Demam pertama...

Semalam, aku berpikir. Semua yang kita jalani, ternyata adalah pengalaman pertama. Terkait dengan apa yang pernah kutulis, bahwa jalan yang kita lalui tidak pernah betul-betul sama. Seperti sekarang, memiliki anak bukanlah pengalaman pertamaku, tapi memiliki dua anak, itu adalah pengalaman pertama.
Saat melahirkan maha, betapa takjubnya kami dengan pengalaman tersebut. Setelah empat tahun lebih Suar lahir, aku sempat merasa ketakjuban memiliki anak tidak lagi akan kurasakan. Tapi salah, sensasinya berbeda. Jika dulu hingga empat tahun umurnya, kami mencurahkan tenaga, pikiran, semangat hanya  untuk maha seorang, kini kami harus belajar untuk mencurahkan semua yang kami miliki untuk mereka berdua. And no reason, semuanya harus tetap total. Mulai dari mempersiapkan nama, hingga tetek bengek pakaian, waktu tidur, hingga kesehatannya. Yang memudahkannya adalah karena kami telah melewati fase memiliki anak sebelumnya, jadi ada beberap hal yang tak perlu lagi kami bawa panic atau kami tanyakan dengan resah dan gundah. Yang meningkat, adalah prosentase kemungkian untuk stress. Jika aku dan komrad tidak berbagi kerja, aku mungkin sudah menyerah dengan rutinitas ini. Pulang ke Bone, setidaknya di sana aku tidak perlu memikirkan aku harus masak apa hari ini. Perkara sepele mungkin, tapi tidak untuk beberapa ibu yang harus mencuci, menyetrika, belanja, menghitung cukup atau tidaknya uang, memastikan menemani maha untuk punya waktu belajar membaca, menulis, mengaji,  diantara kegemaran nontonnya yang sudah mencapai level “awas”, memastikaan suar untuk nyaman dengan kamar dan rumah yang bersih dan tentunya mencuri waktu sekedar mengintiip facebook, berkicau di twitter, menulis, membaca, lalu menyandarkan badan untuk menonton film. Dan kita hanya punya 15 jam optimal.  Saya rasa, para IRT akan tersenyum sambil manggut membenarkan ini.  Dan semua itu, adalah pengalaman pertamaku sejak mengarungi kehidupan bernama keluarga bersama komrad.
Beberapa minggu yang lalu, suar diimunisasi untuk ketiga kalinya. Pertama saat dia berumur 2 hari, imunisasi HB 0, kata bidan tersebut yang tidak sempat menjelaskan benda asing apa itu. Sama tidak sempatnya dengan aku yang saat itu sibuk menyuruh cleaning servis membersihkan bau kotoran kucing di bawah tempat tidurku (ahh…rumah sakit itu, begitu “berkelas”), imunisasi kedua saat ia berumur 2 minggu , imunisasi BCG dan polio 1. Dan terakhir kemarin, saat ia berumur 1 bulan, HB1, DPT 1, dan polio 2. Akan ada 3 kali tahapan imunisasi lagi, sampai ia berumr 9 bulan. Imunisasi, bagi beberapa orang tidaklah penting, sekedar propaganda pemerintah (begitu istilah om Farid), tapi untuk anak-anakku, aku tidak bisa ambil resiko.  Aku mengikuti baiknya saja, tapi menurut ahli kesehatan dan gizi pribadiku, Harpiana Rahman, S.KM, imunisasi itu mutlak diberikan. Dia selalu menjelaskan panjang lebar tentang jenis imunisasi dan kegunaannya untuk anak, yang selalu aku lupa tanyakan pada bidan yang melakukannya. Selain lupa, aku memag malas menanyakannya, aku sudah punya seorang pakar di sampingku, paling banter aku menanyakan jenis imunisasi, itupun hanya untuk memastikan apakah bidan memberikan imun yang tepat atau tidak, karena sebelumya aku  pasti membaca dengan cermat, apa yang bayiku harusnya dapatkan.
Sebagian besar masyarakat masih percaya bahwa imunisasi hanya membuat anak sakit, rewel hingga beberapa hari. Memang benar. Seperti kemarin saat suar pulang dari imunisasi. Walau sudah kumandikan dan mengompres bekas suntikan di paha kanannya, suhu badannya tetap naik hingga malam hari. Dan ini kali kali pertama dia demam. Suar sejak lahir, tidak terlalu rewel, dia hampir tidak pernah menangis “tidak penting” yang kadang membuat kita bingung, dia jarang begadang, sampai saat itu. Tidak jauh beda dengan maha saat sakit, sepanjang hari hingga malam, dia merintih sakit, kalau bahasa bugisnya “maddareke”. Keningnya tidak berhenti berkerut, dan senyumya begitu kecut. Sayangnya, dia masih tetap kelihatan lucu. Aku dan komrad menjadikannya hiburan, mendengarnya merintih. Malam itu, dia tidak tidur. Untungnya tu hari kedua puasa, kami tidak perlu repot membunyikan alarm. Seluruh badnnya panas dan dia sangat rewel. Kata Puang Ana, itu akan berlangsung selama 2 hari. Bagusnya, fungsi imun yang diiberikan bekerja. Begitu yang sering dikatakan dokter. Beberapa anak, tidak mengalami demam, tergantung kondisi tubuhnya, tapi ada juga yang sampai kejang-kkejang karena suhu badannya terlalu tinggi. Alasan ini memang sering digunakan beberapa ibu untuk tidak mengimunisasi anaknya walau semua itu gratis. Tapi, sekarang di beberapa dokter anak di RS swasta sibuk mempromokan jenis imunisasi lengkap yang hanya dilakukan sekali, tanpa resiko demam, hanya merogoh saku lebih dalam. Dan tentunya, saya memilih yang gratis. Hehehe…
Saat adiknya demam, maha cukup kooperatif, dia selalu datang mengecek suhu badan suar, menanyakan bagian mana yang sakit dan menemaninya.  Dia juga bilang “ berani betul itu dokter, suntik adekku, se kasi ini ototku e “ katanya sembari memperlihatkan ototnya yang tidak begitu besar pada kami.
Maha sedang menjalani pengalaman pertamanya sebagai kakak, aaku dan komrad menjalani pengalmaan pertama menjadi oraang tua dari dua anak lelaki gagah, dan suar untuk beberapa lama akan menemui banyak pengalaman pertama dalam hidupnya. Termasuk demam kemarin, yang membuatnya hingga sekarang senang bangun dan menemani kami santap sahur daan mengoceh hingga pagi datang. Selamat telah melewati demam pertamamu, nak! Mari bersiap untuk pengalaman-pengalaman selanjutnya…

Ibumahasuar
July 20, 2013
#suarsedanglelap

Komentar

Postingan Populer