Tenggelam bersama Raden Mandasia

Bertualang di era sekarang ini, menurutku langka. Memang aneh, karena hal ini berbanding terbalik dengan betapa mudahnya seseorang menjangkau suatu tempat. Kamu bahkan tidak perlu kemana-mana. Usaha yang paling besar dibutuhkan adalah mengumpulkan informasi yang tepat, dan itu hanya butuh seonggok paket data atau nongrong dengan modal 20ribuan, kamu bisa meyedot informasi dari lapangnya wifi yang disediakan gratis di banyak café di sekitarmu. Mungkin terlalu awal, tapi saya berani menyimpulkan, kita telah tiba di suatu masa di mana bertualang menjadi sulit untuk dilakukan. Yang mudah adalah bepergian, yang seronok adalah liburan, yang jadi tren adalah travelling (yang ala Rangga pastinya). Saya rasa hanya sedikit yang memungkiri, bahwa hidup hari ini begitu tergantung pada gelombang-gelombang signal.

Kalian tahu? terkadang, tersesat mempertemukanmu dengan jawaban yang benar, hanya mungkin lebih berliku.Dan, begitulah, beberapa minggu lalu saya bertemu Raden Mandasia, ajakannya untuk  bertualang sungguh tidak bisa saya tolak.  
Entah sejak kapan, saya mulai agak sulit membaca buku dengan ketebalan yang tidak biasa. Banyak pembenaran yang mengikuti keputusan itu. Apalagi jika, starting poinnya tidak menarik, kacangan, atau apalah. Intinya, saya mulai malas membaca. Mengetahui Raden Mandasia meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award untuk kategori prosa, membuat kami langsung menjadikan buku itu koleksi perpustakaan setibanya dari Jogja, tanpa harus menunggunya tidak laku dulu, seperti buku-buku jualan lainnya. Informasi tentang betapa cemerlangnya cerita ini, tidak terlalu membantuku bergairah untuk membacanya lebih awal. 

Namun, entah karena hari baik apa, perjalanan saya akhirnya dimulai. Sungu Lembu adalah pencerita yang handal. Ia fasih menceritakan setiap detil yang ia temui. Ia menuntun imajinasiku dengan hampir sempurna. Dibanding, karakter Mandasia, saya jauuuuuh lebih jatuh cinta padanya. Dengan semua yang ia miliki. Dengan tampangnya yang tidak biasa-biasa saja, dengan mulutnya yang rajin mengumpat, dengan lidahnya yang piawai mengenali rasa, dengan hasratnya pada perempuan yang membuncah, dengan keputusannya yang selalu hati-hati, dengan ambisi membunuhnya yang garang, dan pastinya kemampuan bertengkarnya yang tidak boleh disepelekan. 

Sungu Lembu seolah memusatkan ceritanya pada Raden Mandasia, tapi menurutku Sungu Lembu telah memulai perjalanannya sendiri jauh lebih dulu sebelum bertemu Raden Mandasia. Menurutku ada baiknya memupuk dendam, perihal dendam mendalamnya pada Gilingwesi inilah, terutama pada Prabu Watugunung, Sang Raja,  yang memberinya kekuatan besar untuk menjumpai cerita baru. Dalam cerita perjalanannya, ia  belajar dari kehidupan orang-orang yang ditemuinya. Sejujurnya, secara seksama, banyak kisah, banyak tokoh yang familiar dan telah sering kita dengar. Karena itulah, seringkali Sungu Lembu dalam buku ini serupa mendongeng namun ia memberikan improvisasi sedemikian rupa. Alur cerita yang ia sajikan tidak monoton. Sesekali saya bahkan harus melompat-lompat menuju jaman yang ia gambarkan. Imajinasi saya seperti membangun sebuah jaman yang hanya pernah saya liat di cerita-cerita Tutur Tinular versi sandiwara radio. Mulai dari setapak yang ia langkahi, lautan yang ia seberangi, pertempuran yang ia taklukkan, gurun pasir, rumah judi,dan keberuntungan-keberuntungan yang tak ia lewatkan. Dan uniknya, cerita di jaman yang seolah berada di ratusan tahun sebelum hari ini, seolah terkait dan tergambar di masa sekarang. Sungguh masih bisa dibuat relevansinya.

Sebenarnya, penulis Lewat Sungu Lembu tidak memunculkan banyak tokoh. Tapi, minimnya orang yang dijumpai, justru memberinya ruang yang lebih besar untuk bercerita. ia bahkan mengulik secara detil orang-orang yang ditemuinya. Detil-detil kecil yang tidak luput dari semua orang yang dijumpai Sungu Lembu adalah hal yang membuat perjalanan kisah ini sangat menarik. Dan jauh setelah kisah ini telah hatam menemani hari-hari saya, baru saya dapatkan bahwa keseluruhan cerita ini terkait tidak hanya pada Sungu Lembu tapi memang pada Raden Mandasia. Dia serupa poros yang mengaitkan satu dan lainnya.  Saya suka semua tokoh dalam cerita ini. Saya suka Banyak Wetan, yang mengenalkan Sungu Lembu pada kegemeran membaca, dan melatihnya menjadi lelaki yang tangguh. Saya suka Nyai Manggis yang mencintai Sungu Lembu dengan merdeka dan menjadi pelita tak terpadamkan dalam perjalanan Sungu Lembu. Saya suka Watugunung yang perkasa dan memiliki lebih dari dua puluh putra yang semuanya bisa diandalkan. Saya suka Nezar dan awaknya, tapi lebih mencintai perjalanannya yang tidak hanya bergelombang tapi berkawan badai. Saya mengagumi Loki Tua yang jago meramu apa saja menjadi makanana yang lezat, mengagumi kesetiaannya pada janji. Dia seorang dengan komitmen yang tinggi. Namun, diantara semuanya, saya sungguh tidak berhenti berdecak kagum atas semua laku yang ada pada Raden Mandasia. Raden Mandasia selalu berada setidaknya minimal satu level di atas Sungu Lembu. Semua liku yang Sungu Lembu lalui dengan takut, selalu berhasil Raden Mandasia atasi dengan mudah. Pun saat babak peperangan, yang merupakan babak paling menakjubkan dalam cerita ini. Saya membayangkan peperangan Pandawa namun dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Membayangkan kemegahan sekaligus kehancuran secara bersamaan. Di babak inilah, semua keperkasaan, ketangguhan, takluk pada keserakahan. Yang berarti kau memang telah kalah sejak awal. 

Yang masih menjadi tanda tanya, kenapa harus “pencuri daging sapi” pada judulnya? Saya menunggu kisah mencuri daging sapi yang tidak biasa, saya berharap ulasan akan hal tersebut lebih banyak. Tapi, tanda tanya itu tidak mengubah keutuhan kisah Sungu Lembu. Saya mengakui bahwa penghargaan pada karya Raden Mandasia ini, layak ia dapatkan. Yusi Avianto Pareanom “si tukang tulis”, melalui buku ini, memberi saya kesamaan rasa saat membaca karya Coelho pertama kali tapi dalam rasa yang lebih Indonesia.   
Ah, selalu bangga jika saya berhasil membaca satu buku keren minggu ini…

Akhir February 2017
ibumahasuar

Komentar

Postingan Populer