Perjuangan yang Sunyi
Mengakhiri November yang nyaris selalu sibuk, saya dihadiahi
banyak koleksi film-film baru dari beberapa teman yang senang membagi filmnya.
Sebutlah inisial D yang akhirnya
menggeluti kegemaran ini menjadi bisnis
yang agak serius. Serius karena beberapa orang rela mengeluarkan budget besar
demi mendapatkan tontonan yang mereka sukai, agak karena dia tetap lapang
mengiyakan request film saya dan teman-teman lainnya secara gratis. Dan
sebutlah juga si A yang rajin menghunting file film lewat temannya, khususnya
film Korea dan Jepang yang bisa saya
akses dengan mudah. Maka jadilah, awal Desember ini kami sekeluarga sibuk
menentukan jenis film apa yang mau kami tonton. MahaSuar selalu memilih film
animasi, Bapak komrad selalu memilih film Indonesia, dan saya memilih film
Korea, yang pada akhirnya akan saya tonton sendiri di ujung malam saat dua
jagoan terlelap dan Komrad sedang menonton bola.
Dua hari kemarin, saya menonton dua film Korea yang mesti
saya ceritakan ulang. Keduanya diangkat
dari kisah nyata. Yang pertama berjudul Silenced, dibintangi oleh Gong Yuu yang
baru saya kenal lewat serialnya yang lumayan viral pertengahan 2017 kemarin,
Goblin. Karena saya agak lemah dalam mengingat nama dan wajah orang (apalagi
orang Korea), bisa jadi Goblin bukan drama pertamanya yang saya nonton. Silenced
dinaskahkan berdasarkan novel yang berjudul serupa, mengangkat kekerasan yang
dialami anak-anak disabilitas di sekolah berkebutuhan khusus yang terjadi
sekitar tahun 2005 di daerah Mu Jin, Korea Selatan.
Adalah Gang In Ho duda beranak satu, miskin dan
menggantungkan sebagian hidupnya pada orang tua, mendapatkan pekerjaan sebagai
guru seni di sekolah Tuna Rungu di daerah itu. Datang, jauh dari Seoul, dengan
harapan bahwa pekerjaannya kali ini akan berbuah baik bagi kehidupannya dan
anaknya yang sejak kecil mengidap asma akut. Persoalan Gang InHo sebagai orang
tua diwajahkan dengan gamblang di scineawal film ditayangkan. Ia sosok yang
banyak berpikir, selalu kelihatan cemas dan hati hati dalam mengambil
keputusan. Melihat pencahayaan, music dan pengambilan gambar di menit menit
pertama yang berlangsung hingga akhir film, saya berfikir film ini bergenre
horror atau thriller. Saya lebih sepakat jika diangap thriller, karena
sepanjang menonton adrenalin saya berada di atas normal. Tegang, takut, risih,
jijik, marah, dan sedih.
Gang In Ho merasakan kejanggalan pada sekolah baru yang ia
temui. Mulai perkara kolusi, karena sekolah ini diasuh oleh Yayasan Pendidikan
yang didirikan keluarga, hampir semua pekerja memiliki hubungan. Perkara korupsi, dimana semua pekerja
diwajibkan membayar uang pangkal sebelum resmi menjadi pegawai. Dan yang paling
janggal, adalah siswanya. Mereka cenderung menutup diri dan menjauhi
orang-orang di sekitarnya. Ketika In Ho mencoba mencari tau melalui pengajar
dan staf sekolah, dia menemukan sekolah secara terstruktur menutupi sesuatu.
Lalu bertemulah ia pada satu hari dengan mata kepalanya seorang anak dianiaya
secara sengaja oleh kepala asrama. Tanpa berpikir panjang, ia menghubungi
seorang perempuan aktivis HAM di wilayah Mu Jin yang ia temui di hari
pertamanya di kota kecil itu, Soe Yu
Jin.
Melalui kejadian itu, terkuaklah seluruh kekerasan dan
pelecehan seksual yang terjadi pada 3 anak di bawah usia 13 tahun yang semuanya
hampir tidak lagi memiliki keluarga. Dilakukan oleh kepala sekolah, kepala akademik,
dan salah seorang gurunya. Tidak terkesan dipaksakan apalagi kasar walau pada kenyataannya
hampir semua adegan menceritakan
kekerasan seksual pada anak-anak. Saya membayangkan proses dan kerja keras
dibalik pembuatan film ini. Apalagi untuk aktor anak-anaknyanya. Mereka bukan
hanya mendalami karakter penyandang
tunarungu tapi juga sebagai korban kekerasan seksual. Saya yakin, proses ini
tidaklah mudah. Karenanya, saya bergidik berkali-kali menyaksikan tindak
kekerasan seksual yang disorot dengan nyata.
