itu hingga titik terakhir. Apalagi karena buku ini hampir sepenuhnya berisi tentang perjalanan sebuah band “tua” sehingga ia bisa dibaca dimana dan kapan saja, termasuk di tempat favorit membaca saya, toilet. Yah, buku ini selesai kubaca di toilet. Dan inilah kesan pertamaku terhadap buku ini, ringan dan berisi dan karenanya perlu dibedah dan didiskusikan bersama.
Setelah selesai membaca buku ini, saya bersama teman-teman di Kedai Buku Jenny (KBJ) bersepakat untuk membedahnya dan sekaligus menjadikan It’s Pure Saturday sebagai tema event bulanan kami, KBJamming, yang kemarin sudah merupakan volume ketujuh. Kecuali volume keenam yang mengambil tema seputar lagu anak-anak karena bertepatan dengan Hari Anak Nasional dan sekaligus sebagai bentuk perhatian kami terhadap proses edukasi anak-anak melalui musik, sejak awal, event KBJamming mengusung tema mengenai hubungan antara skena musik dan perkembangan kota karena bagi kami skena music lokal seharusnya diberi ruangnya untuk berkontribusi lebih besar bagi perkembangan kota, tidak hanya dari aspek kerja kreatifnya namun lebih jauh terhadap perkembangan peradaban kota.
Tanggal 31 Agustus kemarin, event KBJamming Vol. 7 akhirnya berhasil dihelat. Seperti biasa event ini menampilkan beberapa band lokal yang kali ini selain menyuguhkan karya-karya mereka juga menyanyikan kembali lagu-lagu Pure Saturday. Ada juga pameran mini karya Andi Bayu Indra yang beberapa diantara karyanya sangat dipengaruhi oleh lagu-lagu PS yang didengarnya seperti Desire. Dan selain itu tentu diskusi dan bedah buku Based on a True Story karya Idhar Resmadi.
Untuk diskusi dan bedah buku ini, sejak awal kami di KBJ bersepakat bahwa yang akan tampil sebagai pembicara akan terdiri dari dua orang, yang pertama akan membedah buku ini dan pembicara berikutnya kami harap dapat bercerita saat PS datang ke Makassar pada pertengahan tahun 90-an. Selain dari buku yang ditulis Idhar, kami juga mendapat cerita dari beberapa teman kalau PS memang pernah ke Makassar dua kali pada masa itu, tahun 1994 dan 1996. Dan informasi yang paling pasti kalau pada tahun 1996 kedatangan PS merupakan undangan dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin.
Bagi kami, cerita tentang kedatangan PS diawal-awal munculnya band ini merupakan sesuatu yang berharga dan penting untuk diceritakan kembali. Dari cerita-cerita ini sebenarnya kami berharap dapat mengetahui bagaimana PS bisa dikenal hingga di Makassar, bagaimana genre serupa yang diusung PS dapat sampai ke Makassar disaat perkembangan informasi belum semassif sekarang, atau bisa saja dari cerita-cerita itu kita bisa melacak sekaligus mendokumentasikan awal mula gerakan musik “indie” di Makassar yang kini telah berkembang lumayan pesat.
Seperti yang kami bayangkan, tak begitu mudah mencari orang “dari masa lalu” yang bisa mengantarkan kami ke cerita-cerita masa lalu itu. Pelacakan kami mulai dengan menanyakan ke akun twitter PS apakah mereka mengenal seseorang di Makassar yang bisa bercerita soal kedatangan mereka di Makassar di pertengahan tahun 90-an dan apakah di Makassar sudah pernah ada kelompok yang mengaku sebagai Pure People. Pihak PS sendiri tak tahu pasti dan kemudian menanyakannya lagi ke seseorang yang dari bio twitternya tertera Bandung-Makassar. Kami mengira ia orang Makassar yang sudah menetap atau kuliah di Bandung. Dari akun ini kami direkomendasikan ke salah satu akun sahabatnya. Kami menuju akun yang nama pemiliknya juga tertera di buku yang ditulis Idhar. Kami lalu menanyakan nomor kontaknya dan sangat berharap bahwa ia sedang berada di Makassar dan bisa berbagi cerita dengan kami. Tapi nyatanya gayung tak bersambut karena hingga poster KBJamming siap kami rilis beliau tak juga memberikan jawaban. Tak putus asa, kami lalu direkomendasikan satu nama lagi dari seorang teman penggiat radio di Makassar. Menurut si teman, orang ini lumayan menguasai perkembangan genre Britpop khususnya di Makassar dan tentu punya cerita soal PS. Namun orang yang direkomendasikan si teman sedang berhalangan jadi beliau tak bisa memenuhi permintaan kami. Berikutnya, kami menghubungi seorang redaktur koran nasional biro Makassar. Beberapa waktu lalu bersama istri yang juga wartawan di koran tersebut berkunjung ke Kedai Buku Jenny untuk membeli beberapa buku dan CD rilisan lokal. Meski tak lama, kami sempat berdiskusi kecil soal musik dengan beliau dan pengetahuan musiknya cukuplah bagi kami untuk menominasikannya sebagai pembicara. Tapi sayang karena istrinya akan segera melahirkan saat kami menghubunginya. Tidak sampai disitu saja, saya dan teman-teman di KBJ terus mencari dan akhirnya saya menghubungi juga kawan lama saya yang sejak lama kutahu sangat senang, jika tak ingin disebut mengidolakan, dengan karya-karya PS. Ia lalu kikirimi pesan singkat dan kutawari untuk menjadi pembicara. Tapi lagi-lagi tak berhasil karena seminggu sebelumnya ia sudah kembali ke Flores untuk sebuah pekerjaan. Tapi ia merekomendasikan beberapa nama yang akhirnya tak lagi saya hubungi. Dan diantara nama tersebut tiba-tiba muncul di depan garasi KBJ sejam sebelum KBJamming dimulai. Menurut lelaki berambut gimbal ini, saat PS belum se terkenal sekarang memang pernah ke Makassar dan ia terlibat untuk mendatangkan mereka. Sebelum event dimulai ia pergi sebentar untuk sebuah urusan dan berjanji untuk kembali dan bercerita lebih lengkap kepada kami tapi sayang sekali ia tak kembali hingga lagu Kosong mengalun dengan koor tinggi pertanda acara kami telah selesai.

