Melismatis : Kisah Tentang Rumah dan Kampung Halaman

http://revi.us/wp-content/uploads/2016/03/melismatis-semesta.jpg
Rumah selalu menjadi hal penting bagi hampir semua orang. Ia boleh jadi tidak hanya yang kita maknai secara fisik sebagai tempat berlindung dari hujan dan panas, tapi rumah bisa jadi berasosiasi dengan keluarga, kampung halaman atau kota dimana kita tumbuh bersama teman-teman, organisasi dimana cerita tentang buku, pesta dan cinta menjadi menjadi imaji pengantar tidur atau bahkan sekumpulan cerita-cerita indah di suatu masa yang selalu mengajak kita untuk kembali menyambanginya.
Rumah selalu memiliki dimensi ideasionalnya yang menautkan kita dengan urusan keintiman, kerinduan, pulang dan tentu kehangatan. Dan karena sebab itu maka rumah selalu menarik untuk dijadikan sebagai inspirasi dalam karya atau bahkan ia dapat menjadi nadi dalam keseluruhan aktivitas berkarya.
…………..
Sekitar dua tahun lalu, di suatu sore saya bertemu dengan seorang teman dan kemudian kami terlibat dalam perbincangan serius tapi santai tentang banyak mimpi yang ingin kami wujudkan di skena musik Makassar. Dari perbincangan tersebut saya menyampaikan keinginan untuk menghelat sebuah gig rutin sederhana di kedai buku yang saat itu baru saja kami rintis. Ia lalu menawarkan bandnya untuk menjadi penampil pertama di gig yang hingga kini masih kami helat.

Melismatis, begitu ia dan kelima personil lainnya bersepakat menamai band yang terbentuk pada tahun 2006 itu. Ardhyanta Tajuddin Sampetoding (lead vocal/organ/toys instrument), Arif Fitrawan (keys/synth/back vox), Juang Manyala (guitar/back vox), Asrullah Ahmad Manyala (guitar/back vox), Andi Hendra Saputra (bass/back vox) dan Muhammad Ikhsan (drum/percussion) adalah keenam personil yang sejak kecil telah saling mengenal dan selalu berbagi keakraban hingga kemudian bersepakat . Tak salah kemudian jika Melismatis menjadi rumah dan keluarga kedua bagi mereka. Dalam sebuah kesempatan, Melismatis memaparkan bagaimana spirit rumah dan keluarga inilah yang menjadi ruh dalam keseluruhan proses kreatif yang mereka jalani. Dalam penggarapan album misalnya, spirit ini lah yang mampu meredam ego masing-masing personil yang datang dari latar belakang kecintaan musik yang bervariasi dan membuat semua proses didalamnya menjadi lebih nyaman.

Aura rumah dan kampung halaman juga begitu kental terasa dalam karya-karya band yang mengusung genre ensemble post rock ini. Saat pertama kali mendengar album pertama Melismatis yang bertajuk Finding Moon, saya langsung jatuh hati dengan ajakannya untuk Sedikit Ke Timur. Sebuah ajakan tulus untuk terus mensyukuri setiap pijak di tanah yang kaya dengan keindahan alam serta segala nilai dan gagasan besar didalamnya.

Gagasan tentang rumah dan kerinduan tentangnya yang oleh Melismatis dibalut dalam banyak bentuk juga bisa kita lacak pengaruhnya dari band atau musik yang menjadi referensi mereka. Sigur Ros saya kira adalah salah satu dari beberapa band atau musisi yang memberi warna dan nuansa musik yang kental dengan ajakan untuk pulang dan menikmati keasrian kampung halaman. Tak salah kemudian jika dalam salah satu ulasan tentang album Finding Moon yang dimuat sebuah media on-line independen Makassar dituliskan bahwa lagu Sedikit KeTimur sangat dipengaruhi oleh nomor Hoppipola milik Sigur Ros. Dalam beberapa interview, jika Melismatis ditanya soal band atau musisi yang menjadi referensi mereka dalam bermusik, maka Sigur Ros selalu berada di deretan paling awal dan menariknya jawaban itu akan selalu diikuti dengan penyebutan nama negara asal band post-rock itu, Islandia. Penyebutan nama negara ini mungkin kesannya biasa saja bagi banyak orang, tapi bagi saya Melismatis sedang menyampaikan tanda atau simbol yang mungkin merepresentasi imaji mereka tentang rumah dan kampung halaman dan segala keintimandan kebahagiaan sederhana yang ada didalamnya. Anda boleh berkunjung ke Youtube dan menikmati imaji-imaji itu dalam video-video milik Sigur Ros dan rasakan sensasi kerinduan akan rumah dan kampung halaman.

