Liburan indie



Jumat, minggu lalu tiba-tiba menjadi Jumat yang tergesa-gesa.  Keputusan berangkat ke Semarang, akhirnya kami iyakan tepat pukul 10 pagi untuk keberangkatan sore. Saya menuju rumah dengan rentetan yang harus disiapkan secepatnya. Menuju ke sekolah maha, membereskan ulangan semesternya dan packing. Guru maha seperti biasa tidak meribetkan urusan izin-izin ini.  lagipula, Senin besoknya, maha memang libur.  Urusan packing kelar tidak lebih dari 30 menit. Dan semuanya lengkap. Kami hanya membawa 1 koper dan 1 ransel.

Usai Jumatan, mobil yang akan membawa kami ke bandara sudah datang. Perjalanan menuju bandara mulus, tidak seperti yang selalu kami takutkan. Walhasil, kami punya cukup waktu luang untuk menyiapkan rencana 5 hari ke depan.

Sebenarnya perjalanan ini bukanlah perjalanan mendadak. Ini adalah hadiah yang dijanjikan bapak komrad ke mahasuar, saat September kemarin berakhir. Tapi, karena hitung-hitungan a la bendaharaku, rencana ini sempat telah di cancel. Membuat mahasuar kecewa, bahkan maha berhari-hari berkaca-kaca dan menunjukkan wajah penuh kecewa. 3 hari sebelum berangkat, kami mulai bernegosiasi pada mereka, kami mulai bicara tentang kemungkinan-kemungkinan gagal liburan. Keputusannya lumayan berat, karena ini semacam janji kami yang telah lama mereka nantikan. Dan kami tahu betul, akibatnya. Terlebih untuk maha. Dia bisa marah berhari-hari, kesal berkali-kali.  yang paling penting, karena kami tidak bisa menepati janji. Dan penghalangnya adalah uang. Komrad sempat kesal pada diri sendiri, sempat marah, harusnya alasannya tidak mesti “uang”. Agak sesak karena kita akhirnya takluk pada benda itu. what the f**k.  Daripada mengutuk  diri, saya lebih banyak berpikir bagaimana mengantisipasi masalah.

Di keluarga ini, sebagai ibu, saya mau tidak mau, mesti punya jawaban untuk setiap tanya yang keluar. Mesti menyiapkan jalan  saat kami menghadapi jalan buntu. Jauh-jauh hari saya sudah menghitung, biayanya akan menguras tabungan yang kami kumpulkan dengan susah payah. Jadi, saya mengusulkan tidak berangkat. Saya menunggu komrad yang biasanya  tidak bisa mengambil keputusan besar, untuk bersikap kali ini. dan dia memutuskan untuk berangkat. Saya tersenyum. Ini adalah penolakannya yang jarang atas usulku tapi  sangat membahagiakan.

Pesawat berangkat hampir lewat pukul 4. Andai saja cuaca di sekitaran Bandara Adisucipto Surabaya tidak buruk, kami bisa menikmati senja di Surabaya. Tapi sayang, malam telah datang saat kami tiba di Surabaya, mobil travel yang akan membawa kami ke Semarang datang setelah kami menunaikan shalat Isya.  Perjalanan bersama mobil travel tipe L300 yang sudah agak tua ini cukup lama. Kami seperti mengelilingiseluruh  Surabaya demi menjemput barang yang akan dibawanya serta. Bapak sopirnya mungkin sedkit lebih muda dari bapak. Badannya kurus dan sangat sopan. Kami meninggalkan Surabaya hampir jam 10 malam. Dan dimulailah perjalanan menembus pagi menuju semarang dengan dua bocah yang terus terlelap.


Semarang

Kami berjumpa Semarang di pagi yang mulai sibuk.  Melewati  pasar-pasar tradisional, warung-warung kaki lima, kedai-kedai kopi yang ramah bercerita. Kami tiba di hotel yang sudah disiapkan Mimin. Hotelnya mewah untuk kami. Seingatku, setiap liburan, kami selalu punya rumah untuk kami tempati. Jarang sekali menggunakan penginapan. Kami sepakat untuk langsung menuju lokasi setelah sarapan. Mahasuar sudah kenyang tidur dalam perjalanan.

Jadi, kami ke sini atas undangan teman teman dari Tanah Indie yang menjadi salah satu host  di helatan Urban Sosial Forum 4 yang kali ini mengangkat tema Another City is Possible. Kami berangkat dari hotel menuju Lokasi di SMU 1 Semarang dengan berjalan kaki, bersama K jim. Cuaca yang mendung dan contour kota yang memang menarik, membuat perjalanan kami menyenangkan.  SMU 1 yang digunakan sebagai lokasi USF4 ini, sangat luas. Di depan gerbang, kami sudah disambut dengan booth makanan dan merchandise. Kami tiba saat pembukaan sedang berlangsung. Menemui banyak orang yang mengkonsernkan dirinya pada issu kota. Menuju ke bagian belakang, kami menjumpai booth-booth kelompok-kelompok yang sedang sibuk menjelaskan diri mereka pada orang-orang yang berkunjung. Ada sekitar 10 booth di sana. Dan yang menarik, mereka berapi-api menjelaskan pada pengunjung tentang program mereka, pekerjaan mereka, dan issu yang mereka bawa.