Pure Saturday dan Inspirasi yang Baik

Karena tak berhasil menghadirkan orang “dari masa lalu,” akhirnya alur dan komposisi pembicara pada bedah buku kami ubah. Arham dari Gigsplay bertugas untuk membedah isi buku dan saya sendiri bertugas untuk menghubungkan kisah perjuangan Pure Saturday hingga kini dengan gagasan untuk membangun skena sebagai bagian dari proses membangun kultur dan identitas alternatif dari kota.
Tak seperti biasanya, diskusi dan bedah buku kali ini kami mulai agak telat karena menunggu teman-teman yang berjuang melewati cuaca panas ekstrim Makassar menuju Kedai Buku Jenny. Diskusi kami mulai sekitar jam 3 sore yang dimulai dengan pengantar diskusi oleh moderator yang juga merupakan kasir di KBJ dengan mengingatkan kembali alur bedah buku dan diskusi kami kali ini.  
Untuk kesempatan pertama, Arham bertugas untuk menjelaskan kembali seperti yang ditulis Idhar mengenai perjalanan PS sejak masih di Gudang Coklat hingga kini saat Suar tak lagi menjadi frontman band ini. Cerita ini tentu sangat penting mengingat para peserta diskusi saya kira hampir semua belum membaca buku ini, mereka juga adalah generasi 2000-an akhir yang mungkin saja kenal dengan PS hanya melalui beberapa lagu, seperti pengakuan salah satu teman yang menghadiri diskusi kalau ia hanya tahu PS dari salah satu lagunya dan selebihnya kabur.
Berikutnya tugas saya untuk berbicara PS dalam konteks tidak hanya sebagai sebuah band namun lebih jauh sebagai sebuah gagasan. Namun sebelum jauh kesana, saya perlu memberikan kredit poin untuk buku ini. Seperti yang saya bahasakan sebelumnya, karena buku ini dikemas begitu “ringan” dan menarik sehingga tujuan untuk mengantar pembacanya ke cerita-cerita masa lalu PS lumayan berhasil, paling tidak bagi saya. Meski porsi masanya Suar lebih banyak ketimbang cerita-cerita kontemporer. Kemudian, soal kritik mas Pry di Jakartabeat bahwa buku ini tidak memberikan porsi yang besar kepada Pure People awalnya saya aminkan tetapi setelah membaca lagi saya kok berpikir bahwa mereka yang memberi komentar di buku itu; Ucok, Harlan Bin, Arian bahkan Iyo dan lainnya justru adalah Pure People garis keras. Buktinya mereka lah yang paling tak ingin dan berusaha agar band “keluarga” ini jangan sampai kenapa-kenapa.
Kemudian dari paparan Idhar di bukunya terlihat jelas jika PS merupakan band yang memiliki visi dalam karya-karyanya. Dan bagi saya, soal visi adalah masalah penting yang sayang sering diabaikan oleh seniman atau musisi yang kepuasannya hanya berhenti di gosip infotainment. Ini bisa terlihat saya kira dalam beberapa lagu yang mencoba menggambarkan ulang dan bahkan mengkritisi persoalan yang terjadi di sekitar kita. Meski PS selalu punya caranya sendiri sehingga pendengarnya dibiarkan memberi tafsiran sendiri. Masih soal visi ini, cerita beberapa awak PS yang memilih rehat sejenak dari aktivitas ngeband dan memilih ikutan di gemuruh aksi reformasi ’98 mungkin menjadi salah satu part yang tak terlalu diperhatikan di buku ini tapi bagi saya sendiri remah ini semakin menguatkan visi dan (bisa jadi) urusan keberpihakan band ini.
Selain masalah visi, seperti yang juga disampaikan oleh Arham, PS juga menjadi salah satu peletak metodologi produksi karya alternatif ditengah massifikasi model arus utama, minimal pada masa-masa awal mereka muncul. Memilih untuk menciptakan dan membawakan karya sendiri ditengah kebiasaan meng-cover lagu-lagu “luar” pada saat itu, kemudian keputusan untuk keluar dari label “besar” dan kembali ke jalur independen adalah beberapa hal yang membuat tafsir indie menjadi relevan dalam diri mereka.
