Cari Muka mu

Waktu mondok di pesantren dulu, kami punya semacam ungkapan dalam bahasa arab (tentunya bahasa arab a la anak IMMIM, yaitu perpaduan antara bahasa arab dan aksen Makassar kental yang tentu tak akan dipahami oleh siapa pun yang menjadikannya sebagai bahasa Ibu di negeri unta sana) yang nadanya bercanda sebenarnya tapi saya pikir sangat satir. Man yabhas wajhong yajidu warakong, atau man yabhas wajhong yajidu sappatong. Ungkapan ini asli produk bahasa arab kombinasi aksen Makassar yang artinya barang siapa yang mencari muka maka ia akan mendapat tempeleng (tamparan) atau barang siapa yang mencari muka maka ia akan mendapatkan pan...tiiit… (sory di sensor…karena rada jorok…). Saya tidak tau persis kapan istilah itu muncul atau karena peristiwa apa hingga ungkapan nyeleneh itu menjadi salah satu “mahfudhat”  yang tak diajarkan oleh ustaz manapun. Tapi bagi siapapun yang pernah merasakan hingar bingar menjadi santri apalagi hingga enam tahun seperti saya tentu tidak akan susah menebak asbabun nuzul nya istilah ini…hahaha……….
Kenapa banyak yang menyebut pesantren sebagai “penjara suci”, saya pikir karena hampir 24 jam para santri (khususnya bagi sanri-santri yang masih berada di tingkat bawah) berada dalam “teror”, paling tidak itu yang saya rasakan. “Teror” itu tidak berwajah satu namun ia memiliki banyak wajah. Dan karena itu, maka dibutuhkan upaya-upaya strategis untuk menyiasatinya sehingga namamu tidak selalu mengisi daftar santri yang “terhukum” dan diumumkan usai shalat Isya dihadapan seluruh penghuni pondok. Salah satu strateginya ya cari muka (carmuk) itu. Berusaha sekuat mungkin mendapatkan perhatian lebih dari senior atau ustaz dengan cara dan segmen bervariasi yang semuanya berorientasi agar lebih mudah mendapatkan privilege (perlakuan khusus) dan akhirnya potensi untuk mendapatkan hukuman bisa diminimalisir tanpa harus selalu menjalankan kewajiban-kewajiban yang memang menguras energi. Nah, parahnya tidak semua strategi carmuk itu berjalan sempurna. Meski misalnya si santri A rela memberikan hampir semua kiriman makanan dan minuman untuk sang senior tapi giliran pemberian hukuman si A tetap mendapatkan “jatah” nya dengan kualitas yang tidak kalah hebat dengan mereka yang menjalani aktivitas dengan alamiah saja dan menganggap bahwa semua yang dialaminya memiliki hikmahnya masing-masing jadi tak perlu bersusah payah berlicik-licik ria.

 Mungkin terkesan sok suci tapi seingatku saya termasuk tidak terlalu senang dengan berbagai hal yang berhubungan dengan sikap yang berusaha sekuat tenaga mencari perhatian seseorang kemudian harus mengorbankan hal-hal yang prinsipil dalam diri hanya untuk tujuan-tujuan pragmatis. Rela menyanjung-nyanjung atasan meski harus berbohong hanya agar tak didepak dari posisi strategisnya sehingga anak-anak di rumah masih bisa tetap bercerita tentang liburan-liburan mahal di seantero dunia. Tak masalah harus  selalu sok akrab dengan si dosen agar bisa dengan mudah mendapatkan nilai A meski tak begitu menguasai substansi mata kuliah. Atau yang paling membuatku menyumpah kalo tokoh ato pemuka agama pake jabatan dan cium tangan segala sama pejabat-pejabat Negara yang nyata-nyata menilap yang bukan haknya hanya agar bisa mendapatkan ini itu. Dan banyak bentuk pembiaran dan perelaan yang lainnya yang tentu terjadi di sekeliling kita.

Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, Ibu ku yang kebetulan jadi guru agama di sekolahku pernah suatu waktu marah besar saat mendengar desas desus bahwa salah seorang teman kelasku menuduh kalo nilai ujianku tinggi karena saya mendapat perlakuan khusus sebagai  anak guru. Padahal Ibu selalu bercerita kalau ia tak pernah mau tau atau mengintervensi proses penentuan nilai atau rangking kelas saat rapat bersama semua guru, apalagi sampai berusaha mencari perhatian wali kelasku untuk mendongkrak nilai mata pelajaran. Selain karena itu perbuatan curang, Ibu juga sangat kenal dengan kemampuan anak sulung laki-laki satu-satunya ini yang memang sangat bisa diandalkan meski tanpa iming-iming perlakuan khusus…hahahaha….

 Di era seperti sekarang dimana orang-orang dan mungkin juga termasuk saya yang begitu mengandalkan jaringan (link) untuk pencapaian-pencapaian hidup, cari muka kemudian seolah menjadi absah dan tidak ada masalah disana. Bahkan ia menjadi kewajaran dan diamini bahkan cenderung dianjurkan…hmm..menggelikan! Jadi ingat, lucu juga menyaksikan beberapa teman saat KKN dulu yang tiba-tiba sok dekat sambil mengumbar senyum paling manis sana sini kepada para dosen-dosen supervisor , entah untuk tujuan apa. Mungkin supaya dapat lokasi yang bagus atau supaya bisa mudah mendapatkan izin meninggalkan lokasi. Entahlah. Yang jelas ma uterus tertawa dan sedikit muntah menyaksikan tingkah yang cenderung berlebihan itu.

Kurang ingat tapi saya yakin pernah coba-coba berusaha menjalankan taktik cari muka ini entah untuk tujuan apa, tapi saya selalu tidak kurang beruntung dan gagal. Mungkin karena kurang berbakat atau kurang gigih usahanya atau mungkin juga karena kurang bisa mengumbar senyum agak lama. Dan bagi pengagum metode relasi publik seperti ini mungkin akan segera berkesimpulan bahwa ketidakmampuanku ini menjadi alasan utama sehingga kasta sosialku disini-sini saja…hahaha… tukang sablon yang nyambi jadi dosen dan kini menjadi mahasiswa pascasarjana di salah satu fakultas di Universitas tertua di Indonesia. Weits, what a life!

Itu hanya persoalan kesempatan saja yang belum datang. Begitu banyak pendapat orang kalau melihat mahasiswa yang mengkritik ulah pengampuh negeri ini yang omnivora itu, niat banget memakan apa saja, semuanya dilibas tanpa belas kasih dari hulu hingga hilir. Nah, begitu pula dengan ketidakmampuanku yang satu ini, orang pasti akan berasumsi kalo ini persoalan kesempatan saja yang belum ketemu. Tapi hipotesa ini sangat bisa segera kubantah. Dulu saat menjadi ketua salah satu organisasi himpunan jurusan di kampus, saya tidak banyak dikenal tuh sama dosen-dosen atau pejabat fakultas dan betul-betul malas berusaha keras untuk mendekat-dekatkan diri. Sangat malas tepatnya.

Tapi hidup kan terus berputar, bukan begitu? Yah mungkin saja besok-besok saya terpojok di satu sudut yang mau tidak mau memaksaku untuk cari muka sambil senyum sok manis kepada atasan mungkin untuk mendapatkan posisi atau proyek atau segepok rupiah. Sangat mungkin. Tapi untuk hari-hari ini saya mau cari muka sendiri saja dulu. Masih berbentuk wajah manusia kah? Atau tanpa sadar kini wajahku dan mungkin wajah kita semua telah bermetamorfosa menjadi wajah-wajah yang kita sendiri tidak mengenalinya karena tumpukan topeng yang terus memaksa melekatkan dirinya. Asli tapi palsu! Harapannya, setelah mengenali wajah sendiri maka tidak sukar mencuri perhatian Sang Maha Segala.

Bukankah siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Rabb nya.


Asal Mula, 12 September ‘11
Sudah2mi kasian cari muka. Apalagi ko cari ka?


Komentar

Postingan Populer