Maha dan Cerita Pilu
![]() |
(Foto : Instagram Harpiana Rahman) |
Sore itu, saya sedang
mengikuti latihan pramuka yang wajib diikuti oleh semua santri saban akhir
minggu. Tiba-tiba saya dihampiri oleh santri lain sepantaran saya dan juga
mengenakan seragam pramuka seperti yang kukenakan sore itu. Santri yang
bertugas sebagai piket harian itu memberi kabar kalau saya kedatangan tamu. Sebuah
kabar gembira tentunya bagi santri seperti saya yang sangat jarang dikunjungi
oleh sanak keluarga. Awalnya agak tak percaya tapi saya semakin yakin karena
dari kejauhan kulihat salah satu sepupu saya yang sedang mencari-cari
keberadaanku. Ia salah satu dari sedikit kelurga yang kuliah di Makassar dan
pernah sekali menjenguk saya di pondok. Segera saya berlari menuju ruang tamu
setelah menghampiri si sepupu dan mencium tangannya dan mendapat kabar kalau
ibu dan bapak datang mengunjungi saya. Tak terbayangkan gembiranya saya. Saat itu
saya masih berusia 12 tahun dan itu kali pertama kedua orang tua saya
berkunjung ke “penjara suci” itu.
Sore itu, saya benar-benar memuaskan
kerinduan saya bersama ibu dan bapak yang sebenarnya tak pernah habis-habis
apalagi untuk anak se-belia saya dan sebelumnya tak pernah benar-benar jauh
dari dekapan kedua orang tua dan tiba-tiba berpisah dengan jarak yang ekstrim.
Saat itu, Makassar-Kendari mesti melalui perjalanan dengan bus yang melelahkan
karena moda transportasi udara masih benar-benar mahal. Setelah semua adegan
melepas rindu itu, dengan percaya diri berujar jika saya tak lagi rindu apalagi
menangis seperti saat pertama kali menginjakkan kaki di pondok. Maklum di
masa-masa awal mondok, hampir sebulan penuh saya tak berhenti meneteskan air
mata karena rasa rindu. Dan tak ada subuh yang saya lewatkan tanpa air mata
saat kumandang azan memanggil. Dan Ibu hanya tersenyum dan menghaturkan syukur
jika demikian adanya.
Tapi apa yang saya ucapkan
sore itu ternyata berubah 180 derajat beberapa hari kemudian. Di sore yang lain
ketika saya harus diantar kembali ke pondok setelah menikmati libur jum’at,
tiba-tiba mulut saya begitu susah terkatup dan dada ini seperti berdetak
kencang tak beraturan dan tak lama air mata yang tertahan akhirnya susah
terbendung. Saya menangis terisak-isak sambil memeluk ibu dan tak ingin lepas
dari dekapannya. Sore itu saya harus kembali ke pondok dan berjibaku dengan
rutinitas yang selalu melelahkan khususnya bagi santri baru seperti saya saat
itu dan keesokan harinya ibu dan bapak akan kembali ke Kendari untuk menjalankan
tugas sebagi abdi Negara. Tak terbayangkan rasa pilu yang saya tanggung sore
itu. Tapi setelah bujuk rayu akhirnya dengan sangat berat hati saya mesti
melepaskan dekapan ibu dan kembali ke pondok.
Meski sudah balik ke pondok
dan kembali meninggalkan kehangatan bapak dan ibu namun adegan pilu belum juga
berhenti. Saya hafal benar jam keberangkatan bus ke Kendari dari Terminal
Panaikang itu sekitar pukul satu siang dan dengan begitu saya juga sangat bisa
mengira-ngira bus itu melintasi pondok saya yang memang berada di pinggir jalan
Tamalanrea. Sebelumnya ibu juga sudah memberitahu kalau ia memilih kursi di
depan dan yang terpenting dekat jendela yang dapat membuat saya leluasa
melihatnya saat melintas di depan pondok.
Setelah shalat zuhur dan makan
siang, saya yang masih berbusana shalat lengkap dengan peci segera berlari ke
bibir pagar pondok sambil membawa sebuah apel merah pemberian ibu kemarin hari.
