Berkunjung ke Toko Buku Akik dan Kopi Klotok

Karena gonjang ganjing di republik sejak akhir Agustus, akhirnya UGM juga mengumumkan bahwa semua perkuliahan dilaksanakan secara daring. Jadinya Senin dan Selasa (1-2 September), kami kuliah online. Di sisa hari menuju weekend yang cukup panjang karena Jumat kemarin tanggal merah Maulid Nabi Muhammad SAW, kami diminta untuk belajar mandiri mempersiapkan presentasi Senin lusa. Saya tidak akan membahas persiapan saya untuk sesi presentasi Senin nanti tentunya. Nantilah di lain waktu. Atau setelah presentasi senin nanti saya akan menuliskannya. Itu pun kalua moodnya lagi oke. Maklum sejak mulai kuliah ini, mood selalu naik turun. Saya mau cerita salah satu aktivitas yang akhirnya buat saya keluar rumah dan menjauh dari Klidon tempat saya tinggal.

Jadi Rabu (3 Sepetember) kemarin, Asri ngontak saya via WA. Dia ngajak ngopi. Btw ajakan ngopi ini sepertinya universal mi dipake untuk ngajak nongkrong deh meski yang diajak nongkrong belum tentu ngopi. Tapi kenapa nda pake terminology yang lebih umum seperti ayo minum deh. Tapi bahaya sih kalo pake terminology itu, maksudnya bisa kemana-mana hehe. Anyway, saya tentu menyambut ajakan Asri apalagi beberapa hari di depan laptop terus. Keluarnya paling jauh ke Lapangan Klidon. Asri mengusulkan untuk nongkrong di Toko Buku Akik. Katanya karena cukup dekat dengan tempat saya. Asri lalu menawarkan diri untuk menjemput saya dengan motornya. Setelah ngecek di aplikasi Gojek kalau ongkos ke Toko Buku Akik hanya delapan ribu rupiah, saya memutuskan untuk naik gojek saja dan meminta Asri untuk langsung kesana saja menunggu saya. Beberapa saat kemudian, Asri memberi kabar kalau saya akan dijemput. Ia akan bersama Sakti, mahasiswa Sospol Unhas 2005. Ia sedang menemani istrinya yang sedang mengikuti sebuah symposium di Jogja hingga Jumat kemarin. Dan selama kegiatan, istrinya diberi fasilitas rental mobil plus sopirnya. Nah, Asri dan Sakti akan menjemput saya menggunakan mobil tersebut.

Keesokan harinya, setelah zuhur, mereka tiba depan rumah bersama mobil putih tiga kelas untuk menjemput saya. Dengan bermodal petunjuk dari google map, kami menuju Toko Buku Akik. Dalam beberapa saat, meski sempat mutar sedikit, akhirnya kami tiba di Toko Buku Akik. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya kesini. Suatu waktu entah di tahun berapa, pokoknya saat itu Buku Akik baru saja menempati bangunan dua lantai yang jadi toko buku sekaligus jadi tempat tinggal Tomi Wibisono, pendiri toko buku ini. Soal ini, saya tau karena Tomi menceritakannya ke saya saat kami berjumpa beberapa buan lalu di MIWF. Saat itu, didepan toko buku belum ada bangunan yang sepertinya adalah kantor atau apa gitu. Dan juga coffee shop sederhana namun fancy seperti sekarang. Masih luang. Niat kami sebenarnya mau nongkrong di coffee shop, tapi godaan masuk ke toko buku tak bisa dibendung. Kami memutuskan untuk melihat-lihat dulu sebentar ke perpustakaan dan toko buku didalam. Di depan pintu, banyak sepatu dan sendal. Artinya didalam cukup banyak pengunjung. Tapi memang di tempat parkir ada beberapa mobil termasuk atu mobil HiAce yang sepertinya adalah mobil travel wisata. Toko buku ini memang jadi salah satu tujuan wisata literasi di Jogja, selain karena koleksi buku perpusnya cukup banyak dan juga bisa beli buku dan merchandise, seluruh pojok di toko buku ini dari luar apalagi didalam memang sangat instagramable.

