Cerita Perempuan Kodingareng


Hai Rekah...

Kamu sedang menyusu dan ibu seperti biasa, mencuri waktu melakukan yang ibu sukai. Agak sedikit kewalahan, namun ibu mulai terbiasa menulis di ponsel. 

Hari masih pagi, tapi kakak Mahasuar sudah pamit main. Kita masih menikmati sisa-sisa kelahan karena aktivitas  di luar rumah kemarin.

Dan ini yang ingin ibu ceritakan kembali. Kemarin, kita bersama bapak tentunya, menuju sebuah hotel di kawasan Latimojong. Ibu diminta teman-teman Walhi berbagi pada perempuan-perempuan dari Pulau Kodingareng. Perkara penting, "kenapa perempuan butuh berkumpul dan berorganisasi".

Ini kali kedua, di masa pandemi ibu berbicara di depan orang-orang secara langsung. Kita cukup berhati-hati apalagi kamu belum genap 2 tahun dan belum bisa ditinggal. Ibu hanya mengiyakan ajakan yang kami yakini cukup aman dan nyaman untuk kamu. Karena kk Mahasuar seperti biasa akan memilih di rumah saja. 

Nah, setelah pukul 14.00 lewat sedikit, ibu masuk ruangan. Ada 12 perempuan, hampir seluruhnya adalah ibu rumah tangga seperti ibu, hmm satu orang masih lajang dan satu lainnya berstatus single parent.

Pembicaraan bersama mereka ibu buka dengan pertanyaan "masalah apa yang paling dekat dengan mereka?" Ibu meminta mereka menuliskannya. Mereka menulis sedikit, tapi saat saya minta bercerita mereka mengungkapkan banyak.

Masalah pekerjaan rumah tangga yang tidak habis, anak yang nakal dan tidak mengerti kalau ibunya capek, anak yang sekolah online dan tidak punya paket data, suami yang sakit, suami yang tidak bisa berhenti merokok, sendiri membesarkan anak, utang yang tidak bisa terbayar, pembeli ikan yang berkurang, hasil tangkapan suami mereka yang semakin sedikit, kebutuhan yang tidak bisa tercukupi, makanan yang tidak tersedia, suami yang selingkuh, sampah yang semakin banyak, air laut yang keruh, kebutuhan biologis yang tidak terpenuhi, dan beberapa lainnya yang mereka sebut begitu saja. 

Mereka menceritakannya sambil tertawa, sayangnya tawa mereka tidak bisa ibu sambut dengan tawa pula. Karena ibu tahu, mereka sedang menggali kekuatan dibalik tawa yang mereka perlihatkan. 

Rekah, sebagai manusia, masalah adalah nama tengah keseharian kita. Namun, bagi perempuan masalah yang tumbuh seringkali berlipat lipat, berganda, tidak pernah mati. Dan mengetahui bahwa perempuan lain punya masalah yang lebih pelik, membuat ibu bersyukur diberi banyak keistimewaan. Keistimewaan untuk memilih menjadi seperti hari ini.

Dan perempuan-perempuan yang ibu temui kemarin, sayangnya tidak punya keistimewaan itu. Namun, yang ibu kagumi, saat ibu bertanya " kira-kira masalah yang ibu-ibu hadapi, karena apa?" Walau beberapa menjawab itu takdir namun sebagian besar dari mereka menjawab "Karena kami tidak diperhatikan pemerintah" 

Ya, mereka sadar secara kritis. Mereka terpinggirkan dan miskin, bukan karena kesalahan mereka. Namun, negara meninggalkan mereka. Cerita lama. Dan semakin mereka yakini saat PT Boskalis melakukan penambangan pasir di sekitar pulau yang berdampak terhadap hasil tangkapan nelayan yang menjadi sumber utama perekonomian di pulau tempat mereka hidup. Dan kamu tahu make, masalah perut adalah masalah krusial, ketika ia terganggu, masalah lain dengan mudahnya akan datang tanpa permisi.

Rekah, perempuan-perempuan ini, yang mengaku sering menangisi nasib dalam sepi adalah perempuan yang sama yang turun ke jalan, mereka dengan garang menuntut Gubernur Sulawesi Selatan bertanggung jawab atas ijin aktivitas tambang, menuntut pemerintah menghentikan segala aktivitas tambang yang mengganggu ekosistem laut di pulau mereka. Saat hamil, saat menyusui, sambil menenteng balita.

Bayangkan, mereka memikul beban berat sebagai perempuan ibu rumah tangga, namun tetap menguatkan tekad untuk tidak menyerah atas nasib. Mereka  meminta ruang belajar, mereka minta diajari mengutarakan pendapat, mereka ingin bertumbuh dan mengambil bagian dalam penanganan masalah. 

Rekah, sebenarnya ibu cukup rendah diri berdiri di depan mereka dengan predikat fasilitator. Karena sesungguhnya saat mendengar mereka menceritakan pengalaman mereka, ibu lah yang belajar banyak. Yang ibu lakukan bukanlah apa-apa dibanding kerja-kerja mereka. Ibu menunduk menaruh hormat pada mereka.

Kelak dan pasti tidak akan kamu ingat. Ibu menggendongmu erat, saat satu persatu mereka mengutarakan hal yang mereka ingin upayakan untuk diri mereka sendiri. Ibu menggendongmu erat, berharap kekuatan-kekuatan mereka bisa ditularkan secara magis padamu. Kelak, kamu akan membutuhkannya. 

Rekah, sekali lagi. Menjadi perempuan itu tidak mudah. Karenanya, kita perlu berdiri berdampingan dan menularkan kekuatan satu sama lain. 

Kelak, berkumpullah lalu saling mendengarkan. Seperti yang kita lakukan kemarin. Kadang dengan hanya mendengarkan, kita telah membantu seseorang. Mendengarkan akan membantu mereka merasa bahwa mereka layak didengar saat banyak orang memilih menutup telinga. 

Ibu Nhytha, 20 Juni 2021

Komentar

Postingan Populer