Piknik Komplit di Malino Land
Mendatangi pertunjukan musik –gigs
sederhana hingga konser dengan crowd
yang gila-gilaan– selalu punya sensasi dan pengalaman “spiritual”
sendiri-sendiri. Dan bagi saya, yang terpenting bahwa setiap event-event itu
selalu menyuguhkan ruang-ruang belajar yang terhampar sejauh pandangan mata.
Dan sensasi seperti ini tentu selalu mudah ditangkap dan dirasakan jika event
itu dikemas dengan cara-cara yang tak biasa serta berselera. Untuk urusan
kemasan ini memang tak ada yang baku dan diamini oleh semua orang karena setiap
kita tentu punya kategorisasi rasa sendiri-sendiri, dan itu hal yang sangat
wajar dan saya kira tak perlu diperdebatkan.
![]() |
sumber: lirshop.blogspot.com |
![]() |
sumber: lirshop.blogspot.com |
Dan selama pengalamanku –yang
tentu tak begitu banyak itu- menonton pertunjukan musik, salah satu yang sesuai
dengan kategoriku diatas adalah event In The
Woods. Event ini serupa private gigs
yang diadakan oleh Risky Summerbee and The Honeythief, sebuah band “cerdas”
yang berasal dari Jogjakarta. Sesuai namanya, event ini dihelat diantara rerimbunan
pohon pinus ditengah area wisata Kaliurang, Yogyakarta. Setauku gigs ini sudah dua kali diadakan dan
saya beserta beberapa teman datang di event yang kedua tahun lalu.
Anda yang sudah sering
mendengarkan lagu-lagu RSTH pasti bisa membayangkan bagaimana sensasi paket gigs akrab ini: mendengarkan langsung
lagu-lagu “cerdas” seperti The Place I
Wanna Go, Flight to Amsterdam, She Flies Tomorrow dimainkan dengan skill tinggi yang menyuguhkan raungan
gitar berdurasi lama khas Erwin Zubian plus “orasi-orasi politik” yang
dinyanyikan tegas olah Risky Summerbee sang vokalis. Belum lagi ditambah dengan
suasana ditengah pepohonan pinus yang selalu menyuguhkan daya magis Merapi dan
tentu keakraban yang sejati khas kelas menengah. Pokoknya gigs ini adalah paket komplit rekreasi. Rekreasi yang berhasil
menyambungkan –kembali-koneksi rasa, selera, dan kontemplasi yang sering
terputus karena ritual-ritual harian memburu kendali dunia yang seolah tak
pernah berhenti. Ya, gigs ini serupa
rekreasi spiritual. Dan saat itu, bersama teman kami bermimpi untuk membuat
piknik serupa jika balik ke Makassar, kota lumbung kapital di Indonesia Timur
itu.
Mimpi yang Terwujud, Malam dan Kebahagiaan Tanpa Ampun
Saat balik ke Makassar, ide
untuk membuat event serupa In The Woods
masih sering kubahas bersama teman-teman di Kedai Buku Jenny. Yang pertama
terpikir tentu venue nya. Mencari lokasi
yang serupa Kaliurang tentu agak sulit, kecuali memilih Malino tapi lokasi itu
agak jauh menurutku. Hingga akhirnya kumemilih Danau Unhas sebagai tempat yang
menarik untuk mewujudkan mimpi untuk berpiknik musik. Kalau pernah ke danau
Unhas pasti tau spot yang agak menjulur ke danau yang dihubungkan dengan
jembatan kayu. Menurutku spot itu sangat menarik untuk konsep piknik musik keluarga
sambil merayakan akhir pekan. Saya membayangkan anak-anak kecil berlarian, dan
para ibu sibuk mempersiapkan makanan kecil dan para penampil tetap memproduksi
not-not yang menjadi latar semua kesibukan-kesibukan itu. Membayangkannya saja
sudah indah!
Tapi ternyata saya tisak usah
menunggu lama. Bulan lalu, mimpi itu terwujud. Dan itu terjadi di Malino. Di
salah satu akhir minggu, kami sekeluarga kecil di Kedai Buku Jenny –termasuk
maha, si jagoan kecilku yang semakin “nakal”, serta si jabang bayi yang masih
nyaman di rahim ibunya- berpiknik bersama di Malino, salah satu lokasi wisata
puncak di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Meski tak terbiasa berpiknik, tapi
menurutku ini adalah piknik termenarik seumur hidupku. Menikmati dinginnya
Malino–sesuatu yang jarang didapati di Makassar akhir-akhir ini, kecuali yang fake dari kipas angin atau pendingin
ruangan- beserta rimbunnya hutan pinus sambil menikmati suguhan musik live dari sepuluh band dari bermacam
genre tentu bukan piknik biasa.
Agenda piknik kami ini
merupakan rangkaian event yang bernama Malino Land. Event yang bertajuk piknik
musik ini diadakan oleh Vonis Media –sebuah media independen yang mewarta serta
mendokumentasikan berbagai aktivitas skena musik di Makassar- dan kami -Kedai
Buku Jenny- menjadi salah satu komunitas yang diundang untuk berpartisipasi.
Kami membuat lapakan buku serta CD band-band indie dalam negeri serta
menyuguhkan beberapa buku serta majalah musik yang dapat dibaca gratis.
Menurutku –tanpa bermaksud untuk narsis- kehadiran lapakan buku dan mini library ini –meski kehadirannya
masih sangat ikonik- semakin menunjukkan kalau event piknik musik ini tidak
hanya berbeda namun lebih jauh ia punya pesan tersendiri, (sepertinya) agar
musik dan bermusik sebisa mungkin dapat (menjadi) lebih “cerdas.”
Kembali ke suguhan musik.
Sejak setelah magrib, semua peserta piknik musik ini disuguhi beragam warna
musik dari band-band lokal Makassar. Bayangkan, di satu panggung anda disuguhi
folk kental, post hardcore yang ribut, aksi gitar hero dan drum yang ditabuh
cepat khas aliran metal yang selalu cadas ditambah aksi piawai gitar
instrumental etnik dan tentu lirik-lirik manis dari band bergenre Britania,
tempat dilahirkannya band-band keren sepanjang masa sekaligus tempat
berkuasanya si tangan besi Thatcher yang dulu sangat percaya diri berkhotbah
tentang There Is No Alternatives. Keindahan
dan sekaligus “keanehan” not-not yang dihasilkan band-band malam itu dilengkapi
dengan suara khas desiran angin dari hutan yang masih perawan dan tentu dingin
yang terus menusuk kala malam semakin menua.
Hingga malam telah berganti
dengan hari baru, hingar bingar belum juga mau berhenti. Tapi kali ini berbeda.
Kami berdiskusi. Iya, serius kami berdiskusi. Saya dan beberapa teman dari KBJ
tentu merasa sangat senang berada begitu dekat dengan para pelaku skena musik
Makassar dari berbagai genre musik, dan apalagi kami bisa bertukar pikiran
tentang niatan untuk mendokumentasikan sejarah skena musik Makassar. Ide
dasarnya sebenarnya sederhana, bukankah semua sejarah perlu ditulis agar esok
ia bisa dibaca, termasuk tentang skena musik Makassar. Dan untuk memulai niatan
itu, maka yang perlu giat dilakukan adalah mengumpulkan semua artefak sejarah
yang berkaitan dengan skena musik Makassar. Dan diskusi malam itu, menurutku
merupakan rangkaian upaya untuk mengumpulkan artefak-artefak yang tersebar
dimana-mana itu, baik yang masih tersimpan rapi di ingatan namun perlahan-lahan
terus menjadi samar, yang masih tertulis tak jelas di tiket konser pertama yang
terbeli puluhan tahun lalu atau yang mungkin di zine yang tertumpuk rapi dengan
sedikit debu di rak kesayangan. Malam itu, banyak cerita, kisah masa lalu dan
saya asik mendengarkan dan sesekali menimpali sambil terus menekuk lutut
melawan dingin. Di akhir-akhir diskusi, saat subuh menyapa, saya tersenyum
sendiri seperti menyalami kebahagiaan-kebahagiaan indah yang terus datang
menyapa tanpa ampun.
Pagi dan Relaksasi Tingkat Tinggi
Serupa takdir indah yang
datang bertubi-tubi, event ini seolah tak ingin berhenti menghadirkan
sensasi-sensasi sederhana nan indah. Setelah semalam penuh berhasil membawa
gegap gempita dipanggung kecil namun akrab, Malino Land lalu menyulap pagiku
beserta –dan kuyakin- semua khalayak yang memilih untuk bangun dan menikmati
dingin pagi beserta bebunyian magis pagi itu. Saya memilih untuk memulai pagi
magis itu dengan melaksanakan shalat subuh, tepatnya pagi, sebagai ucapan
syukur atas nikmat-nikmat indah ini. Dan serius shalat subuh pagi itu adalah
salah satu pengalaman spiritual terindahku. Saya memilih shalat di alam terbuka
ditemani dingin yang menggigit, suara burung dan yang terpenting nada-nada yang
dihasilkan oleh Myxomata –musisi ambient pop instrumental makassar- seolah
menjadi lantunan zikir yang menghantarku begitu dekat dengan Sang Segala Maha.
Untuk mendapatkan sensasi spiritual seperti ini, saat sekolah di Jogja dulu,
sebelum beribadah saya sengaja memutar lagu-lagu L’alphalpha dengan suara
kecil. Benar-benar indah!
Pagi itu, saya benar-benar
seperti merasa sedang dimanjakan dengan tiga penampil pagi itu. Dan bagiku,
First Moon yang menyuguhkan cover Hilang milik band lawas Rumah Sakit dan There is a Light that Never Goes Out nya
The Smith yang sebelumnya didahului oleh Melismatis dengan nomor-nomor
relaktatif kelas wahid seperti menjadi husnul
khatimah Malino Land hari itu.
Malino Land dan Paket Piknik Komplit
Menikmati musik hanya beberapa
meter dari stage, menikmati alam yang
masih perawan sebelum akhirnya dirusak oleh mode akumulasi kapital paling
primitif –semoga tidak terjadi-, bertukar pikir tanpa hirau dengan segala
kategorisasi kasta semu –senior vs junior, tua vs muda, cerdas vs biasa-biasa
saja-, relaksasi spiritual berkadar tinggi, belajar apa saja dari semua yang
teradar oleh indera, dan yang terpenting ini semua dilakukan bersama keluarga
kecilku –keluarga Zulkhair Burhan dan Keluarga Kedai Buku Jenny. Yup, Malino
Land paket piknik komplit.
Oh iya, maha menjadi salah
satu crew yang paling bersemangat kecuali saat pergi dan pulang karena ia harus
muntah berkali-kali sebelum akhirnya terlelap. Diantara kami, maha lah yang
paling dekat dengan stage bahkan saat
yang diatas stage adalah band hardcore. Dan dia mbalelo tetap mau menikmati dingin dan nekat tak mau memakai
jaketnya hingga kami agak memaksanya. Ah, jagoan kecilku ini memang hebat. Hehehe.....
Akhirnya jadi juga!
KBJ, 16 April 2013
Komentar
Posting Komentar