Jadi Apa Sebenarnya Mau Saya Teliti?

Jujur saat ini saya masih terombang ambing. Dalam beberapa bulan terakhir sejak memulai studi saya sudah mengganti fokus rencana penelitian mungkin sampai lima kali. Kayanya situasi serupa saya rasakan juga waktu S2 deh. Saat itu, sejak proposal pertama ditolak Pak Mochtar, saya berkali-kali ganti fokus bahkan topik penelitian. Tapi akhirnya di akhir rada kembali ke topik yang pertama walaupun tidak sama persis. Nah, kali ini saya rasa bakal begitu juga sih. Dan berkali-kali terjadi dalam kurun waktu hampir tiga bulan ini. Jadi di awal studi, ketika mata kuliah substansi yang dimentori Mas Gaffar dan Mbak Rani, saya sempat mengajukan rencana penelitian yang akan bahas tentang kontestasi creative hub terhadap rezim ekonomi kreatif. saat nemu ide itu kaya meyakinkan sekali. bahkan sempat mi se declare ke beberapa orang kalo ini mi rencana penelitianku. Pendekatannya mau pake post strukturalis nya Foucault. Ide creative hub nya mah oke, tapi rencana teorinya itu yang sempat bikin ka bertanya sendiri, yakin ko ini? Secara saya nda menguasai. Tapi yang jelas nemu mi fokusnya, soal teori bisa ji dipelajari, begitu pikirku saat itu. akhirnya mulaima kumpulkan bacaan tentang pemikirannya Foucault dan mulai membaca, berusaha memahami, meskipun saya feeling mi kalau nda begini ja kayanya deh. Tapi tetap ja masih percaya diri. Bahkan ide itu yang kemudian se jadikan pertimbangan untuk mengajukan calon promotor dan ko promotor di akhir sesi mata kuliah substansi. Saya mengajukan nama Mbak Linda sama Mas AIm. Saya memilih mbak Linda karena beberapa penelitian dan tulisannya bahas gerakan anak muda. Mas aim karena doi ngajar gerakan sosial di S1 terus menurut banyak orang kecenderungan pendekatan yang dia gunakan itu post strukturalis. 
Nah, awal keraguan akan rencana penelitian yang saya yakini di awal mulai perlahan-lahan berubah saat masuk mata kuliah Teori Politik yang diampu mbak Linda sama Mas Aim. Pas sesi mbak Linda dan kami semua diminta presentasi rencana penelitian, saya lalu menyampaikan soal rencana meneliti creative hub pake post strukturalis, se nda sangka respon mbak linda langsung kaya reaksioner. Intinya dia nda sepakat bahas gerakan anak muda pake post strukturalis. Katanya, pake yang materil saja. DIa lalu merekomendasikan artikel jurnal yang ditulis temannya yang jadi dosen di Belanda. Tulisan itu bahas tentang gerakan anak muda di Indonesia dan rhizomatic politics. Jadi artikel itu membahas tentang bagaimana pola gerakan anak muda di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir yang tidak lagi mengadopsi model lama yang cenderung mengakar. Biasanya berbasis organisasi tertentu yang punya hirarki tapi dengan model rhizomatic dia kaya merambat seperti judul album terakhirnya ERK, Rimpang. Jadi tidak ada hirarki dan lebih cair. Nah mbak Linda suruh baca itu. Saat dianjurkan untuk mengarahkannya ke hal-hal yang lebih nyata, bukan ideasional, saya langsung kaya yakin. Ini mi kayaknya deh. Begitu juga se rasa waktu presentasi ide pertama di sesi nya Mbak Rani. Kayak meyakinkan sekali mi apalagi responnya Mbak Rani saat itu juga di luar ekspektasi. Dia bahkan sampai datangi ka dan antusias sama rencana itu. Jadi se ubah arah rencana penelitian setelah dapat pertimbangan Mbak Linda. Arahnya jadi lebih ke gerakan anak muda. Berdasar pada bacaan yang direkomendasikan Mbak Linda, saya nemu dua konsep, rhizomatic politics sama viability. Konsep yang pertama lebih bahas tentang bagaimana gerakan anak muda muncul dan bagaimana gerakan-gerakan tersebut terkoneksi dan yang kedua bahas tentang apa yang jadi tujuannya gerakan anak muda sekarang. Setelah membaca kedua konsep tersebut agak lebih dalam, saya lalu berpikir kayaknya yang mau saya tau itu bukan apa yang mendasari tumbuhnya creative hub deh. Tapi apa yang dibayangkan oleh creative hub. Btw saat menyebut terminologi creative hub, Mbak Linda nda setuju karena asosiasinya terlalu kapitalis bede dan dia nda setuju juga pakai terminologi budaya populer yang memang ada di judul yang saya ajukan pertama. Menurutnya istilah itu asosiasianya kayak hedon begitu. Nah, kembali ke sesi presentasi sama Mbak Linda, saya lalu mengajukan rencana penelitian yang fokusnya lebih mendudukkan art collective sebagai instrumen gerakan sosial. Jadi saya ganti terminologi creative hub yang ditolak Mbak Linda dengan menggunakan istilah Kolektif Seni. Jadi intinya saya mau meneliti bagaimana art collective di Indonesia Timur menginisiasi gerakan anak muda dengan menggunakan instrumen seni. Awalnya saya masih pake terminologi budaya populer