Ku - Tulus bercerita…..
Don’t judge a book by it’s cover.
But I judge some music from their CD’s cover.
Diberi kesempatan membumikan
Kedai Buku Jenny adalah berkah yang tidak main-main untukku secara pribadi. Ide
KBJ ini mempertemukanku dengan banyak hal baru, mengenalkanku dengan banyak
orang-orang baru yang dari mereka inspirasi, ide dan harapan selalu muncul,
memberiku ruang yang lebih banyak untuk membuka pustaka pribadiku karena
bergelut dengan buku hampir tiap waktu, dan satu lagi, pengetahuan akan musik terbarukan dengan sendirinya. Minimal
lewat curi-curi dengar
pembicaraan-pembicaraan kecil tentang remeh temeh album terbaru, personil band,
genre music, yang ke sini-sini ternyata menarik juga.
Nah, kali ini saya ingin membahas
seorang penyanyi solo yang dua tahun terakhir ini cover CDnya menarik perhatianku. Dan baru dua hari ini
album keduanya kuputar lagi dan lagi sepanjang hari. Kali pertama, melihat
cover album pertamanya yang senada dengan namanya, aku sempat senyum kecut,
sinis. Wajahnya yang lumayan lebar, terpampang sangat besar untuk sebuah cover
CD menurutku. “masih ada juga yang pasang mukanya untuk cover album”. Kataku
berkali-kali saat melihat CDnya. Tapi, semakin kulihat ada yang berbeda.
Wajahnya yang menonjol diantara cover album yang lain menyiratkan sesuatu.
Yah..kesederhanaan dan ketulusan. Seperti namanya TULUS.
Siapa dia? Silahkan buka google.
Banyak fans-fans nya menulis tentang dia. Atau buka blog pribadinya, Palawija.
Dia banyak menulis, berceloteh, dan berkata-kata. Jujur, saya tidak tertarik mendengar satupun
lagunya sampai si Puang Ana mengirimiku via wa suaranya menyanyiakan sebuah
lagu yang liriknya unik dan enak kudengar di kali pertama. Dan aku
menikmatinya, salah satu tanda aku menyukai lagu ini, karena tiba-tiba suara Puang
Ana yang kadang fals itu begitu merdu terdengar. Lagunya sepatu. Berhari-hari,
lagu itu kuputar via wa sampai aku dan maha menghapalnya. Aku senang liriknya,
senang idenya, senang membayangkan imajinasinya menari membayangkan cinta
sepasang sepatu. Maha bahkan sering menyanyikannya. Tapi, aku tidak berminat
mendengar keseluruhan lagunya. Bahkan hingga CDnya menjadi rekor pembelian
terbanyak di kedai, aku tidak pernah tertarik untuk mendengar keseluruhan
lagunya.
Hingga beberapa pagi lalu, ruang
dengarku tersegarkan dengan hentakan music bersemangat dari ruang baca. Telingaku punya cara sendiri menikmati music.
Tidak semua lagu yang kudengar akan diterima baik oleh telingaku. Makanya, aku
punya beberapa cara untuk mengadaptasikan telingaku dengan seleraku. Misalnya,
meneliti penyanyinya. Karya-karyanya, sampai kehidupan pribadinya. Lebih
banyak, saya menyukai lagu karena lirik. Saya bakal tergila-gila dengan
lagu-lagu yang punya kekuatan dalam liriknya, yang bernyanyi tidak hanya
mencla-mencle menjual suaranya. Itu selalu menjadi poin utama. Kenapa aku
tergila-gila pada So7 saat SMP bahkan hingga sekarang, karena liriknya yang
sederhana punya kekuatan sendiri bagiku saat mendengarnya. Belakangan saya
senang dengan lagu-lagu yang liriknya positif, salah satu alasannya untuk
kuperdengarkan pada mahasuar sebelum tidur. Egois rasanya menyanyikannya
lagu-lagu patah asa sebelum mereka tahu bagaimana hidup harus diperjuangkan.
Hahahahaha..
Dan pagi tadi, setelah
berhari-hari mengakrabi musik Tulus di album gajah ini. si Muhammad Tulus ini
membuatku angkat jempol untuk karyanya. Semua lagu dan lirik di album ini
dikerjakan olehnya. Dan lirik-lirik sederhananya sangat kuat. Setiap lagunya
seperti bertutur dan bercerita padamu sebelum tidur. Seperti dongeng yang ingin
terus kau dengar kelanjutannya. Diksinya sederhana dan biasa, karena dipadu
dengan alunan music pop jazz yang pas, menurutku album ini bisa dibilang
berkarakter. Saya belum mendengar album pertamanya,tapi pastinya sama kerennya.
Di album ini, Tulus sangat positif
melihat hidup. Tentunya sepatu menjadi lagu favorit, setelah itu saya suka “Jangan
Cintai Aku Apa Adanya”. Sebelum membaca liriknya baik-baik, aku bertanya-tanya
pada diri sendiri dan pagi tadi pada komrad. Selama ini, kita banyak mendengar
“cintailah aku apa adanya”. Tapi setuju, Tulus bilang dalam lagu itu “tuntutlah
sesuatu..biar kita jalan ke depan. Jangan cintai aku apa adanya.” Sangat tidak
klise. Pesan-pesan positif juga tersirat
dari lagu pertamannya “Baru” yang
bercerita tentang dia yang move on setelah lama menjadi bayang dalam hidup
seseorang. Beberapa pernah begitu, pernah terbelenggu dan pernah membelenggu.
Di lagu kedua “Boomerang” ia menyatakan antipatinya pada seorang perempuan yang
begitu mudah membuat lelaki melayang yang sayangnya adalah dia. Ia marah dengan
lugas. Di lagu “Gajah” ia mensyukuri masa kecilnya yang katanya sering
dipanggil gajah. Walau dulu, ia sangat marah tapi sekarang ia tahu “yang
terburuk, kelak bisa jadi yang terbaik”. Tepat. Masa lalu adalah
langkah-langkah kecil yang kita lalui hingga menjadi hari ini. di lagu Untuk Matahari
juga. Ia lantang menyuruhmu memutuskan hidupmu sendiri. Semua lagunya, mengalir
seperti bertutur padamu, seperti kukatakan sebelumnya. Ia memberitahu banyak
hal, tapi tidak mengguruimu. Seolah bercerita tentang kisah hidupnya yang bisa
saja hampir sama atau bahkan persis dengan kisahmu.
Setelah tulisan ini saya
terbitkan, saya mungkin secara tidak sengaja telah menobatkan diri menjadi
salah satu dari ribuan fans si Bung Tulus. Yaaaah…dia layak.
Selebihnya, silahkan kalian nikmati sendiri. CDnya masih tersedia di Kedai Buku Jenny. Hahahahah. *ujungujungnyapromo
5 Juni 2014
ibumahasuar
Komentar
Posting Komentar