Di sisi kiri, terdapat banyak kelompok-kelompok volunteer yang juga menjadi dampingan Kota Kita yang mengjelaskan pada pengunjung tentang kegiatan mereka di kota khusunya Surabaya. Panel-panel sudah dimulai. Terdapat 3 sesi panel hingga sore. Setiap sesi terdapat 10 panel yang tersebar di seluruh kelas di SMU 1. Dan Komrad mengisi sesi terakhir di panel 26.

Mahasuar mulai gusar, saat siang datang. Kami memilih membunuh waktu dengan bermain di taman depan SMU 1. Di sana disediakan arena bermain untuk ana-anak. Dipenuhi umbul-umbul warna-warni dan sebuah galeri yang dibangun dari gamacca. Galeri tersebut milik komunitas arsitek semarang. Semakin siang, anak-anak muda mulai berdatangan di taman yang juga menyediakan wahana bermain outdor yang berwarna-warni. Kami  memutuskan pulang ke hotel  dan komrad melanjutkan aktivitas di sana setelah kami santap siang di warung soto yang 40x lipat lebih murah  dibanding soto di Bandara Juanda di Surabaya dengan rasa yang sama enaknya.

Setelah beristirahat dan dua lelaki kecil ini siap, kami memutuskan mengeksplor satu sisi Semarang dengan berjalan kaki. Jadi, kami menginap di hotel @Hom di Jalan Pandanaran. Jalan ini seperti pusat kota yang berdekatan dengan banyak tempat menarik. Dan lumayan dekat. Tujuan kami, menuju Lapangan Simpang 5 , sebelumnya kami memutuskan untuk cuci mata saja di dua toko buku besar yang kami lalui. Betul,
hanya cuci mata. Kami bahkan tidak membeli apapun, walau stationary dan bukunya menggiurkan. Perjalanan di tengah langit Semarang yang mendung, kami akhiri di lapangan Simpang 5 yang sore itu mulai didatangi banyak orang. Kami mengelilingi lapangan dengan sepeda yang disewakan. Di lapangan ini juga mulai digelar banyak aktivitas, seperti alun-alun kota pada umumnya. Apalagi hari itu Sabtu malam.

Menjelang magrib, kami  menuju hotel lagi. Dua lelaki itu masih bersemangat untuk tetap jalan kaki. Area pejalan kaki di kota ini sangat lapang. Kalian bebas berjalan, tanpa takut terserempet kendararaan. Malam tiba dan kami, full team, dijemput sama keluarga Mas Kris, teman komrad saat di UGM. Mas Kris, dengan istri dan anaknya, Pieta yang satu frekuensi dengan Suar. Kami mencoba masakan Semarang di sebuah restoran yang

saya lupa namanya dan cukup ramai malam itu. setelah kenyanga, kami menuju Kota Lama, sama. Tempat ini pun ramai. Dipenuhi banyak anak muda yang sibuk memotret dirinya dengan latar yang antique. Di kawasan ini, dipenuhi bangunan-bangunan tua yang terawatt dengan baik juga masih digunakan. Kami berhenti di taman yang didepannya berjejer lapakan barang-barang antik. Tamannya cantik dan menyediakan banyak tempat duduk. Fasilitas air langsung minum pun ada. Yang menarik, seorang perupa mennjadikan taman itu sebagai galerinya. Dia memajang, karyanya berupa gambar yang banyak dipadu dengan ornament-oranamen, misalnya kaleng bekas, kaset pita, kertas bekas. Hampir seluruh karyanya menonjolkan wajah orang-orang ternama. Maha tidak henti melototi satu demi satu karyanya. Nama senimannya BIORE. Begitu tertulis di setiap karyanya. Malam sudah tua, saat kami meninggalkan Kota Lama. Rencana mengunjungi Lawang Sewu batal, karena ternyata tempat itu terbuka hingga sore. Segala kelelahan kami tumpuk lalu habiskan dengan tidur lelap  di hotel hampir jam 12 malam.


Pagi yang terlalu awal, dan Panandaran sudah bangun sejak tadi. Dua pagi telah kami jumpai dan kami menarik kesimpulan bahwa matahari datang terbburu-buru di tanah Jawa. Di Makassar, matahari tidak tergesa-gesa seperti itu. Sepanjang jalan Panandaran sedang ditutup.  Ada lomba marathon yang sedang akan digelar. Kami sarapan dan lalu menuju jalan yang lapang. Pagi ini pagi terakhir di  Semarang, kami menunggu  Mas Kris menuju Boyolali.

