Imma

Aku mengenalnya di tahun pertama SMA. Dia adalah gadis tinggi, kurus, putih, bermata sipit yang besar di sebuah desa bernama Mico’. Sebuah desa yang juga baru kutahu keberadaannya saat itu. Singkatnya, kami dan beberapa orang teman menjadi akrab walau tidak sekelas, entah karena hal apa. Dan khususnya denganku. Kenapa denganku? Karena secara tidak sadar aku telah mengambil peran dalam kehidupannya hingga 13 tahun ini.
Aku mengenalkannya dengan Male, begitu aku memanggilnya sebelum ia mengubur nama aslinya Takdir di kalangan teman-teman. Dia bukan hanya tetangga,dia seperti kakak bagiku yang juga punya hubungan yang sangat dekat dengan Nanang, kakakku. Male, secara fisik punya wajah yang biasa-biasa saja, tapi dia punya kharisma yang bisa menarik perempuan yang ia inginkan. “turunanan bapaknya” begitu kata mama, saat kami membahas betapa mudah Imma, sahabatku itu, mengatakan iya pada Male, saat Male menyatakan cinta untuk kali pertama padanya.
“ hanya main-main, aku tidak pernah serius saat pacaran. “ begitu katanya saat kuingatkan akan rekor Male dan kisahnya tentang banyak perempuan yang hampir semua kutahu.
Tapi, rencana tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan. Keinginan Imma untuk sekedar mengisi waktu dengan perasaannya tidak berbuah manis. Hubungan mereka berjalan, bertumbuh subur bahkan terikat kuat. Dan bahkan, kisahnya mulai melahirkan banyak masalah.  terutama tentang keluarganya yang begitu menentangnya. Imma mulai menyiasati hidupnya. Mulai lari dari keluarga dan bahkan kami teman-temannya yang tidak 100% memberikan dukungan terhadap kisah cinta mereka. Aku khususnya, secara jelas tidak pernah betul-betul mengatakan untuk menghengkahiri hubungannya, aku hanya selalu..tidak henti memberinya masukan atas pilihan-pilihan yang ia yakini. Dan pilihannya, hingga diujung tiga tahun kami SMA adalah tetap bersama Male.
Kesabarannya menghadapi semua ketidaksempurnaan Male adalah sumbu yang mengikat kuat Male hingga tidak ingin betul-betul melepaskan Imma. Dengan segala kekurangannya dan himpitan masalah yang akan mempersempit hidupnya. Imma bertekad  menjadi bagian dalam hidup Male, dan itu diikrarkan dalam ikatan suci pernikahan seingatku di tahun yang sama saat aku menikah dengan komrad.
Imma menjalani hidup rumah tangganya dengan bahagia, ia mengatasi penolakan keluarganya dengan bersikap sabar, ia menjauhi semua api yang bisa memperburuk hubungan Male dan keluarganya dan tidak berhenti berusaha. Secara ekonomi, Male menghidupinya dengan usaha penjualan pulsa yang cukup menghasilkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tapi, Imma juga di sisi lain tidak berhenti berusaha. Kuliah lagi, dan tetap honor di salah satu SD di kampungnya nun jauh dari kota tempat mereka tinggal. Setelah setahun pernikahan, Imma melahirkan seorang anak lelaki yang ia beri nama Fauzil.
Aku lupa kapan tepatnya, masalah rumah tangganya mulai menggunung. Belum lagi keluarga besarnya bisa menerima Male sepenuhnya, prahara melanda. Aku mendengar Male tersangkut masalah hukum yang cukup pelik dan sangat serius. Di kota kecil seperti Bone apalagi di lingkunganku yang masih agak “old school” masalah seperti ini adalah masalah yang akan didengungkan dimanapun ibu-ibu berkumpul dan dibumbui di sana-sini supaya lebih mencengangkan. Dan aku? Sama sekali tidak tahu kebenarannya, yang kutahu Male tidak ada di rumah dan Imma memegang kendali penuh usahanya dengan sembari mengurusi bayi kecilnya yang saat itu sangat kurus. Jika bertemu Imma, aku memilih untuk tidak membicarakannya, aku memilih untuk pura-pura tidak tahu akan masalah rumah tangganya yang sudah diketahui hampir semua orang, aku memilih mengganti topik pembicaraan, jika mulai menyinggung masalah keluarganya, dan itu sangat menyakitkan. Sebagai sahabatnya, hanya itu yang mampu kulakukan. Datang dan menemaninya mendengar keluhan-keluhan tentang betapa repotnya ia mengurusi bayinya sendiri sekaligus usahanya. Aku tidak ingin menambah bebannya dengan membicarakan masalahnya, takutku itu akan membuatnya malu, karena tidak satupun istri yang waras yang ingin masalah rumah tangganya diketahui orang. Aku hanya menemukan kesedihan, keresahan dan gundah yang begitu besar di balik tawanya dan dalam tubuhnya yang semakin kurus.
