jemari perempuan imigran
Saat menonton tutorial craft d you tube, hal pertama yang
saya lihat dan kagumi bukanlah hasil karya atau rupa-rupa cara orang bermain
dengan imajinasinya, melainkan adalah jemari mereka. Hampir semua tayangan yang
saya nikmati menyuguhkan pemandangan jari yang sedap dipandang. Jarinya bulat-bulat,
putih, halus, dengan kuku kuku yang cantik. Ringkasnya, jari-jari mereka membuat
saya selalu cemburu.
Persoalan craft dan jari jemari ini, tiba-tiba kudapati lagi
beberapa waktu lalu. Di awal September kemarin, saya bersepakat dengan salah
satu dosen handal di jurusan Hubungan
Internasional Universitas Bosowa yang sekaligus mantan pegiat himpunan di zaman
kami kuliah, Finahliyah Hasan, untuk terlibat dalam penelitian pengabdian
masyarakat dengan memberdayakan imigran. Saya diminta untuk bertanggung jawab
di kelas recycle untuk perempuan-perempuan usia produktif, baik yang masih
single maupun yang sudah berkeluarga. Ajakan Fina di kali pertama, langsung
saya iyakan. Saya tahu betul, pengalaman ini akan menjadi cerita baru yang
menarik.
Imigran dikota ini menurut penelitiannya Fina sudah melebihi
angka 800 di tahun ini. mereka tersebar di beberapa kecamatan dan hidup
bersama-sama. Keberadaan mereka tentunya mencolok. Saya ingat, saat masih tinggal di daerah Asal
Mula sana, satu pagi saya dikagetkan dengan seorang imigran berusia kisaran 50
tahun, berpakaian lusuh dan kotor, yang tiba-tiba masuk di rumah. Dia berbicara
cepat dengan Bahasa Persia seperti sedang marah pada saya. saya yang sama
sekali tidak mengerti, mencoba tenang dan mengajaknya menggunakan bahasa
inggris. Dia tidak menggubri s dan kata-kata yang keluar dari mulutnya semakin
cepat dan keras. Sekitar 3-5 menit, saya hanya terdiam dengan wajah heran, dan
dia pergi masih dengan berkata-kata. Rasa takut berubah prihatin sesaat setelah
melihat lekaki baya itu pergi. Sejak itu, saya senang melihat dari jauh
kehidupan mereka. Saya membayangkan betapa sulitnya mereka. Hidup dalam
ketidakpastian, meninggalkan rumah mereka.
Dan, ketika kelas tiba. saya membuang semua prasangka. Mempelajari
hal-hal dari cerita-cerita Fina tentang mereka. Untuk urusan membaurkan diri, saya cukup
percaya dengan kemampuan saya. Pagi itu,
kami sudah berada di kawasan Perintis 7, di Bugis 1. Mereka menyebutnya Hotel. Sejak
imigran masuk di Makassar, bisnis kos dan catering menjadi lebih menghasilkan. Ada
sekitar 5 kos-kosan yang dipakai di Perintis 7 oleh mereka. Pagi itu, perempuan-perempuan sudah
berkumpul. Suasana sudah sangat crowded, karena anak-anak juga sedang menunggu
kelas bahasa Indonesia.
Seperti biasa, saya memilih untuk membuka kelas di area yang
terbuka. Awalnya mereka enggan, tapi
saya meyakinkan akan lebih tidak nyaman jika kelasnya sempit dan menggunakan
kursi tanpa meja. Menurut Fina, perempuan-perempuannya lebih susah untuk diajak
berkomunikasi. Bukan hanya karena mereka tidak fasih berbahasa Inggris dan
Indonesia, tapi mereka seolah menutup diri. Diantara anak-anak, laki-laki, dan
perempuan. Kaum perempuan ini memang yang paling menutup diri. Mereka kebanyakan
di rumah dan enggan bersosialisasi, bahkan dengan sesama mereka. Kelas pertama
berjalan seperti kelas-kelas lainnya, sekitar 20 perempuan antusias membuat
Frame dari karton susu. Mereka pulang dengan senang dan saya pulang dengan
banyak “bekal”.
Di kelas pertama itu, saya mendapatkan beberapa hal penting.