supaya tetap terkait dengan stud popular culture and world politics, tapi kemudian Mbak Linda suruh fokus saja langsung ke seni. Besoknya, kepikiran ka untuk pakai konsep Viability saja karena kayak make sense sekali dan menurutku saat itu lebih relevan dipake daripada pake rhizomatic. Konsep viability itu memberikan cara kerja bagaimana gerakan terkoneksi dengan banyak isu di satu waktu sekaligus mengkritik gagasan tertentu dan kemudian menghasilkan gagasan baru. Akhirnya di sesi akhir bersama Mbak Linda, itu yang saya presentasikan. Tapi kemudian mbak Linda agak kurang sepakat. Dia minta saya memetakan pintu masuknya mau dari mana supaya rencana penelitianku jelas bakal masuk dalam perdebatan topik atau tema yang mana. Apakah misalnya masuk di studi tentang gerakan sosial baru atau yang mana. DI sesi mas Aim, opsi baru muncul. Karena ontologiku masih belum jelas, setelah mendengar sedikit penjelasanku, dia menyarankan saya ke topik seni dan politik dan segera menentukan mau masuk di perdebatan yang mana tentang isu itu. 
Setelah kelas Mas Aim itu, saya sekali lagi kayak yakin kalau ontologi ku ini soal art and power. Tapi tiba-tiba keinginan untuk kembali ke HI saja setelah sempat mi legawa biar mi lebih ke politik saja, akhirnya berencana kembali ke mode awal mau bawa kajiannya ke popular culture and world politics. Bahkan saya sudah tanya Mas Aim kira-kira siapa dosen HI yang concern di isu ini. Beliau menyebut beberapa nama, termasuk dirinya tentunya. Mulai lah saya kembali baca literatur PCWP dibantu beberapa platform AI tentunya. Saya agak terdesak untuk segera menemukan rumah teoretik saat itu karena saya harus segera menuliskannya untuk tugas akhir mata kuliah teori politik. 
Saya lupa bagaimana jalan ceritanya, pas mulai masuk kuliah Metodologi, saya berpikir pragmatis saja mau bawa isunya ke lokalisasi norma seperti yang beberapa tahun ini sering saya bahas di Unibos. Bahkan saat hari pertama saya mengikuti kelas yang saat itu diisi Mas Joash, saya memaparkan ke beliau kalau politik art collective itu akan saya liat dalam kerangka promosi norma internasional dalam hal ini terkait cultural right melalui proses lokalisasi. Sungguh manuver yang tak terduga. hahaha. Sebenarnya gagasan ini sempat juga muncul di awal-awal bahkan folder literatur yg saya kumpulkan untuk tema ini masih ada. hehehe. Tapi…keesokan harinya, di kelas yang diisi Pak Pur dan juga dihadiri Mas Joash semuanya berubah lagi. Saya kembali ke ide seni dan politik. Sebabnya, karena sesaat setelah presentasi ke Mas Joash kemarinnya, saya iseng bertanya ke Gemini dan memaparkan fenomena art collective di Indonesia Timur dan beberapa informasi lainnya, terus dia kasilah beberapa teori yang bisa digunakan dalam konteks seni dan politik. Salah satunya teorinya Ranciere yang dijelaskan melalui dua konsep utama. The distribution of the sensible sama Dissensus. Setelah baca sedikit dari beberapa literatur yang saya kumpulkan serta dibantu Gemini. Saya merasa teorinya Ranciere ini oke deh. AKhirnya itu yang saya sampaikan di sesinya Pak Pur. Dan juga jadi tugas untuk Teori Politik. Seperti sebelumnya, saya tersenyum lega. Merasa ini mi akhir dari pencarian. Tapi hati kecil itu benar tak bisa berbohong. Selama belum ada kayak klik begitu, aih potensi berubah pasti selalu ada. Dan betul saja. Kemarin, masih di sesi Pak Pur, beliau mengomentari tugas teori politik yang saya kumpulkan dan menyarankan untuk membahas soal produksi ruang. Dalam sesaat semuanya langsung kayak kembali jadi nda pasti. Saya kembali refleksi, betul juga sih. Kan art collective yang pertama dilakukan pasti produksi ruang dulu. Semakin ditegaskan sama Mas Willy. Dia alumni yang diajak sama Pak Pur untuk berbagai pengalaman mengerjakan disertasi. Beliau cerita bagaimana penelitiannya dimulai dengan refleksi perjalanan aktivitasnya sebagai aktivis prodemokrasi di sebuah NGO sejak era Orde Baru. Ia kemudian sampai pada pertanyaan kemana teman-teman aktivis pro demokrasi setelah reformasi. Ini kaitannya sama kondisi demokrasi yang jauh dari harapan. Mendengar ceritanya yang sederhana tapi insightful, saya lalu kepikiran kenapa saya menegasikan pengalaman sendiri yang cukup lama mengelola atau paling tidak berada di lingkaran kolektif seni khususnya di Makassar. Kenapa bukan pengalaman itu yang saya coba refleksikan. Siapatau nemu celah pertanyaan. Deh semalaman sampai pagi ini, itu terus lagi kupikir. Jadi apa sebenarnya mau kuteliti ini?
Bapak Bobhy
Klidon, 6 November 2025
(Foto: Sesi bersama Pak Pur dan Mas WIlly di kelas Metodologi, 5 November 2025)

Komentar

Postingan Populer