Tapi diamku tidak bertahan lama. Aku ingat satu sore dimana aku menanyakan padanya. Dan ia membenarkan, dan meluruskan semua cerita yang kudengar, segala tangis yang ia tahan tumpah sembari ia menyusui Fauzil. Hampir semua desas-desus tetangga betul, dan aku heran ia masih saja bertahan dengan harapan bahwa rumah yang ia bangun akan kembali kokoh. Tanpa gangguan apapun atau siapapun. Ia tidak berubah, tetap dengan katabahannya memberi maaf atas semua kesalahan suaminya yang menurutku sudah pantas untuk dimejahijaukan dan mengehentikan semua prahara ini. Tidak hanya begitu, ia masih dengan mulia, sabar mengantarkan makanan untuk Male siang dan malam di bui, yang saat itu menangggung hukuman atas kebodohannya, yang menyia-nyiakan perempuan satu ini demi perempuan lainnya. Hampir setengah tahun, Imma menjadi single parent untuk Fauzil sekaligus penggerak ekonomi rumah tangganya, dan tetap menjadi istri untuk suaminya. Ia tetap bahkan berusaha ke sana kemari bersama ibu mertuanya mencari bantuan meringankan hukuman sang suami.
Setelah usahanya berhasil, ia mencoba menata kembali rumahnya yang bertahan di atas puing-puing kesedihannya, atas kebohongan dan penghianatan. Lalu, tidak berapa lama, Sang Maha menjawab doanya. Ia diterima menjadi PNS di daerah terpencil di Kalimantan sana. Ia berangkat bersama anak dan ibunya. Male yang punya usaha di Bone, tidak bisa ikut karena alasan itu. Tuhan memberik kesejukan yang lain di tengah semua himpitan yang menyesakkannya.
Tapi itu tidak lama, Imma datang dan mengabariku
“  Ayahnya Fauzil positif leukimia stadium rendah “ aku tersentak, kaget, sedih, bingung. Mungkin untuk Male ini adalah resiko atas semua pilihan hidup di masa muda yang telah dijalaninya dengan sia-sia dan berimbas langsung pada kesehatannya, pukulannya telak pula, kanker darah. Tapi untuk Imma??? Bukankah sakit untuk Male berarti berkali-kali sakit baginya? Dan bukankah ini menjadi cobaan berat yang kesekian kali untuk dirinya?
Hari ini, hampir dua tahun Male bertahan dengan semua rasa sakit yang ia derita, begitupun dengan Imma, baik langsung maupun tidak. Male lumpuh sebagai seorang kepala rumah tangga. Ia tidak bisa bekerja. Tubuhnya terlampau lemah untuk beraktivitas apalagi untuk mencari uang, tubuhnya selama lebih setahun ini harus ditopang oleh obat-obatan dan pemeriksaan rutin yang biayanya tidak sedikit. Imma menghabiskan hampir seluruh pendapatannya untuk kesembuhan Male. Beberapa kali Male urung berobat dan bertingkah layaknya tubuhnya tidak apa-apa, tapi ia pasti tumbang dan harus dilarikan ke rumah sakit, opname hingga berhari-hari, transfusi darah. Dan berkali-kali itu pula Imma akan terbang ke Bone dan meninggalkan kewajibannya terhadap negara untuk suaminya tercinta. Dan itu bukanlah tanpa ujian. Dia harus menghadapi semua cibiran rekan kerjanya dan sikap antipati banyak orang atas izinnya yang berlebihan. Lagi dan lagi, ia menghadapi semua itu dengan sabar.
Ia selalu positif melihat semuanya apalagi saat Sang Maha menunjukkan hidayahnya lewat penyakit yang ia kirimkan untuk Male. Ia mensyukuri, mungkin lewat penyakit itu, Male akan menjadi pribadi yang lebih baik. Untuk dunia dan akhirat.
Saat tulisan ini kubuat Male sedang berbaring lemah tak berdaya di RS. Dan Imma tidak henti memanjatkan doa untuknya dan tidak pernah lepas dari sisinya. Tulisan ini rampung di awal tahun, di tengah hujan deras yang membanjiri rumah baru yang ditempati untuk KBJ dan kami. Aku berkeras merampungkannya di hari ibu, karena diantara banyak perempuan yang mengisnpirasiku, dia salah satu perempuan hebat yang kukenal. Yang tak henti buatku menggeleng tak berdaya atas semua yang ia hadapi hampir sendirian lima tahun terakhir ini dan secara keseluruhan sejak aku mengenalnya. Aku bahkan sangsi, jika aku berada di posisinya, aku mungkin tak mampu melewati semua itu seperti dia.
Dan tulisan ini kubuat untuknya, untuk semua perempuan yang melihat cobaan hidup dari sisi yang berbeda. Bukan untuk ditangisi lalu membuat mereka hancur lebur, tapi sebaliknya menjadikannya sebagai perempuan tangguh dan hebat.

3 Januari 2013
# memikirkanpestaultahmaha

Komentar

Postingan Populer