Hampir pukul 10, Mas Kris sekeluarga datang dan membawa kami menuju Boyolali. Boyolali, bukanlah kota yang kami rencanakan untuk disinggahi. Tapi, komrad berencana reuni singkat dengan Maba Uut dan Mas Kris, dengan perjanjian Mba Uut yang akan membawa kami ke Jogja. Hampir siang, mobil sudah memasuki daerah Mba UUt. Google map memberi kami arahan dengan jelas dan tepat. Rumah Maba Uut
seperti surga kecil untuk maha suar dan pieta.  Dipenuhi banyak mainan dan mereka seperti berada di arena bermain.

Cerita reuni berakhir setelah duhur dan kami berganti keluarga menuju Jogja. Kami melewati kota-kota yang sepanjang jalan sibuk. Kami hampir tidak pernah diam sepanjang jalan. Hampir jam 4, dan Jogja menyambut kami dengan cerahnya. 

Jogja

Rumah tante Faj dan Om Felix, berada di di daerah Bantul. Rumah yang luas dengan fasilitas wifi yang super lancar harusnya membuat kami betah di rumah. Tapi, liburan ini singkat dan mesti dibuat padat. Dengan Om Felix dan Tante fajh sebagai penunjuk ajaln dan sekaligus sponsor utama. Planning di Jogja mulai dibuat rapih. Malam tiba, dan kami menuju Alun-alun Utara, yang sedang menggelar Sekaten. Sekaten itu arena bermain buatan. Kami menjumpai Jogja dengan wajah yang macet. Kami mesti berjalan sekitar dua kilo menuju alun-alun karena motor kami tidak bisa bergerak sama sekali. Liburan ini memang didedikasikan untuk dua lelaki kecil ini. mereka menikmati permainan, sebelum kami mengajak mereka menuju Keraton. Keraton sedang dibuka untuk umum. Ada pertunjukan gamelan, dan pameran. Hasrat berfoto terlampiaskan di tempat ini.

Malam pertama berakhir. Pagi datang dengan agenda mandi di Jogja Bay. Sebuah water park yang cantik, bersih, dan megaaaaaah. Hasrat bertemu kolam dan diberi bonus lebih dari 10 wahana air yang menyenangkan, membuat dua anak ini enggan meninggalkan Jogja Bay.  Lelah membuat mereka harus merelakan satu sore untuk tidur dan mengisi energy. Kami, saya dan komrad menuju Shoping untuk belanja buku.

Malam kedua, sesuai rencana, kami menuju Taman Lampion di Monumen Jogja Kembali. Sungguh, saya terpesona. Hamparan cahaya warna-warni membuat mata saya tersegarkan. Saya penasaran, bagaiamana tempat ini terjaga dengan baik dan tetap indah. kami mengakhiri malam dengan kenyang di restoran pizza.  Agenda pagi, menuju Kebun Binatang Gembira Loka. Maha yang sudah ke sini, tetap paling antusias. Bertemu satwa-satwa yang hanya dilihat lewat layar kaca. Karena, hari itu adalah hari terakhir, kami memadatkan agenda. Setelah puas mengelilingi Gembira Loka dengan jalan kaki, kami mengunjungi Libstud bertemu dengan Om Farid, dan berencana langsung menujuTaman Pintar sekalian membeli oleh-oleh di Bringharjo. Tapi, tidak. Sang maha selalu tahu, kapan kami harus berehnti sejenak. Langit Jogja memuntahkan hujan yang curahnya banyak dan lama setelah kami tiba di Libstud. Pertemuan dan perbincangan dengan Om Farid seperti biasa, khidmat dan meninggalkan benih-benih harapan baru. Dan Maha suar harus puas tanpa mengunjungi taman Pintar dan tidak membawa oleh-oleh untuk teman-temannya.

Magrib datang dan mobil membawa kami menuju Bandara. Meninggalkan Jogja selalu menyisakan banyak rencana yang tidak terpenuhi. Kami selalu terburu-buru. Tapi, over all, kami puas dengan yang kami lakukan selama 4 hari 5 malam. Mengunjungi dua kota dan melihat banyak tempat. Dan satu lagi, yang saya banggakan, liburan ini adalah liburan tanpa belanja. Liburan tanpa rengekan yang berarti dari dua anak ini. Liburan yang membuat kami betul-betul mensyukuri apa yang telah kami miliki hingga hari ini. Liburan yang menggiatkan kami untuk terus belajar dan menikmati hidup dengan sederhana. Hal itu membahagiakan.







Ini perjalanan terkeren di sepanjang tahun ini. terima kasih komrad.

Makassar, Desember 2017
ibumahasuar

Komentar

Postingan Populer