...Musim Ujian…


 
Aku melawan kantuk di atas pete-pete yang jalannya seperti kura-kura.  Biasanya, jam segini pete-pete melaju cepat karena memburu penumpag anak sekolah yang harus sampai di sekolah sebelum jam 7. Pada umumnya begitu. Tapi, entah apa yag dipikirkan pak supir pete-pete 02 kali ini. untuk rutenya Veteran-Kampus Unhas, pete-pete ini biasanya full di pagi dan sore hari.mengingat armadanya hanya sedikit apalagi dibanding pete-pete daya, yang menurut sumberku sekarang mencapai seratus armada.
Ngantukku sesekali terusik karena menurutku aku sudah hampir terlambat padahal minggu ini bisa kubilang, The Leader buat sedikit kelonggaran.
Minggu ini minggu ujian. Lamanya 2 minggu, hanya 1 atau 2 mata pelajaran per hari. Di sekolah  ini, ada sekitar 13-15 mata pelajaran. Beberapa pelajaran tambahan seperi writing, tahfidz, jarimatika, dan ada beberapa lagi yang kulupa, menjadikan hari anak-anak dipenuhi dengan pelajaran.
“ Kelonggaran yang diberi The leader, bukan berarti membenarkannya. Tapi, ia mengurangi jam kerja kami mulai jam 7.30 sampai pkul 02.00. tapi tetap saja, aku bersungut-sungut. Pasalnya, anak-anak sudah pulang jam 11 pagi.harusya bisa pulang lebih cepat dari itu khan? Tapi, menurut big boss, banyak hal yang harus diselesaikan di sekolah.
Kumencari-mencari jam di lengan orang-orang yang duduk satu pete-pete denganku. Kutangkap sebuah jam merk Casio, keren di tangan seorang anak sekolahan berseragam putih abu-abu, jamnya sangat kontras dengan tasnya yang belel. Ah…anak muda jaman sekarang. Aku berjalan kaki ke sekolah, dengan gerak cepat berharap aku tidak terlambat. Hari ini, jadwalku di kelas Umar. Tidak teralu berat mengingat Bu Naima selalu ada di sisi kelas dan bertindak saat ada anaknya yang berulah.
Sekolah sudah sepi saat aku tiba di pertigaan jalan. Kupergegas langkahku masuk sekolah, kulihat anak-anak sudah rapi duduk di kelasnya. Dan, langkah cepatku tersendat. Kulihat Izza, anak kelas 3 sedang duduk menangis di tepi tangga menuju kelasnya.
“Kenapa? Tidak ujian?” tanyaku dan dia menggeleng. Kulihat air mata di wajahnya yang masih ia tundukkan. Kulihat jam dan aku sadar aku ditunggu anak –anak Umar yang soal ulangan Bhs. Indonesianya kupegang. Aku melangkah dan tidak menghiraukan Izza. Setelah membagi soal, aku permisi. ada Bu Naima. Kutengok Izza di tempatnya tadi, ia masih tidak bergerak. Aku menuju kelasnya.
“Izza tidak ujian? Tanyaku pada P Indra, pengawasnya. Aku mengkerutkan kening, dibalas dengan tawa P Indra yang tak menjawab tanyaku. Aku masih mengerutkan kening saat kembali ke kelas Umar dan melihat mereka yang sedang melahap soal SAINS dengan mudah. Pekerjaan mengawas di kelas ini tidak terlalu sulit, anak-anak ini cukup segan dengan Bu Naima. Sekali berdehem, anak-anak langsung memperbaiki posisi duduk mereka.  
Hampir dua jam berlalu, hampir semua anak-anak telah menyelesaikan ujiannya. Aku masih teringat Izza. Tapi, ingatanku tentang dia tiba-tiba kabur dan lama-lama menghilang karena banyak hal yang harus kulakukan dan kuselesaikan. Dan semua itu tujuannnya satu, demi agar aku bisa pulang cepat dan meninggalkan sekolah. Dan benar saja, aku berjalan pulang meninggalkan hariku di sekolah dan menuju kampus. Hari ini, aku berencana menghabiskan sore di danau. Pete-pete melaju di jantung Makassar. Hari masih siang, dan Makassar pastinya panas. Beberapa rekan sesama penumpang pete-pete semua mengerutkan kening. Dan tiba-tiba, ada yang mengganjal dan menusukku dengan sesal.
