Yes, I Do


"If they say who cares if one more light goes out
In the sky of a million star? It's flicker..flicker..
Who cares when someone's time runs out?
If a moment is all we are. We're quicker, quicker
Who cares if one more light goes out?
Well I do. Yes, I do.

Lagu ini beberapa pagi sering kami putar di ruang keluarga. One More Light nya Linkin Park. Saya cerita ke Maha Suar tentang betapa menyedihkannya lagu ini. Tentang Chester Bennington yang sangat bersedih karena temannya yang bunuh diri beberapa bulan sebelum dia juga memutuskan hal yang sama. Suar bertanya "kenapa mereka mau mati" saya bilang " mungkin karena mereka merasa hidup tidak berguna lagi".

Dan pagi tadi, saat menemani Rekah sarapan, Suar tiba-tiba bertanya "ibu, pernah ibu merasa hidupnya tidak berguna?" Saya tertawa takjub sambil menjawab kencang "Hey..ibu selalu merasa berguna, Suar" sambil terus tertawa. 

Tawa saya diujungi terawang pikiran yang cukup panjang. Saya tetiba berpikir, jika kau merasa tidak berguna atau seseorang menganggapmu tidak berguna, bukan berarti kau tidak ada. Kau ada, dan itu cukup. 

Kematian bagi setiap yang hidup adalah misteri. Bagaimana ia mencapaimu dan bagaimana setelah kau mencapainya. Karenanya, bagi saya, kematian walau beberapa terdengar indah, dia lebih selalu terbayang menakutkan dan mungkin menyakitkan.

Kematian sering kita anggap sebagai akhir, padahal mungkin saja ia permulaan. Saya percaya itu.  Komrad selalu bilang kalau saya terlalu material meggambarkan kematian. Saya memakai kacamata orang hidup tambahnya. Terlalu duniawi. Terlalu manusiawi. Iya.

Kematian begitu dekat dengan kita akhir-akhir ini. Setiap pagi, saat membuka ponsel. Setidaknya ada dua tiga ucapan belasungkawa di grup-grup, setiap minggu ada dua tiga pengumuman duka dari corong mesjid kompleks, ada yang saya kenal, ada yang pernah saya lihat, ada yang saya kenal dekat, ada yang tidak sama sekali saya kenal. Tapi tetap saja, saya selalu tetiba hening saat mendengarnya. 

Saat Pesawat Sriwijaya mengalami kecelakaan seminggu lalu, saya bertekad untuk tidak membuka medsos. Saya tahu, bahwa dengan cepat kabar tentang korban, tentang keluarga korban akan tersebar. Tapi sekuat apapun saya hindari, berita tentang penumpang ibu dan tiga anaknya yang ditunggui bapaknya di bandara adalah yang paling merusak malam saya. Sekitar dua malam, saya kesulitan tidur karena membayangkan bagaimana anak-anak itu menghadapi mautnya, bagaimana ibunya menenangkan ketiga anaknya. Dan yang paling perih bagaimana bapaknya bisa menjalani hidup membayangkan hal yang sama. 

Belum reda ketakutan itu membayangi saya, berita meninggalnya Syekh Ali Jaber juga mengganggu mental saya. Entahlah, saya pikir diantara banyak ulama yang menuai kontroversi, dia selalu terdengar menyejukkan, selalu teduh dalam menyampaikan ajaran agama. Lalu kabar bencana datang dari Sulbar. Pagi di beranda, kantor gubernur sudah ambruk tak berbentuk. Dan tetiba cepat melintas vidoe anak korban gempa di bawah reruntuhan yang untungnya masih bisa diajak berkomunikasi. Saya skip pastinya. Saya sungguh tidak sekuat itu untuk melanjutkan. Lalu kabar banjir dari Kalimantan Selatan, keesokannya langit Semeru menggumpalkan asap tebal, kabar pengungsi yang kelaparan, pengungsi yang belum terjangkau bantuan yang mengurusi jenazah dari timbunan bangunan. Lalu  video terjangan air bah di Manado, lalu video banjir di tanah kelahiran bapak komrad, dan Bogor banjir bandang.  Saya melihat itu di beranda media sosial. Sangat dekat dengan saya. Sekali raih dan klik.

Saya resah, takut. Hujan yang tidak henti mengguyur seperti memberi kabar bahwa kabar duka akan terus terdengar. Cuaca ekstrim menjumpai bumi kita yang sejatinya telah rusak. Tepatnya diporak porandakan keinginan manusia yang sulit dikontrol apalagi direm. Akhirnya, bencana menjadi sebuah keniscayaan. Ia datang begitupun kematian-kematian yang manyertainya.

Yang berat dari kematian adalah tentang kita yang masih tinggal di  sini. Entah 1 atau 50 orang, entah ribuan orang. Setiap orang punya nama, punya keluarga, punya cerita, punya kenangan. Kita yang masih hidup sibuk menerka-nerka, sibuk berprasangka, sibuk membayangkan hal-hal yang pada dasarnya tidak kita jangkau. Dan pasti sangat menyakitkan. 

Semoga kita semua tetap diberi kekuatan bertahan, selamat dari musibah, pulih dari sakit dan hidup. Untuk merayakan hidup.

Ibu Nhytha

Wesabbe, 22 Januari 2021

Komentar

Postingan Populer