Usaha sang guru dan aktivis HAM tersebut, menuai
kontroversi. Mempercayai anak-anak disabiltas dari keluarga miskin dan orang
tua yang menderita kelainan mental dinilai tidak masuk akal apalagi menyangkut
pautkan nama orang-orang yang dalam kesehariannya di masayarakat dikenal taat
beragama, suka menolong, suami yang baik dan guru yang teladan. In Ho dipecat
dari sekolah, dicemooh orang tuanya, karena menetapkan langkahnya untuk berdiri
bersama anak-anak tersebut. Soe Yu Jin
mendapatkan penolakan dari pemerintah kota, dinas pendidikan bahkan kepolisian
untuk kasusnya karena Yayasan pendidikan tersebut memiliki andil besar dalam
pembangunan di Mu Jin.
Kisah perjuangan In Ha dan Yu Jin bersama anak-anak itu
berakhir tidak seperti yang kita harapkan, bahkan cenderung naas. Walau
persidangan digelar dan seharusnya seluruh bukti membenarkan rtindakan keji
tersebut, namun kuasa, uang dan kedudukan pelaku terlampau besar bahkan
menyentuh keputusan hakim dan jaksa. Dan
saya tidak berhenti merenggut marah dan sedih.
Satu-satunya yang membuat harapan itu terus ada, karena akhirnya bukan
hanya mereka yang berdiri bersama anak-anak disabiltas di Mu Jin. Semakin lama,
semakin banyak orang yang peduli dan tidak menutupmata akan keberadaan
penyandang disabilitas di sekitar mereka.
Lalu, film kedua berjudul A Taxi Driver. Diprodiksi tahun
2017, film ini langsung menarik perhatian bukan hanya warga Korea tapi juga
pemerintah, kalangan politisi dan penggerak demokrasi di Korea. Diperankan oleh Song Kang Ho (supir taxi) dan
Thomas Kredschmann (reporter). Film ini mengangkat kisah nyata kekerasan militer di Guang Ju di tahun
1980an, sebuah sejarah kelam perjalan penegakan demokrasi di Korea yang sempat
ditutup-tutupi oleh pemerintah.
Menceritakan usaha seorang wartawan Prancis merekam aksi
kekerasan yang terjadi di Guang Ju, yang saat itu telah terisolasi dari dunia
luar dan tidak satupun media yang mengangkatnya. Reporter masuk ke Guang Ju bersama seorang
supir taxi yang membantunya hanya karena persoalan uang. Si supir taxi,
terjerat utang dan lilitan kebutuhan hidup yang tidak mudah bersama putri
semata wayangnya. Dengan semua ketidaktahuannya atas kondisi politik di Guang
Ju saat itu dan demi iming-iming uang besar yang bisa menjawab kerumitan
hidupnya, ia mengantar si wartawan.
Si supir taxi melewati perdebatan besar dan kecil dengan
orang-orang yang ia jumpai untuk keputusan-keputusan yang harus ia ambil saat
berada di Guang Ju dan menyaksikan kekerasan yang terjadi. Seperti kebanyakan
orang, dia ingin memilih tidak ikut campur, menjaga jarak aman, dan tentunya
mendapatkan keuntungan. Ia menampakkan dirinya yang tidak peduli dan egois.
Satu-satunya yang misinya adalah mendapatkan uang si wartawan dan pulang
menemui anak sematawayangnya.
Tapi,keluar dari Guang Ju di tengah pergolakan massa dan
serangan bertubi tubi tentara, tidaklah semudah yang ia rencanakan. Posisinya tidak lagi menguntungkan, karena
tentara mencium keberadaan reporter asing dan mulai memburu mereka. Hal ini
menghadapkannya pada kenyataan perih yang harus ia saksikan sendiri, anak muda,
perempuan laki laki, mahasiswa, orang tua dikejar dipukuli, ditelanjangi di
depan matanya. Ia bertahan untuk tetap tidak peduli dan kabur saat pagi masih
belia, demi anaknya, demi hidupnya yang biasa-biasa saja.