Aku baru teringat lagi dengannya, anak umur 8 tahun, bertubuh agak kurus, dengan kulit putih dan rupa yang menawan sedang terisak di depan kelas, yang kutemui pagi tadi. Izza, aku lupa nama lengkapnya. Seingatku, dia tidak pernah punya masalah yang berarti, selain seperti anak-anak ihkwan di kelas Umar, yang hanya sering mengganggu teman-teman akwatnya. Dia selalu bersemangat, selalu punya banyak mainan yang dibawa ke sekolah. Yah…dia Izza yang sama yang kulihat tadi pagi, yang tak sempat kutanyai karena aku terlalu bergegas, yang tak sempat kuangkat dari jerat kesedihannya karena aku terlampau berambisi untuk pergi, yang tak sempat kuajak berbagi karena aku terlalu mengagungkan kebebasanku hingga lupa tujuanku berada di sekolah itu.
Menjadi guru…bukan hanya menjadi penyejuk akan dahaga pengetahuan murid-murid kami, tapi juga menjadi penopang saat mereka ingin bangkit dari keterpurukan. Seperti tadi, harusnya aku berhenti sejenak, duduk di dekatnya dan mendengar kisah yang membuat air matanya berlinang. Tapi, tidak…aku terus berlari, hingga aku di sini dengan setumpuk rasa yang mengganggu.
Inilah musim ujian yang sebenarnya. Saat aku yang sejak dulu berkeinginan untuk menjadi guru dan hari ini telah kukalikan nol semua mimpi-mimpi muliaku karena mengabaikan seorang muridku.  Inilah musim ujian. Ujian bagi murid yang menuntut kita mengapresiasinya hanya dengan deretan angka-angka. Tapi, pada hakekatnya, kitalah guru yang diuji. Seberapa pantaskah kita berada di sini, di tempat yang masih dianggap kebanyakan orang sebagai seorang sang pencerah yang tahu banyak hal. Seberapa pantaskah kita di sini, sebagai tempat yang dipercayai banyak orang untuk menitipkan perkembangan kecerdasan dan pola hidup anaknya kelak. Seberapa besarkah kita telah berbuat hingga menanamkan nilai-nilai kehidupan yang bukan hanya mampu mereka jawab dengan tepat di atas kertas tapi juga untuk kehidupan mereka selanjutnya?
Aku melangkahkan kaki menyusuri Jalan Sahabat, menuju kosanku, sembari terus berpikir tentang Izza dan kekerdilanku. Sepanjang jalan di pete-pete tadi, kutanya beberapa guru tentang Izza via sms. Bu Naima, Pak Indra tidak membalas. Kakiku kulangkahkan malas gontai menikmati terik. Ponselku bergetar. 1 pesan, kulihat dari Kiki, kuharap ia tahu jawabannya

td Izza tdk msk ujian,
krn terlambt mmbyr bul
nan… mkax dia mngis trus

aku membaca pesan Kiki di layar ponselku. Dan aku geram berkali-kali. Lagi, karena masalah itu.., lagian si Izza ini bukan orang yang tidak mampu. setahuku ayahnya punya jabatan di perusahaan asing, terlambat satu hari khan sekolah ini tidak akan bangkrut. Aku hanya menggeleng, takluk. Aku toh tidak bisa berbuat apa-apa atas aturan yang terlalu kaku padahal dibuat oleh manusia yang kuharap hatinya tidak kaku..... 

 Juni 2007
#maaf Izza….

Komentar

Postingan Populer