Saya Pikir Saya Sudah Siap

"Ibu, sepertinya mauka' lagi coba belajar di sekolah nanti pas SMA" begitu kata Maha beberapa bulan lalu. 

Pernyataan itu beberapa hari kemudian kami jadikan bahan diskusi, sekaligus evaluasi pembelajaran proses belajarnya di rumah. Saya tahu proses belajar di rumah ada tantangan yang kadang masih sulit dicapai Maha. Namun, kami sepekat meprrioritaskan 2 hal selama 2 tahun itu, yaitu dia tidak boleh belajar di bawah tekanan dan semua hal yag dia kerjakan adalah proses belajar. 

Dalam proses itu, Maha merasa butuh teman teman untuk belajar bersama. Selama ini teman teman Maha cukup banyak di kompleks, dan mereka intens bertemu, bermain dan ke mesjdi sama sama. Dan sepertinya itu tidak lagi cukup untuk Maha. 

Jadilah, bulan Juni kemarin kami hunting beberapa sekolah. Khususnya SMK. SMA memang tidak pernah ada dalam list keinginan Maha.  Singkat cerita, dia mundur setelah mendapati kenyataan bahwa pelajaran di SMK justru jauh lebih banyak dan padat dibanding SMA dan bukan suasana sekolah seperti itu yg dia inginkan.

Lalu, di sebuah Minggu yang lapang, kami punya kesempatan berjalan jauh. Lalu memutuskan menuju Le Cendekia. Sekolah ini bukan sekolah baru dalam list kami. Aktivitas anak anaknya cukup sering saya pantau melalui postingan direkturnya yang sesekali lewat di beranda Facebook ku. Beberapa teman yang saya kenal juga menyekolahkan anaknya di sana.

Le Cendekia memberi kesan pertama yang membahagiakan bagi kami semua. Sekolahnya berupa bangunan yang belum rampung seutuhnya dan terletak di atas gunung di daerah Pakatto, Gowa. Bangunan ini menjadi kanvas besar kreativitas siswa di sana. Artwork karya siswa cukup mendominasi dan menarik  perhatian. Di bagian belakang, dekat pendopo kecil ada kebun dan kolam ikan. Ada penampungan ecoenzyme, tong sampah terpilah, dan komposter. Maha langsung menyukainya.

Le Cendekia secara detail lalu dijelaskan Bu Tami, admin LC, yang juga teman lama kami di KBJ. melalui chat WA. Terkait kultur sekolah, komitmen, aturan dan kesepakatan kelas. Sekitar sebulan kami berdiskusi cukup intens. Khususnya terkait kesiapan Maha secara mental. Dan Maha menjawab selalu tanpa ragu. 90% yes, katanya. Saat saya tanya 10% nya apa, dia bilang kalau ibu tidak setuju. 

Saya sejujurnya cenderung tidak setuju. Saya masih selalu percaya bahwa sampai 17 tahun anak-anak sebaiknya berada dalam pengawasan keluarga. Jika bersekolah, sebaiknya sebaiknya sekolah di dekat rumah. Agar mudah terpantau, teman temannya bisa terdeteksi dan koordinasi dengan sekolahnya bisa lebih mudah.  

Tapi saya tahu, saya tidak boleh egois. Apa yg menurut saya ideal tentu tidak selalu benar. Lalu saya berdiskusi lagi dengan komrad. Menimbang baik buruk berdasarkan pada kebutuhan dan  kepentingan terbaik Maha. 

Lalu, kami mengajukan pendaftaran dan mengikuti proses wawancara.  Di proses ini kami banyak didengarkan, saya dan komrad bicara banyak tentang bagaiamana Maha selama ini. “Saya ingin sekolah ini menjadi ruang aman dan menyenangkan untuk Maha belajar dan bertumbuh,” saya menulis dan mengungkapkan itu saat ditanya apa harapan saya menyekolahkan maha di sana. 