Dan betul saja, saat kami masuk, pengunjung cukup padat. Mereka mengisi semua area mulai dari perpustakaan, meja tempat baca yang disediakan di area tengah, bookshop di kanan dan bagian belakang. Meski ini kali kedua saya kesini, saya tetap terperangah. Dalam sekejap langsung membayangkan KBJ bisa menyeriusi lagi toko bukunya. Kami lalu menyisir buku-buku jualan. Sakti sibuk foto-foto, saya dan Asri sambal liat-liat buku lalu terlibat dalam percakapan soal tema riset saya. Saya memang merencanakan untuk bertemu Asri dan membahas itu meski sepertinya bukan di perjumpaan ini. Saya lalu menjelaskan kerumitan-kerumitan yang saya temui di proses awal menentukan masalah penelitian, menentukan payung tema dan seterusnya. Asri yang saat ini menjadi dosen S3 di Program Studi Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM tentu jadi teman tepat untuk berdiskusi soal ini. Bebrapa hal yang ia sampaikan cukup memvalidasi bahwa pilihan topik saya sudah tepat. Ia juga memberi insight soal kelaziman menggunakan pendektan lintas studi. Pokoknya apa yang ia sampaikan sangat memberi angin segar. Di situasi saat belum bertemu promotor seperti sekarang, banyak keraguan yang membutuhkan validasi agar bisa tenang secara psikologis. Dan Asri did it well hari itu. Btw percakapan siang itu sinematik sekali sih menurutku. Diantara rak buku, terus bahas disertasi. Hahaha.

Tak lama kami kembali eksplor ruangan yang tak henti membuat saya kagum. Berikutnya area perpustakaan. Saya langsung focus ke koleksi buku tentang musik. Dan mata saya tertuju ke judul buku yang sama dengan si bungsu yang sangat saya rindukan. Rekah. Buku ini soal jejak subkultur indie di Indonesia sejak 1994 hingga 2003. Setelah baca-baca sedikit, saya dan Asri memutuskan untuk keluar. Kami memutuskan untuk cari tempat makan siang dan nongkrong lanin karena nampaknya di coffee shop Buku Akik tidak tersedia makanan berat.

Atas usul Asri, kami menuju kopi klotok yang terletak di Kaliurang 16. Saat tiba, parkiran mobil sudah cukup penuh. Tapi kata bapak sopir, ini belum seberapa jika disbanding saat weekend atau masa liburan. Setelah turun dari mobil, kami langsung menuju tempat prasmanan yang terletak di kiri jalan menuju tempat parkiran utama. Kami memasuki bagunan rumah yang terasa sekali nuansa jawanya. Meja-meja yang tersedia sudah dipuhi pengunjung, kami bertiga lalu ikut antri untuk mengambil makan siang. Kata Asri, memang seperti itu disini. Sambil antri saya membaca banyak ucapan dari para pesohor yang tertempel di tembok. Mulai dari mantan dan yang masih menjabat sebagai menteri hingga Bung Fiersa. Semuanya memberi pujian akan makanan di tempat ini. Saat mendekati tempat mengambil makanan, pandangan saya tertuju ke tempe goreng besar yang bertumpuk tak rapi. Saya tak sabar ingin segera menyantapnya dan menyampikannya ke Asri yang antri didepan saya. Tapi ia bilang telur gorengnya lebih mantap. Dan benar saja, saat melihatnya langsung saya lalu terperangah. Besar dan tebal. Setelah beres ambil makanan, kami lalu mencari temapt di area outdoor. Kami memilih tempat dibawah pohon kelapa dan disamping kami persis ada sungai kecil.

Setelah makan, Asri memesan pisang goreng dan kopi untuk Sakti dan bapak sopir. Saya minta dipesankan es teh manis dengan gula sedikit saja tentunya. Setelah cukup lama, baru ini minum es teh lagi. Hingga menjelang asar kami duduk dan bercerita banyak hal. Temanya tentu seputar masa lalu di Fisip Unhas. Ada beberapa yang saya nyambung, beberapa juga tidak. Setelah asar, kami pindah ke area bangunan utama kopi klotok. Jadi di seberang tempat ambil makanan tadi, ada bangunan rumah cukup mewah yang area luarnya juga bisa jadi tempat nongkrong menikmati sajian yang bisa diambil sendiri atau minta diantarkan. Kami lanjut cerita banyak hal. Tapi yang paling membuat saya dan Asri terperangah saat Sakti cerita tentang perjuangannya mendapatkan istrinya. Tapi di lain waktu lah diceritakan. Hehe. Menjelang magrib, kami memutuskan untuk balik. Saya lalu diantar ke rumah melalui jalur depan gang menuju Toko Buku Akik tadi. Wah memang dekat ternyata. Saat tiba depan pagar rumah dan dan berterima kasih ke mereka karena sudah diajak melupakan sejenak urusan problematisasi riset, bayangan saya lalu kembali ke tumpukan bacaan yang membuat saya menghela nafas panjang. Semangat, Bob!

Komentar

Postingan Populer