Pertama mereka memang tidak saling akrab, kedua dalam membuat karyanya aroma
persaingan begitu kental, ketiga mereka sangat senang dengan ruang belajar yang
diciptakan untuk mereka. Dari situ, di pertemuan kedua saya mulai mengubah
metode. Mereka harus mengerjakannya dengan berkelompok, minimal berpasangan. Ini
lumayan berhasil, suasana belajar mulai cair. Di sela-sela menjelaska, saya
menyisipkan banyak pertanyaan tentang kehidupan pribadi mereka. Khas ibu-ibu. Kami
mulai tertawa satu sama lain, mulai
saling menceritakan kegelisahan dan hal-hal seputar hidup mereka. Dan hingga
kelas ke lima, kami merasa dekat satu sama lain, walau hanya beberapa yang bisa
berkomunikasi langsung dengan saya. Saya berbahasa Inggris campur Indonesia,
mereka tetap dengan bahasa mereka. Kami saling
menimpali, saling tertawa, sesekali mengejek namun kami saling mengerti.
Di tempat kedua pun sama, yang membuat berbeda. Di kelas
kedua, perempuan-perempuannya lebih terdidik, dalam artian hampir semua mereka
dari kalangan menengah ke atas. Pola komunikasi kami pun lebih mudah. Hampir semua
mereka bisa berbahasa Inggris. Namun, saya membutuhkan usaha lebih keras untuk
membangun suasana kelas yang cair. Saya berusaha mengakrabkan diri, mengajak
mereka bercerita, tapi tidak semulus di tempat sebelumnya.
Saya mempelajari banyak hal dari hampir 10 kelas bersama
mereka. Saya mendengar cerita mereka. Sebagian perempuan-perempuan ini bukan
hanya kehilangan rumah, tapi mereka kehilangan harapan-harapan kecil dalam
hidupnya. Semisal, mereka tidak bisa memasak untuk suaminya. Tidak bisa melihat
suaminya bekerja seperti saat mereka di rumah. Mereka harus berbagi kamar dengan
anak-anaknya. di ruangan 3x2 meter. Kehidupan mereka yang ditanggung seluruhnya
oleh pemerintah Australia lewat beberpa NGO, tidak sepenuhnya mudah. kebanyakan mereka beranak pinak di sini. Anak-anaknya
jauh lebih fasih berbahasa Indonesia. Perempuan-perempuan yang masih belia,
merasa kesulitan menjalin hubungan. Pilihannya terbatas. Mereka secara sadar
disisihkan dari ligkungan hidupnya. Mereka dilarang terlalu akrab dengan orang
Indonesia, mereka tidak boleh ke rumah ibadah, dengan ketakutan akan mengganggu
orang-orang Indonesia, bahkan saat hari raya Ied mereka shalat dengan sesama mereka
saja. Gerakan mereka terbatas, mereka sulit mengeksplorasi diri. Apalagi untuk
kaum perempuan. Jika anak-anak dan kaum lelaki lebih banyak menghabiskan waktu
dengan olahraga di pagi dan sore hari, perempuan-perempuannya berdiam di rumah.
Kelas sulap sampah ini membuat mereka bergairah kembali. Menemukan
hal baru untuk membunuh waktu. Sebagian mereka,
menemukan hobi baru, sebagian lagi, menemukan kemampuan baru dalam diri mereka.
Itu hal luar biasa yang bisa saya berikan dalam kelas sulap sampah, boleh jadi,
hal itu adalah prestasi terbesar saya hingga saat ini. Melampaui semangat daur
ulang, semangat untuk melakukan sesuatu, untuk bergairah melihat hidup menurutku
jauh lebih utama. Hampir dua bulan bersama mereka, saya menemukan banyak cerita
di balik jari-jari mereka yang tidak hanya lebih cantik dibanding crafter
crafter di you tube. Jari-jari mereka yang manari dengan antusias memberikan
kebahagiaan besar untuk saya. Dan satu hal lagi, membuat saya lebih bersyukur
akan hidup. Saya mungkin tidak akan sekuat mereka, saat ditimpa hal yang sama.
Terima kasih untuk kelas yang membahagiakan…
Ibumahasuar
4 November 2016
Komentar
Posting Komentar