Sore itu di PKM…
Sebagai penghuni PKM di beberapa tahun kuliah, ada satu tipe
sore yang sangat berharga yang selalu kuingat. Sore, dimana kuliah belum
terlalu aktif dan teman-teman penghuni PKM lainnya masih di kampung. Saat
itulah, PKM menjadi senyap, aktivitas setiap UKM masih minim dan yang
membuatnya berharga adalah kamu bisa tidur siang tanpa “gangguan”. Kalian pasti
tahu, namanya saja pusat kegiatan, pasti tempat itu dipenuhi kebisingan baik
yang perlu ataupun tidakk, baik yang direncanakan ataupun tidak.
Dan di sore seperti itu, saat menikmati tidur yang berharga,
ada satu jenis teriakan yang selalu kukutuk dan selalu berhasil mengganggu
tidurku yang sangat jarang waktu itu. Yaitu, suara teman-teman UKM Taekwondo
atau Karate yang selalu rajin latihan. Entah saat PKM tak berpenghuni apalagi
saat sedang dihujani pendatang. UKM bela diri itu selalu rajin latihan dan
setiap latihan selalu saja heboh. Saat seperti itu, saya akan terbangun dari
tidur siang yang sekali lagi berharga dan kemudian duduk di trap dan dari
lantai 2 melihat mereka satu persatu. Saya selalu bertanya, kenapa kalian harus
berteriak? Kenapa kalian rajin sekali latihan? Seolah besok negara membutuhkan
kalian untuk berdiri di garda terdepan untuk membela negara? Saya sering
tertawa meliahat mereka latihan. Mereka selalu serius.
Hingga kini saya tidak tahu jawabannya
Dan kemarin, beberapa waktu lalu berselang hampir 13 tahun .
Saya duduk di tempat yang sama dengan
bau yang masih kuhapal di luar ingatan. Saya sedang menikmati pemandangan yang
sama. Lebih dua puluhan orang, anak-anak, remaja dan mahsiswa sedang latihan
taekwondo. Dengan semangat dan teriakan
yang serupa bunyinya bertahun-tahu lalu. Dan saya masih tertawa melihatnya.
Namun kali ini, tawa saya tidak berisi keluhan atau
kejengkelan. Tawa saya berisi bahagia. Mata saya focus pada satu objek kecil di
bawah sana yang bergerak dengan lemah dan teriakan yang tidak begitu keras. Yah,
ini adalah hari pertama kakak maha di kelas Taekwondo. Dia berbulan-bulan lalu
meminta agar dicarikan tempat belajar bela diri. Dia mempercayakan pada kami _bapakibunya_
untuk menentukan jenisnya, karate, taekwondo atau pencak silat. Kami memilih
taekwondo. Alasan bapaknya cukup simple, “supaya tendangannya tinggi”.
Mungkin sudah sering saya ceritakan bahwa maha tergolong
anak yang malas bergerak. Dia sebenarnya cukup sering bermain dengan anak-anak
sebayanya di sekitaran rumah, bersepeda
atau menghabiskan hari dengan berkejaran dengan suar. Tapi, semua orang yang melihatnya
terlebih jika dibandingkan dengan suar, maha jauh lebih tenang. Namun, dia selalu mengeluh kenapa badannya
tidak bisa tumbuh drastis. Ia ingin badannya besar dan tinggi. Makanya segala
syarat di usahakannya. Mulai dari makan teratur, istirahat yang cukup, dan olahraga.
Pasal yang terakhir_olahraga, adalah hal yang selalu ia keluhkan pada bapaknya.
Ia berasumsi bapaknya tidak terlalu mendukungnya untuk hal itu. Bapaknya sering
malas jika diajak berenang, sering malas jika diajak jalan dan lari, dan maha
menyimpulkan bapaknya tidak terlalu berusaha untuk itu.
Akhirnya, ia meminta dimasukkan kelas beladiri. Memilih kegiatan
ekstra yang rutin, selalu hati-hati untuk kami putuskan. Pertama itu harus
berdasarkan keinginan maha dan yang kedua alasannya cukup jelas. Saat beberapa
kali kutanyakan alasannya, seperti kebanyakan anak ia menjawab supaya dia tidak
perlu takut jika ada orang yang mengganggunya. Alasan itu kutolak. Proposal untuk
ikut bela diri belum kuloloskan sampai ia menjawab kira-kira seperti ini “ supaya saya olahraga
teratur, badan saya bergerak terus, terus ibu bilang olahraga itu bisa buat
kita lebih percaya diri, supaya saya juga bisa lebih berani jika bertemu orang-orang
”. Saya tersenyum. Alasan itu dikemukakannya beberapa hari setelah alasan
laiinya kutolak dengan perdebatan yang cukup sengit dimana ia selalu buntu.
Berangkat dengan alasan itu, kami menuju PKM dan
mendaftarkannya secara serius.
Nah, bukan maha namanya jika ia tidak gugup menghadapi
lingkungan baru. Sore itu, saya berjalan mengantarnya ke PKM dengan perjanjian
saya tidak akan menemaninya. Sejak pulang sekolah, ia sudah panic menunggu
Ashar. Tangannya bahkan dingin saat ia melihat latihan beberapa menit lagi
dimulai. Saya tersenyum dan memutuskan untuk menemaninya. Ketakutan ibu selalu
lebih besar saat dia tahu anaknya sedang berusaha melwan rasa takut. Saya menuju
TKU, di lantai 2, mencari teman untuk menghabiskan waktu. Tapi, hanya ada Askar
di sana yang tidurnya harus terganggu
karena kedatangan saya. Saya memutuskan melihat maha dari atas, dari lantai 2. Saya
tidak berhenti tertawa melihat gerakannya yang cenderung ringkih dan tidak
bertenaga. Kaku dan linglung akan arah. ia benar-benar lucu. Berdiri dan
bergerak diantara remaja dan mahasiswa. Tapi dia bisa melewatinya.
Saya bahagia karena
dia berani memutuskan apa yang dia inginkan. Saya bahagia karena dia
melawan rasa takutnya demi untuk menggerakkan seluruh badannya. Saya bahagia
karena dia bahagia mengikuti kelas ini hingga matahari terbenam. Kami pulang
dengan puas dan bahagia.
Terima kasih nak…untuk berbahagia dengan segala yang kau
inginkan. Cukup seperti itu.
20 September 2016
ibumahasuar
Komentar
Posting Komentar