Lelaki lelaki itu…

Sebenarnya tulisan ini ingin saya buat sekitar setahun lalu, tepat ketika kabar baik salah satu dari tiga lelaki ini datang. Tapi, seperti banyak penundaan penundaan lainnya, ide itu mengendap hingga hari ini. Mengikut bersama kadonya. Dua lelaki yang melaksanakan hajat baik lebih dulu, sadar atau tidak, kadonya kuendapkan di rumah berbulan-bulan.
Adalah TKU, rumah yang mempertemukan kami. Di pertengahan tahun menjadi mahasiswa baru di tahun 2003, saya menjumpai mereka dengan niat yang sama, menjadikan TKU sebagai tempat belajar. Saya sih begitu, entah mereka. Prosesi PPCA mengenalkan kami dengan cepat. Jadwal rutin dan padat, mau tidak mau mengharuskan kami menjadi akrab, dan hal itu selalu mudah bagi saya. Memiliki banyak teman, dan hampir semuanya lelaki menurut saya punya banyak sisi baik.
Asbi, Dul dan Onil, saat itu juga masih sering bersama Olan. Kesemuanya, saat itu begitu mudah diidentifikasi. Mereka sering sekali jalan bersama, sama-sama anak Sastra Daerah, sama-sama tidak bisa lepas dari dialek daerah, dan sama-sama melancarkan aksi-aksi gila. Tampangnya? Biasa saja. Standar, Tipikal mahasiswa baru dari daerah yang semuanya serba kurang. Hahahahaa..
PPCA dengan cepat menelanjangi siapa kami. Setauku, dimata mereka, saya tidak pernah dianggap sebagai perempuan. Kesamaan kami yang senang “macalla” membuat semuanya menjadi cepat cair. Terlebih saat itu, saya tiba-tiba tidak punya tempat tinggal dan langsung mengiyakan saja saat TKU menggelar tempat tidur untuk saya. Jadilah, di semester kedua saya, TKU bukan hanya selayaknya rumah. Literally, dia rumah. Saya punya loker tempat penyimpanan baju. Punya ruang sendiri untuk tidur. Biasanya di anjungan, tapi lebih banyak di galeri. Dan saat-saat itulah, hubungan saya dengan tiga lelaki ini menjadi tidak biasa. Masa itu, adalah masa dimana “bencana” bagi mereka telah dimulai.
Tinggal di PKM saat itu, adalah gampang-gampang susah. Bukan perihal aturan pastinya karena saat itu rektorat tidak pernah bermimpi bisa mengeluarkan aturan untuk melarang “kegiatan malam” di PKM. PKM tidak pernah sunyi. Selalu dipenuhi orang, suara dan gerakan yang menonjol. PKM menggeliat sangat seksi saat itu. Namun, produktifnya PKM tidak berbanding lurus dengan mudah dan nyamannya fasilitas umum di sana. Sebutlah kamar mandi. Kita harus mengantri panjang untuk mandi pagi, karena itulah saya selalu memilih untuk tidak mandi jika mesti masuk kuliah pagi. Kakus hanya beberapa yang bisa dipercayai untuk membuang hajat, selebihnya, kau akan bergantung pada peruntungan-peruntungan. Tidak kenal musim, hujan atau kemarau. Kau selalu sulit jika berurusan dengan air di PKM. Air bisa saja berhenti mengalir di saat sabunmu belum betul-betul bersih. Atau, jika berani menanggung banyak resiko, kau boleh bertemu limpahan air di atas jam 10 malam. Saat-saat begini, maka temanmu di pondokan adalah satu-satunya yang bisa kalian andalkan.