Soal indie ini, seperti yang dipaparkan oleh Arham, PS memang sejak awal –apalagi sejak PAS band berhasil dengan metode ini- telah menunjukkan role model yang saya kira kemudian menjadi inspirasi banyak band setelahnya. Dalam salah satu wawancaranya dengan Majalah Cobra mengenai Grimloc Records yang baru saja dibuatnya, Ucok Homicide mengatakan bahwa sejak dulu semangat Do It Yourself (D.I.Y) baginya adalah Do It With Your Friends (D.I.W.Y.F) untuk menggambarkan bagaimana record label yang baru saja merilis karya EYEFEELSIX ini bekerja. Dan PS saya kira sejak awal telah memberikan sampel sohih tentang D.I.W.Y.F. Dalam konteks ini, Arham menjelaskan bahwa sejak awal PS dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai musik dan ingin membantu. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Pure Saturday adalah kolektif yang dicintai oleh orang-orang bukan cuman karena musiknya tapi memiliki semangat kebersamaan. Semacam komunal, papar Arham. Liat saja nama-nama yang ditulis Idhar yang sejak awal membantu PS, ada Arian Arifin (Puppen) yang selalu mempromosikan Pure Saturday ketika manggung sampai akhirnya mereka berkesampatan tampil bersama pada Pesta Pelajar Hai-Anteve di tahun 1996. Atau Ucok Homicide yang menyumbangkan satu di antara beberapa judul lagu, seperti “Langit Terbuka Luas Mengapa Tidak Pikiranku Pikiranmu”. Juga ada nama Dewi “Dee” Lestari yang pertama kali memperdengarkan lagu PS di salah satu radio di Bandung. Dan tentu masih banyak nama lainnya yang membantu PS menjadi “besar” seperti sekarang.
Bagi saya, konsepsi D.I.W.Y.F a la PS patut dijadikan sebagai referensi bagi siapa pun yang masih bergiat membangun skena lokal termasuk di Makassar. Kerja-kerja pembangunan skena musik lokal sebaiknya menjadi kerja bersama. Sederhananya, ada yang berpikir bagaimana menghasilkan karya yang baik dan punya visi dan yang lainnya punya tugas untuk mengapresiasi dengan cara mendokumentasikan apa pun yang berhubungan dengan proses kreatif hingga lahirnya karya tersebut serta cerita-cerita inspiratif dibaliknya. Dan saya pikir kemajuan teknologi informasi abad ini memudahkan siapa pun untuk melakukan ini. Membiarkan sebuah band misalnya mengerjakan semua hal, mulai dari penciptaan karya lalu “memaksa” mereka menulis apa yang terjadi di barisan belakang setiap konser atau gigs yang mereka hadiri saya kira agak menyesakkan. Hal ini tentu dengan asumsi bahwa kita peduli dengan perkembangan skena lokal karena ia seharusnya menjadi bagian penting dari perkembangan kota dan dari sana juga seharusnya lahir kreativitas yang bervisi, visi tentang kehidupan yang lebih baik.
Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta diskusi yang sekaligus menjadi bassis pada salah satu band yang tampil di KBJamming kemarin bertaanya mengapa penting untuk mendiskusikan PS dan apa relevansinya bagi skena lokal? Saya dan Arham bersepakat bahwa PS adalah inspirasi dan karenanya ia layak untuk dikabarkan ke siapa saja yang melihat musik tidak hanya urusan yang teknikal atau hanya enak ditelinga, dan bersepakat bahwa musik seharusmya menjadi “senjata” bagi perjuangan mewujudkan kebaikan dimana-mana. Pendapat ini juga diamini oleh beberapa peserta diskusi. Dan selebihnya ada pendukung Suar garis keras yang masih belum bisa menerima jika Suar tidak lagi menjadi “orang terdepan” di PS. Hahahaha!

Diskusi kami akhiri saat matahari Makassar yang begitu terik tak lagi begitu panas. Selanjutnya, mereka meminta Kosong dinyanyikan!

Terima kasih buat Idhar untuk karya keren ini!

Watampone, 5 September 2013

Komentar

Postingan Populer