20 again....???
Sebenarnya, cerita ini tidak dimaksudkan untuk menceritakan
salah satu film Korea yang baru kemarin habis kutonton. Film yang jauh-jauh
hari direkomendasikan K Irna untukku _padanya kami menggantungkan stok film
Korea ..hahahhaaha_. Serial ini berkisah tentang perempuan yang karena hamil,
menikah di usia muda, 18 tahun dengan seorang lelaki pintar, berambisi, namun
juga masih muda saat itu. Ceritanya berawal dari keputusan suaminya yang
menginginkan perceraian. Alasannya masuk akal, mereka tidak lagi berkomunikasi
dengan baik. Suami sang professor merasa bosan dengan istrinya yang tidak
bergairah akan hidup, menua dengan sinar masa muda yang semakin hilang. Istri
perempuan yang 20 tahun telah menghabiskan hidupnya hanya untuk suami dan
anaknya, divonis kanker pancreas dengan sisa hidup 6 bulan, dan berusaha untuk
meraih hidupnya lagi. Ia memulai usaha menemukan 20 tahunnya yang hilang,
dengan kuliah. Di kampus, ia bertemu dengan teman-teman baru yang sebaya
anaknya, ia masuk klub tari yang menjadi mimpinya, bekerja paruh waktu, dan bertemu cinta pertamanya yang tak pernah
ia sadari, ia menemukan dirinya kembali.
Intrik kisah cinta mewarnai drama korea ini, seperti drama
korea lainnya. Yang berbeda, langkah-langkah kecil yang diambilnya
menggiringnya untuk menemui dirinya yang dulu. Seorang perempuan muda yang
punya banyak mimpi, yang berani, yang melangkah dengan tegas tanpa rasa takut.
Sinar dari dirinya mulai bercahaya kembali. Ia mulai berani bermimpi kembali,
mulai berani menuliskan ulang hidupnya. Hubungan dengan anaknya mulai cair, dan
ia mulai sadar bahwa ia tidak pernah betul-betul mencintai suaminya. Endingnya
berakhir bahagia,..walau lika-likunya cukup menyesakkan. Untuk hal yang satu
itu, drama Korea selalu punya cara sendiri untuk membuat penontonnya bahagia,
dan atau membuat kita merasa sakit seperti menghujam bagian terdalam.
Di film ini, gamblang dikisahkan bagaimana pernikahan
khususnya di usia muda, mengikis masa muda masing-masing suami dan atau istri.
Karenanya, saya merasa penting untuk menuliskannya. Menikah di usia muda bagi
orang tua terlalu beresiko, namun bagi anak muda keputusan itu adalah keputusan
berani. Banyak yang berdecak kagum, tapi banyak juga yang menggeleng-geleng
menyesalinya.
Pernikahan saya dan komrad saya mulai ketika saya berumur
duapuluhtiga tahun, tidak terlalu muda namun cukup menghawatirkan banyak orang
kala itu. Perbedaannya dengan darama di atas, saya sadar akan menghadapi banyak
ujian. Saya dan komrad mempersiapkan diri. Kami berdua terus belajar. Selalu
ada hari-hari berat, selalu ada waktu-waktu di mana saya dan komrad ingin lepas
dari peran menjadi suami, istri, bapak atau ibu. Ada titik di mana saya melihat
teman-teman yang mengembangkan dirinya dan merasa cemburu di dalam hati. Ada
“andai-andai” yang sesekali muncul. Dan itu wajar, semua orang punya sisi dalam
dirinya yang selalu penasaran untuk menjadi orang lain.
Menikah muda memang penuh resiko. Umur 20-30an adalah masa
di mana kita ingin bersinar, menunjukkan diri kita. Usia dimana segala ingin
harusnya bisa kita usahakan sendiri, tanpa beban suami,istri atapun anak. Tapi pernikahan
tidaklah seharusnya menjadi beban. Saya tidak membenarkan pendapat banyak orang
yang melihat pernikahan sebagai tembok besar yang akan mengekang orang-orang di
dalamnya. Pernikahan tidak perlu merubah dirimu. Sejatinya, kita masing-masing
punya impian, dengan menikah kau akan berjalan meraih semua itu dengan orang
yang menggenggam tanganmu selalu. Bukankah itu indah daripada mesti berjalan
sendirian?
Dengan segenap keyakinan pada diri dan komrad, kami menjadi
hingga hari ini. Menjadi ibu rumah tangga, tidak perlu menutup jalanku untuk melakukan
banyak hal. Saya malah tumbuh semakin besar dengan kebanggaan luar biasa
menjadi istri dan ibu. Saya tidak kehilangan waktu muda saya, kami bahkan
mencoba hal-hal baru bersama. Bersama-sama membangun Kedai Buku Jenny dengan
seluruh aktivitas di dalamnya, juga upaya agar kami tidak tergerus waktu. Kami
sengaja atau tidak menciptakan ruang-ruang itu untuk menjaga agar kami tetap
‘waras’. Baru-baru ini bahkan, saat KBJ bersama teman-teman HIMAHI bekerja sama,
saya serupa diberi energy baru. Saya menggagas
konsep, mengejar deadline, rapat rutin,
memasang display hingga larut malam, bekerja, tertawa bersama anak muda yang usianya terpaut 8-10 tahun
denganku. Seperti yang saya lakukan saat masih mahasiswa. Saya menemukan
semangat, gairah. Saya menikmati
hari-hari sibuk sebagai tim kerja dan komrad melapangkan ruang saya. Dia
mengendurkan ego dengan menunggu di rumah menjaga mahasuar sembari saya sedang
bergulat ide di sempitnya ruang himpunan. Dia legowo, saya memasak seadanya,
dia bahkan membiarkan saya tidur hingga siang keesokan harinya setelah acara
usai. Dia selalu seperti itu saat saya 3-4 kali setahun mengurusi acara yang
lumayan besar di KBJ. Tidak ada yang perlu dibanggakan, karena seharusnya
begitulah hubungan suami sitri. Saling mendukung dan saling menopang.
Saya selalu percaya, pernikahan itu misterius. Kita tidak
pernah tahu apa yang membuat kita tanpa rasa jenuh memandangi orang yang sama
hingga berpuluh tahun. Cinta di dalamnya tentunya sudah diterjemahkan dalam
banyak kata dan bentuk. Dan sejak awal, saya menaruh kepercayaan besar pada
komrad untuk sama-sama tidak menyerah akan kami. Dan itu bukanlah pekerjaan
yang mudah. Betul-betul bukan pekerjaan mudah.
Ini bukan provokasi agar kalian cepat menikah, bukan juga
penegasan bahwa pilihan kami bisa diadopsi
semua orang. Tulisan ini hanya menambah kemungkinan-kemungkinan yang lebih
luas. Intinya, menikah atau tidak kamu tidak boleh menyerah akan dirimu.
Menikah sekarang atau nanti, kamu harus hidup dengan bahagia. Harus.
Satu lagi, kau tidak perlu berumur 20 tahun untuk merasakannya....
Ibumahasuar
September 2016
Komentar
Posting Komentar