Dan pada merekalah, saya lari saat menjumpai ketidakberuntungan-ketidakberuntungan tersebut. Walau sebenarnya, kisahnya sama sulitnya. Walau sebenarnya, hampir semua teman-teman laki-laki di TKU, senior bahkan, selalu bisa saya susahkan. Tapi tiga orang ini, punya porsi yang lebih besar. Entah apa dosanya di masa lalu. Jadi mereka bertiga tinggal di sebuah pondokan yang sekarang sudah punah bernama PONDOK MARWAH (semoga tidak salah), pondokan dua tingkat dari kayu yang sebenarnya fasilitas MCK nya juga tidak wah. Di sanalah, banyak pagi dan sore kulewati demi memastikan hajatku terbuang dengan baik. Dan karena sebenarnya permasalahan langkanya air terjadi di seantero Tamalanrea, maka di pondok Marwah pun demikian. Hanya saja, masalahnya lebih mudah di atasi. Ada sumur dengan air yang bersih dan melimpah. Dan mereka bertiga mau tidak mau bergiliran menimba air untuk saya. Yah, saya selalu berhasil memaksa mereka. Dan musibah mereka berkepanjangan. Jika tengah malam tiba dan lapar menyerang. Saya tidak segan-segan berjalan sendiri dari PKM membangunkan mereka untuk menyediakan nasi kuning begadang. Banyak malam-malam yang saya lewati dengan mengetuk pintu mereka. Entah Asbi, Dul atau Onil. Mereka akan marah, mengomel sepanjang waktu tapi saya selalu tidak peduli,karena pada akhirnya mereka pasti menurut. Yang lebih mengesankan lagi, saat-saat kere, saya tidak pernah malu menggantungkan perut saya pada mereka. Padahal saat itu, mereka sama misikinnya. Yang akhirnya akan mereka  callai, mereka umumkan pada semua orang untuk ditertawai bermingu-minggu. Lagi, saya tidak peduli. Ketidakpedulian saya, adalah bencana besar bagi mereka. Karena kisah-kisah semacam itu masih berlanjut. Saat tidak tinggal di TKU lagi, nasib mereka tidak betul betul berubah. Jika komrad tidak menjemput, mereka kerap mengantar saya pulang ke kosan, setelah sebelumnya membelikan saya pengganjal perut. Saat itu, motor masiih dihitung jari, tapi mereka selalu punya motor untuk dipakai mengantar saya. Atau, paling tidak memberi saya uang pete-pete untuk pulang.
Mereka selalu pandai mentaktisi keadaan. Ketiganya punya hal yang pada mereka, saya bisa belajar. Si Asbi piawai membuat segala yang picisan dan kacangan menjadi lebih bersetetika. Dul ahli dalam membuat sesuatu. Serupa tukang. Onil pandai dalam berbicara. Ia pandai membaca orang. Semua orang bisa langsung dekat dengannya. Namun, diatas semua kepiawaian itu, jika mereka berkumpul, hanya teriak dan tawa yang akan menggelegar. Mereka ahli dalam bercanda, tapi tidak kalah serius saat diajak serius. Sehari semalam selalu cepat berjalan jika mereka ada di sekitarmu.
Hingga hari ini, mereka tidak berbeda di mata saya. Tampilannya saja, mungkin. Yah, mereka kelihatan lebih parlente, lebih rapih, lebih sejahtera. Tapi, di mereka tetap laki-laki yang sama. Yang dulu memakai molto sachet yang dicampur air sebagai parfum mereka. Waktu berjalan cepat, hanya kenangan yang berhasil menetap. Sebagian perjalanan hidup bersama mereka, adalah saat-saat yang harusnya sulit tapi selalu menjadi lebih mudah. Cerita bersama mereka, adalah cerita yang saya harap tidak perlu didengar maha dan suar kelak. Hahahahaha.
Kemarin, Hasbi baru saja melangsungkan pernikahannya, juga menjadi penutup setelah Dul setahun sebelumnya, dan Onil beberapa bulan lalu. Dul bahkan sebentar lagi akan menjadi bapak. Tulisan ini serupa ucapan terima kasih yang tidak pernah saya ucapkan. Juga kado untuk masing-masing istri mereka. Saya tentu tidak bisa menjanjikan, mereka akan jadi suami yang sempurna, hal itu pastinya berbeda dengan apa yang telah saya jalani bersama mereka. Tapi yang saya percayai, hingga kini, mereka adalah laki-laki yang selalu bisa diandalkan (tidak lagi oleh saya tentunya, hihihihi). 

Maret 2017
ibumahasuar  

Komentar

Postingan Populer