Kerinduan dan rasa cinta terhadap rumah dan kampung halaman selalu harus dirawat. Jika tidak ia hanya akan berbentuk ratap pilu tanpa daya untuk berbuat sesuatu. Dan Melismatis bagi saya selalu punya caranya sendiri untuk merawat ingatan-ingatan itu. Upaya ini bisa kita lihat dalam penggarapan album kedua Melismatis yang bertajuk Semesta dan Rupa Pesona dengan format double album.

Dalam album kedua yang rencananya akan dirilis akhir tahun ini, Melismatis semakin eksploratif dalam meramu karya yang telah mereka garap selama tiga tahun terakhir ini. Hal tersebut sangat nampak terdengar dalam beberapa lagu yang telah Melismatis perdengarkan ke khalayak dalam beberapa panggung mereka akhir-akhir ini. Dengan durasi yang cukup panjang, beberapa lagu tersebut menyodorkan ekplorasi nada yang tak biasa dan penuh energi serta semakin diperkaya dengan berbagai bebunyian yang dihasilkan dari beberapa instrumen musik etnik. Dalam pengerjaan album kedua ini, Melismatis juga menambah energinya dengan memasukkan Muhammad Nur Adam yang sebelumnya memang dikenal piawai memainkan beberapa instrumen musik tradisional.

Dalam hal lirik, Melismatis juga semakin memantapkan posisinya sebagai band yang “membaca”, meminjam istilah dedengkot Elevation Records Taufiq Rahman. Lirik-lirik yang disuguhkan dalam beberapa lagu tersebut terdengar lebih “berat” dan sangat bisa dipastikan bahwa deretan lirik tersebut adalah hasil bacaan dan interpretasi yang kuat dari sumber-sumber bacaan yang memang sengaja dipilih untuk memberi keutuhan dalam album ini. Beberapa lagu misalnya terinspirasi dari kisah-kisah yang termuat dalam Kitab sastra I Laga Ligo. Dalam lagu Bahkan Langit Pun Tersanggah misalnya, Melismatis menginterpretasi episode Ritumpanna Welenrennge. Dalam episode ini diceritakan bagaimana pohon Walenreng ditebang oleh Sawerigading untuk dijadikan perahu dan digunakan dalam pelayaran Sawerigading ke Cina. Atau dalam lagu Hawa Biru yang bercerita tentang ketangguhan perempuan-perempuan Bugis.

Sejak pertama kali mendengar beberapa lagu yang akan hadir di album kedua Melismatis, saya sangat menyangka bahwa masuknya banyak instrumen tradisional Sulawesi Selatan dan kemudian interpretasi terhadap kisah-kisah kuno bangsa Bugis-Makassar adalah bagian dari upaya Melismatis untuk mengadvokasi sekaligus memperkenalkan (kembali) kebudayaan lokal khususnya kepada khalayak muda dengan cara-cara yang lebih kreatif. Dalam salah satu sesi diskusi, Melismatis tidak menampik hal tersebut namun dari paparannya saya semakin menduga bahwa yang dilakukan Melismatis sebenarnya merupakan ikhtiar untuk menghadirkan cita rasa rumah dan kampung halaman dengan cara yang lebih cerdas dan indah. Dan sejauh ini, menurut saya melismatis telah berhasil kembali mengajak saya untuk berkunjung ke setiap bilik ingatan saya tentang rumah dan kampung halaman.


Akhirnya… selayaknya rumah, Melismatis selalu menjadi tempat yang nyaman untuk pulang. 

Komentar

Postingan Populer