Setelah proses wawancara,di waktu waktu sendiri saya menangis. Membayangkan tidak akan melihat Maha selama 5 hari dalam seminggu yang mungkin akan berlansung selama 3 tahun, belum bisa saya terima dengan ikhlas. Dan saya menceritakan itu ke Maha. Dia selalu bilang “kan bisajaki telponan setiap malam,  trus adaja Jumat nanti”  begitu katanya pada saya dengan santai. Lalu saya kemudian belajar menerima, bahwa ini bukan tentang saya. Tapi ini tentang dia dan upayanya untuk menantang diri dan keluar dari zona nyaman. 

Dan hari hari mulai berjalan seperti biasa sembari mengurus barang barang yang ia perlukan.  Hingga hari itu tiba. Kami mengikuti penyambutan murid baru dengan gembira, menemani Maha mengatur barang di kamarnya, dan kemudian meninggalkannya. Maha walau sedih, menunjukkan ketegarannya. Tidak ada gelagat gelagat yang saya khawatirkan, dia berdiri tangguh melambaikan tangan.  “besarmi anakku kawe” kataku melihatnya dari kaca spion.

Lalu, tangis Rekah pecah dan begitupun saya. Rekah menangis tersedu sambal bilang dia tidak mau Maha menginap di sana.  Suar menyembunyikan kesedihannya dengan bertannya hal hal random. Perjalanan pulang, komrad mencoba menganggap ini biasa dengan bercerita dan saya hanya mendengar. Menimpali dengan singkat dan berupaya untuk kuat. Pikiran saya melayang entah kemana.

Sampai di rumah, menemani Rekah melanjutkan tidurnya karena tangis sedih, tangis saya pun pecah. Saya sibuk menyiapkan Maha untuk hari ini, tapi ternyata saya yang tidak siap. Hari itu terasa sangat berat karena saya seperti harus bergegas keluar dari kesedihan dan melanjutkan hidup karena ada kerjaan yang mengharuskan saya ke Bone. Padahal saya masih ingin bersedih, saya butuh bersedih.

Di keluarga ini, kehadiran secara fisik itu selalu kami utamakan. Membawa anak anak ke tempat saya beraktivitas sejak maha suar kecil sampai rekah lahir adalah hal yang kami biasakan. Jika ada celah bahkan di waktu kerja, kami  menyiasatinya menjadi hari “liburan”. Selalu ada agenda di akhir pekan, sesederhana apapun itu. 

Saya juga tipe ibu yang grasak grusuk jika setelah 30 menit maha dan Suar belum datang, padahal jamaah masjid yang lain sudah anteng di rumah. Mereka hanya boleh main malam di malam Minggu dan tidak lebih dari jam 10 malam. Saat kerja atau keluar kota, jika mereka sendiri di rumah, saya selalu marah besar jika ponsel lowbat atau tidak diangkat. 

Hal hal ini membuat perpisahan dengan Maha walaupun 5 hari dalam seminggu tetap berat bagi saya. Belum lagi hal hal domestik yang Maha kerjakan, yang selama ini meringankan kami berdua. Dan terbukti, perjalanan singkat saya ke Bone menyisakan tugas menyapu dan merapikan yang luput dikerjakan bapak. Belum lagi perihal menemani Rekah yang masih sulit dikerjakan Suar. Saya sadar betul, selama Maha belajar di rumah, kami sangat mengandalkannya.

Sampai tulisan ini dibuat, rumah masih terasa aneh. Kami masing masing beradaptasi pelan pelan. Maha juga menikmati aktivitas di sana, seperti ceritanya lewat telpon semalam. Seperti banyak keputusan yang kita ambil, siap atau tidak siap kita hrus belajar menerimanya. Selamat belajar di tempat baru kk Maha. Ibu bangga atas keputusan yang kamu ambil. Saya yakin, ini juga tidak mudah. Tapi, kamu berani. Kita akan melewatinya, pelan pelan,  satu per satu. Hari demi hari sampai Jum’at datang.

16 Juli 2024

Ibu Nhytha

Komentar

Postingan Populer