Dan di tengah perjalanan pulang, di antara rasa lapang
karena lepas dari situasi mencekam, ia akhirnya tak kuasa melawan “manusia” di
dirinya yang sejak awal selalu coba ia
bunuh. Dia berbalik, kembali ke Guang Ju dan bertekad mengantar reporter itu
pulang dengan selamat agar semua yang ia lihat tidak lagi ditutup-tutupi negara
dan akan dilihat oleh dunia. Ia tiba di Guang Ju saat situasi semakin tidak
terkendali, korban tewas semakin bertambah dan represi terhadap warga sipil
tidak berhenti bahkan penembakan secara membabi buta terjadi telanjang di depan
matanya. Dengan bantuan supir taxi lokal, supir taxi dan reporter itu berhasil
mencapai bandara dengan selamat, dan ia menunaikan janjinya untuk mengabarkan
Guang Ju pada dunia. Karena kegigihan
sang reporter yang dianggap sebagai pahlawan yang membantu pemulihan Guang Ju
dari kungkungan militer, patungnya didirikan di Guang Ju hingga sekarang.
Menonton film ini, saya turut merasa tercekam, takut dan
tegang sekaligus. Sedih dan marah campur aduk. Seperti kebanyakan film Korea
yang saya nonton, tidak satupun adegan atau gambar yang melenceng dari
settingan latar. Totalitas sinematografinya patut diacungi jempol.
Kedua film ini punya beberapa kesamaan., kedanya merekam
nama-nama “kecil” dibalik kejayaan nama-nama pahlawan yang biasanya muncul dalam sebuah peristiwa besar. Di Taxi driver, supir taxi memilih
menghilangkan jejaknya walau reporter tersebut tidak berhenti mencarinya dan
menyebut namanya setiap kisah ini ia kisahkan. Ia tidak pernah muncul bahkan
hingga reporter itu meninggal di tahun 2015 lalu, dia tetap memilih menepi.
Pun, pak guru In Ha memilih berada di belakang layar dan mendukung anak-anak disabilatas
di Mujin dari jauh. Mereka berdua sama-sama melewati pertikaian menjadi peduli
atau tidak peduli terhadap hidup orang lain, karena hidup mereka pun perlu
dibenahi. Mereka sama-sama memutuskan untuk mengambil peran dalam perjuangan
karena pertanyaan besar “saya akan
bilang apa pada putri saya kelak?”. Di film Silenced, ada kutipan keren yang
saya ingat “perjuangan kita mungkin tidak akan mengubah dunia, tapi kita
berjuang agar dunia tidak berhasil mengubah kita” Mereka berhasil untuk tidak
ikut berbondong-bondong pada keapatisan.
Mendengar kalimat itu, saya lalu berpikir panjang, bahwa
laju dunia melesat tak terkira. Orang
bergegas menunaikan kepentingan-kepentingannya. Memilih jalan yang mudah, mengadudomba,
menindas, melecehkan, membenci, saling tendang, dorong mendorong, meneror,
menembaki, mengutuk, membunuh demi mewujudkan mimpi-mimpinya. Mungkin, dalam
kamus mereka, itu juga sebuah perjuangan. Perjuangan menghidupkan sisi binatang
yang harusnya tidak muncul pada manusia. Lalu yang dilakukan In Ha dan aktivis
HAM itu, yang dilakukan supir taxi dan wartawan itu, yang dilakukan Ibu-ibu Kendeng berdiri di
bawah pasung semen, warga KulonProgo di Jogjakarta, masyarakat Pandang Raya
yang tergusur, rakyat Bali yang pantainya direklamasi, petani Takalar yang berhadapan senapan, orang
tua korban kekerasan penculikan dan penghilangan paksa yang berdiri setiap
Kamis di depan istana, mahasiswa yang meninggalkan bangku kuliah dan menantang
matahari di jalan raya, anak muda yang mengarungi ombak membawa buku untuk
anak-anak pesisir, mereka semua sedang berjuang. Mengharap agar perjuangan itu bisa mengubah
arus kejamnya dunia, adalah sesuatu yang mungkin muluk di kepala sebagian orang. Tapi gerakan-gerakan itu akan menunjukkan jeda yang berarti, akan menggelinding dan
membesar disatu pagi. Atau setidaknya, sekecil-kecilnya harapan, itu adalah perjuangan
agar dunia tidak punya kesempatan membawa kita dalam arus yang mematikan.
Dua film ini harus ditonton, sangat menginspirasi dan
mencerahkan. Dan sekali lagi, dua film Korea ini membuktikan bahwa produksi
film mereka tidak hanya menjual tampang dan mimpi-mimpi muluk yang terlanjur
digandrungi muda mudi Indonesia.
Harnita Rahman. 14 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar