Kim Ji Yeong adalah Kita

Rekah, 

Kamu sedang belajar membaca saat ibu menghabiskan buku ini. Perasaan ibu yg amburadul seperti diiringi soundtrack yang tidak pas “ah ha hi ih uh eh he ho oh” yang kamu lafalkan terbata bata. Sesekali dengan helaan nafas, sesekali dengan tawa menertawai kesulitan dan kesalahanmu sendiri.

Rekah,

Kamu bertanya, apa itu yang ibu baca? Lalu coba kamu eja sedikit demi sedikit. Tentu kamu tidak langsung benar. 

Kim Ji Yeong kata ibu. Siapa itu? Tanyamu lagi. Dia adalah kita. Kim Ji Yeong adalah kita. Kamu ketawa heran, bingung dan berlalu. 

Seperti banyak perempuan lainnya, di belahan dunia manapun. Kim Ji Yoeng adalah seorang perempuan yang melangkah dengan kerikil kerikil di dalam sepatunya. Dia lahir tahun 1982, dua tahun lebih dulu dibanding ibu. 

Masa masa itu, baik di Korea maupun di sini, emansipasi sedang gencar gencarnya diteriakkan. Kesempatan sekolah untuk anak perempuan dibuka lebar, pekerjaan pekerjaan yang dahulunya dikerjakan hanya oleh laki laki mulai dirambah perempuan. Sayangnya, emansipasi hanya kelihatan di angka angka laporan capaian pembangunan. Emansipasi bahkan tidak bisa menyentuh patriarki yang menubuh dalam keseharian kita.

Rekah,

Kim Ji Yoeng hidup dengan ribuan kejanggalan yang tidak bisa ia pertanyakan. Saat kecil, ia merasa aneh saat melihat ibunya bekerja dua bahkan tiga kali lipat dibanding ayahnya. Menjadi buruh cuci, bekerja di gudang atau pabrik demi mencukupi penghasilan ayahnya. Lalu ibu masih bertanggung jawab atas semua makanan di atas meja, menghidangkannya dengan layak, untuk ayah dan nenek yang tinggal bersamanya. 

Kim Ji Yeong merasa janggal, saat neneknya begitu mencintai adik laki lakinya, memberikan semua lauk penuh protein untuknya, dan tidak membiarkannya mengerjakan pekerjaan rumah. Adik laki lakinya adalah kebanggaan keluarga yang tidak bisa dipenuhi oleh Kim Ji Yong dan kakak perempuannya.

Kim Ji Yeong merasa risih saat sekolah mengharuskan mereka anak anak perempuan berpakaian berlapis lapis bahkan di musim panas, demi mengamankan tubuh mereka.

Kim Ji Yeong merasa aneh saat temannya dicap memalukan oleh guru guru karena menghadapi seorang cabul yang memperlihatkan penisnya di depan anak anak SMP setiap waktu.

Kim Ji Yeong merasa bingung saat ayahnya memarahinya ketika hampir dilecehkan seorang anak laki laki.  Ayahnya menyalahkannya atas hal hal yang tidak ia lakukan.

Kim Ji Yeong merasa aneh saat diterima kerja dan bulan bulan pertama ia merasa perlu menyediakan kopi, mencatat makan siang dan menyediakannya dan itu seolah berlaku untuk semua pekerja perempuan yang baru masuk, tidak bagi pekerja laki laki. 

Kim Ji Yeong merasa aneh karena perusahaannya memilih pekerja laki laki dibanding perempuan karena pertimbangan produktivitas. Dan alasan itu membuatnya mempertimbangkan untuk hamil dan berkeluarga. 

Kim Ji Yoeng walau mencintai suaminya, merasa aneh saat suaminya menjanjikan bantuan dalam mengurusi anak dan mengurusi rumah. “Bukankah anak dan rumah adalah milik bersama, kenapa satu harus menjadi tokoh utama dan yang lain harus membantu.”

Rekah, 

Semua kejanggalan, kebingungan, keanehan, kekesalan yang dirasakan Kim Ji Yeong sebagai perempuan mirisnya masih kita rasakan sampai hari ini. Kim Ji Yeong seperti banyak perempuan tidak punya kuasa dan kesempatan untuk mengungkapkan semua itu. Kita menelannya, membiarkannya membusuk bukan hanya dalam diri kita, tapi di masyarakat tempat kita tumbuh. Kim Ji Yeong pada akhirnya menderita penyakit mental yang parah. 

Rekah, 

Buku ini harus kamu baca. Filmnya juga bagus, walau tentu bukunya jauh lebih membuat hatimu tercabik cabik kenyataan. Dibanding novel, ini serupa hasil penelitian etnografi yang disajikan dengan sastrawi. 

Kim Ji Yeong beruntung, ada suaminya yang menunjukkan itikad untuk belajar dan berubah yang mencintainya dan menerima ini tanpa judge. Dan itu membuat Kim Ji Yeong bertahan. 

Cerita Kim Ji Yeong dan cerita bagaimana rentannya kelompok perempuan adalah ketidakberhasilan sistem menyediakan pemenuhan akan ruang aman tersebut.  Banyak yang telah mengupayakannya dan tentu tidak menyerah akan itu. Namun langkah real yg bisa kamu ambil adalah ADA untuk perempuan lainnya.  Tidak menambah beban mereka dengan menghakimi apalagi sinis dengan pilihan yang mereka ambil.

Rekah,

Kelak kejanggalan-kejanggalan itu akan kamu rasakan juga. Ceritakan, teriakkan dengan lantang. Kamu mungkin akan menemui jalan sunyi. Namun tidak akan lama, suaramu akan menggema dan menemukan frekuensi yang sama. Kalian akan teriak bersama, dan menemukan kekuatan.

Ibu Nytha

Moncongloe, 5 November 2025

Komentar

Postingan Populer