Sambil memegangi pagar dengan erat dan memandangi dengan seksama bus yang lalu
lalang dan memastikan bahwa bus yang ditumpangi ibu dan bapak belum melintas. Karena
agak lama menunggu, saya benar-benar khawatir jangan-jangan bus itu sudah
melintas dan saya tak memperhatikan dan dada saya mulai berdegup kencang tak
beraturan tapi tak lama dari jarak yang tak terlalu jauh kulihat bus yang menjadi
langganan kami jika hendak ke Makassar ataupun sebaliknya semakin mendekat. Segera
kunaiki pondasi pagar itu dan mencondongkan badan melewati pagar yang memang
tak begitu tinggi itu agar bisa lebih jelas melihat wajah ibu. Detik-detik itu
begitu membuatku tegang dan dada masih sama, berdegup kencang tak beraturan. Dan
saat bus itu melintasiku, kulihat ibu mengeluarkan tangannya dari jendela bus
dan melambaikan tangannya kepadaku dan segera kubalas dengan lambaian pula dan
setelah itu bus itu melaju meninggalkanku. Saya masih terpaku di bibir pagar
dengan perasan yang tak karuan lalu tiba-tiba rindu segera membuncah hingga
memenuhi kujur tubuh dan tak sadar air mata mulai mengucur deras meski tanpa
isak. Diujung mata kulihat tem,an sekamar dengan gulungan sarung agak besar di
perut ternyata sedari tadi berada di bibir pagar yang tak jauh dariku, juga
sedang menanti detik-detik pilu sepertiku.
***
Dua siang lalu, maha tiba-tiba
saja terlihat tak riang seperti biasanya. Bukan karena ia baru agak baikan
setelah demam tinggi dan flu berat yang ia alami beberapa hari sejak balik ke
Bone lalu membuat suaranya agak serak dan seksi, bukan. Gelagat yang saya dan
ibunya sangat kenal. Kalau ia tiba-tiba diam dengan tatapan kosong dan mulai
mendekat dan merapat ke Ibunya itu berarti sebentar lagi akan ada adegan
bertabur air mata. Dan karena kami sangat hafal dengan gelagat itu, maka sebelum
air bah itu mengucur deras diiringi raungan pilu, maka kami selalu punya
cara-cara sendiri untuk mencegahnya.
Dua siang kemarin itu, saya
bersama adik ipar harus kembali ke Makassar setelah beberapa hari di Bone menemani
ibunya maha merawat dua jagoan kami yang jatuh sakit. Seperti biasa maha sudah
diberitahu sebelumnya akan rencana kepulanganku sehari sebelumnya. maha
mengiyakan dan tak ada reaksi apa-apa, semuanya baik-baik saja. Tapi saat saya
mulai berkemas dan menyalami satu per satu yang ada di ruang tamu siang itu,
maha mulai terlihat tak menikmati senda gurau sebelum kami menempuh perjalanan
bermotor ke Makassar. Ibunya maha yang melihat gelagat aneh pada maha lalu memberikan
kode ke saya agar memberikan perhatian ke perupa jagoan kami itu. Saya lalu
mengulurkan kedua tangan menawarkan gendongan mesra lalu disambut maha dengan
dekapan erat seolah mencegahku meninggalkannya. Dekapan itu lalu membawaku
tiba-tiba ke potongan-potongan kisah pilu masa-masa mondok dulu. Saya yang tahu
benar dengan apa yang dirasakan maha lalu segera menjelaskan kalau saya hanya
ke Makassar dan toh ia dan ibunya serta Suar tentunya juga akan segera ke
Makassar akhir minggu ini. Dadanya kuelus lembut karena kutahu betul kalau ia
sedang bergemuruh dan ciuman berkali-kali kudaratkan ke pipi serta pelipisnya. Maha
masih mendekap semakin erat dan tak lama air mata itu mengucur pelan tak
terbendung.
Seingatku ini kali pertama
menunjukkan ekspresi pilu saat saya mau pergi. Sebelum-sebelumnya, meski ia
mencegahku pergi tapi saat hendak beranjak biasanya ia akan tetap tersenyum
mengantarku hingga saya melambaikan tangan dari mobil angkutan yang saya
tumpangi. Adegan dua siang kemarin itu benar-benar membuatku merasakan apa yang
dirasakan ibu bapak dulu dan tentu kembali mengingatkanku dengan masa-masa
sedih saat berpisah dengan ibu bapak dulu. Tapi sejak lama saya dan ibunya maha
selalu tahu dan makanya kami selalu bersiap diri saat suatu hari kedua jagoan
kami ini meminta permisi untuk mengeja masa depan mereka masing-masing di
tempat yang jauh dari kami. Agak susah dan kadang tak mau membayangkannya tapi bukankah
kebaikan dan perubahan seringkali membutuhkan hijrah dari zona nyaman? Hmmm….
Diperjalanan, sambil
memandangi pemandangan indah yang kutakut akan segera sirna oleh kerakusan khas
para pemburu kasta kutersenyum mengingat rona wajah maha sebelum pamitan. Ah,
maha sudah bertambah besar. Selamat 5 tahun perupa kecilku J
Shallualannabiy
Bapakmahasuar
Kedai Buku Jenny, 14 Januari
2014
Komentar
Posting Komentar