Menerawang Masa Depan Kesetaraan Melalui Cerita Guru Makassar

Nak Rekah, kamu sedang menyusu saat ibu menulis ini. Jika sedang dalam mood yang bagus, ibu biasanya menunggui Rekah kenyang sambil mencatat hal yang tiba-tiba ibu ingat. Kalau lagi lelah, biasanya ibu menonton, berselancar di media sosial, menambah belanjaan di keranjang market place, apapun yang membuat ibu lebih senang. 

Nak Rekah, bulan-bulan kemarin adalah bulan yang cukup sibuk. Ibu berpindah dari satu pertemuan menuju pertemuan berikutnya. Di depan layar laptop. Tapi, diantara banyak pertemuan itu, ada satu pertemuan penting yang mesti ibu ceritakan. Agar kelak kamu dan teman-temanmu di masa depan tidak akan menyalahkan diri sendiri atas ruang aman yang tidak bisa kalian dapatkan hanya karena kalian perempuan. Cerita ini ingin memastikan, bahwa semua ruang tidak nyaman itu sungguh telah menancapkan akarnya jauh sebelum kalian lahir. 

Nah, ibu lewat sebuah program bernama CREATE menjadi fasilitator beberapa guru terpilih untuk belajar bersama perkara toleransi. Sebuah upaya yang dikerjakan agar narasi tentang keberagaman bisa disisipkan dalam proses pendidikan kita, dan dikenali sedini mungkin oleh anak-anak muda melalui guru-guru mereka. 

Walau tujuannya mulia dan ibu percayai sebagai nilai yang ibu pegang dalam hidup, namun ibu tidak ingin menjadikannya beban, apalagi memaksakan. Ibu tahu betul, guru guru dalam sistem pendidikan kita telah menanggung beban tugas dan tanggung jawab yang begitu berat.  Karenanya bersama tim kerja, kami bersepakat bahwa metode mengeksplorasi pengalaman mereka dan mendengar cerita mereka adalah salah satu cara yang tepat untuk menemukan pintu masuk membawa nilai-nilai toleransi dan bina damai di sekolah. 

Cerita-cerita yang ibu dengar adalah cerita dari berbagai perspektif yang banyak mengabarkan bahwa pada dasarnya praktik toleransi telah tumbuh di lingkungan sekolah, khususnya toleransi beragama. Menurut bapak ibu guru, mereka menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak menghidupkan ruang penghargaan atas perbedaan agama dan ras. 

Kabar itu menjadi picu semangat ibu, namun saat topik belajar mulai menyentuh pembicaraan identitas dan gender, banyak persepsi guru-guru yang lumayan membuat ibu dan fasilitator lainnya harus menarik nafas dalam-dalam. 

Ada cerita bagaimana anak laki-laki yang berperilaku feminin menjadi korban perundungan dan diselesaikan dengan mengubah identitas dan kecenderungan anak laki-laki tersebut. Alih-alih melindungi korban, sekolah justru melanggengkan kekerasan karena perspektifnya sejak awal sudah salah. Laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin.  

Ada cerita bagaimana sekolah memaksakan pakaian yang menurut kesepakatan masyarakat adalah pakaian yang sopan untuk anak-anak perempuan. Bahkan beberapa sekolah juga memaksakan hal tersebut pada guru.  Ada pendapat yang secara keras menentang identitas yang beragam khusunya tentang identitas seksual. "Gender hanya dua Bu, Laki-laki dan perempuan" Begitu beberapa kali suara celetukan terdengar. 

Dan  yang paling membuat ibu resah ketika bicara tentang kesempatan untuk menjadi pemimpin bagi perempuan. Perihal ajaran agama, adalah pendapat klasik yang sudah terprediksi akan jadi landasan utama perdebatan terkait masalah kepemimpinan ini. Namun, yang lebih miris adalah kenyataan  bahwa hampir semua bapak ibu guru menormalisasi domestifikasi perempuan. 

Mereka sadar bahwa perempuan mesti maju, pintar dan berpendidikan tapi harus dibarengi keberhasilannya sebagai ibu atau istri dalam keluarga. Jika tanpa memenuhi syarat tersebut, perempuan dengan karirnya cukuplah seperti itu. Tanggung jawab pada rumah dan pendidikan anak tetaplah menjadi tanggung jawab perempuan. Begitu kasarnya. Dan kenyataan ini sungguh memilukan. 

Mungkin kelak, Rekah akan bertanya apakah laki-laki juga dibarengi syarat serupa itu? Tentu tidak nak. Masyarakat kita menempatkan mereka sebagai kelas yang istimewa. Kelas tanpa tapi. 

Si Melia itu cerdas tapi perempuan terlalu pintar bahaya. Si Ani itu bisa memimpin timnya dengan baik tapi nda punya suami. Si Rina itu jago cari uang tapi nda bisa punya anak. Si Siti itu guru yang berprestasi tapi nda pintar masak. Si Anya itu model internasional tapi pakaiannya terlalu terbuka. Dan banyak tapi lainnya yang mengikuti keberhasilan perempuan. 

Masa depan kesetaraan dari sini terlihat masih begitu buram. Tapi percayalah, selalu ada cahaya cahaya kecil yang berpijar menunjuk ke arah benderangnya harapan. Ibu dan teman-teman fasilitator lainnya mungkin  tidak bisa mengubah perspektif itu secara langsung, namun setidaknya kami mengangkat narasi berbeda dari narasi dominan yang selama ini mereka amini dan percayai. Semoga akan mereka ingat dan pada satu titik akan mereka pikirkan ulang. 

Yah, masa depan toleransi, kesetaraan toh tidak mungkin kita bebankan hanya pada segelintir guru-guru ini. 

Karenanya Nak Rekah,  ibu sadar betul bahwa belasan tahun ke depan kamu masih akan menjumpai masalah yang serupa. Jangan nak, jangan menyalahkan dirimu atas setiap pilihan yang kamu ambil. Berjalanlah dengan berani tanpa tapi.

Ibu Nhytha

Watampone, 1 September 2021

Komentar

Postingan Populer