Mari Membangun Dunia Baru (Sedikit Catatan dari HI FEST ’06)


Oleh: Zulkhair Burhan*

Pagi itu (8 Mei 2006) Pelataran Baruga A.P. Pettarani tidak seperti biasanya. Pilar tiang yang berdiri kokoh penyangga pelataran yang empat kali setahun dipenuhi oleh orang tua mahasiswa yang ingin menyaksikan anaknya mengakhiri masa kuliahnya ini pun pagi itu tidak sendiri seperti pagi-pagi sebelumnya. Pelataran yang satu dua kali dipakai untuk diskusi oleh segelintir mahasiswa atau dipakai untuk kegiatan ekstra kokurikuler, pagi itu seperti disulap menjadi sebuah galeri. Di salah satu tiang penyangga terpampang petaka yang bertuliskan “Our World Is Not For Sale”, sementara di tiang yang lain juga terpampang petaka yang bertuliskan “Your Debt Not For Us”. Tidak hanya itu di sebelah timur tangga yang menuju lantai dua juga terpampang spanduk yang bertuliskan “Another World is Possible”, disebelah selatan juga terpampang spanduk yang bertuliskan “Building A New World” dan dibagian tengah sebelah atas terpampang spanduk berukuran 4 meter yang bertuliskan tajuk kegiatan yang digelar Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Fisip Unhas bekerjasama dengan The Institute for Global Justice yaitu HI FEST dengan tema Building A New World. Kegiatan ini berlangsung sejak tanggal 8-11 Mei 2006 ini berisi beberapa item acara seperti diskusi, pementasan seni, serta pameran data-data tentang globalisasi, pameran foto, poster dan juga dimeriahkan dengan beberapa stand buku murah dan jajanan daerah.
Berawal Dari Mimpi
            “Tetaplah bermimpi karena mimpi akan membuatmu tetap exist”, begitu kata seorang kawan di suatu saat ketika kami mulai jenuh melihat kondisi negara ini yang semakin runyam belum lagi kampus yang seharusnya melahirkan ide-ide dan aksi-aksi transformatif juga ikut-ikutan pragmatis. Mungkin kita akan sepakat kalau banyak ide-ide besar lahir diawali dengan mimpi, mimpi untuk menciptakan tatanan yang lebih baik meski dalam perjalanannya tidak selalu mulus namun pada prinsipnya harus selalu ada gerak maju.
            Berawal dari mimpi pula, sebuah komunitas kecil di Himahi Fisip Unhas mencoba menggagas kegiatan HI FEST. Gagasan ini tentunya tidak tiba-tiba muncul begitu saja namun lahir dari berbagai keresahan yang muncul saat menggelar diskusi baik yang formal seperti pada masa-masa pengkaderan mahasiswa baru, saat menerima materi kuliah globalisasi atau pada diskusi-diskusi non formal yang digelar di depan himpunan yang beberapa bulan terakhir memang sering membahas fenomena ketidakadilan global dan sesekali mencoba mencari sebuah alternatif terhadap sistem yang saat ini telah menggurita dan siap menerkam siapa saja yang menentangnya. Mimpi untuk menemukan dunia yang lebih adil dan manusiawi kerap muncul dalam setiap sesi yang dibuat untuk membahas fenomena global saat ini. Mimpi dunia yang lebih baik, adil dan lebih manusiawi tentunya tidak akan pernah terwujud dengan membiarkannya “bersemayam” di kepala namun lebih dari itu ia harus mengejawantah menjadi aksi yang lebih riil.
Media Belajar
            Kemiskinan, kelaparan, perang, buta huruf dan berbagai fenomena ketimpangan sosial yang lainnya telah menjadi tontonan kita sehari-hari yang kita peroleh dari berbagai media baik cetak maupun elektronik dan tidak jarang fenomena-fenomena ketimpangan tersebut justru berada di sekitar kita atau bahkan kita sendiri yang mengalaminya.
            Mengamati fenomena-fenomena ketimpangan tersebut, tidak sedikit dari kita menganggap bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang niscaya dan alamiah adanya. Sementara sedikit dari kita yang tahu bahwa nasib mayoritas umat manusia sedang disetir oleh segelintir orang yang berada di berbagai lembaga supranasional seperti IMF, Bank Dunia dan WTO. Lembaga-lembaga yang “dinakhodai” oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang sebagian besar berada di negara-negara maju seperti AS, Inggris, Kanada inilah yang kemudian dengan berbagai cara berusaha mengibarkan bendera globalisasi neoliberal yang menurut Margareth Tatcher, mantan Perdana Menteri Inggris, sebagai satu-satunya solusi atas persoalan global seperti dalam ungkapannya yang terkenal TINA (There Is No Alternative). Untuk urusan ini, menurut Coen Husain Pontoh dalam bukunya Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori Menuju Gerakan Massa, para aktor globalisasi memaksa sebuah negara bangsa untuk menjalanan tiga tugas sucinya yaitu: freedom of investment (liberalisasi investasi), freedom of capital flows (liberalisasi arus modal), and freedom of trade in all goods and all services including living organism and intellectual property (liberalisasi perdagangan semua barang dan jasa termasuk organisme hayati dan kepemilikan intelektual). Negara-negara yang berkiblat terhadap mainstream globalisasi neoliberal kemudian dengan “lugu”nya menjalankan setiap paketan kebijakan yang pada dasarnya hanya menguntungkan negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan multinasional sementara nasib rakyat miskin semakin terabaikan dan bahkan menjadi komoditi jual.
            Kita semua berhak tahu dan sadar tentang apa yang sedang terjadi di muka bumi ini. Oleh karenanya HI FEST pada dasarnya adalah media kecil untuk mempelajari  sistem dan mekanisme globalisasi yang kemudian membuat dunia ini menjadi tempat yang nyaman bagi mereka yang bermodal dan menjadi tempat yang memprihatinkan bagi mereka yang tak bermodal dan dimiskinkan.
            Selain memamerkan data dan fakta mengenai imbas dari globalisasi serta menggelar diskusi yang pada intinya berusaha menjelaskan bagaimana globalisasi telah menjerat kita di berbagai ranah kehidupan, juga dipamerkan gambar beberapa tokoh yang selama ini resisten terhadap globalisasi. Beberapa gambar selebritis dunia seperti Antonio Banderas, Chris Martin (vokalis Cold Play), Alanis Morisette, juga ditampilkan beserta kutipan pernyataan mereka tentang perdagangan yang tidak adil antara negara-negara maju dengan negara-negara yang sedang berkembang. Mungkin sedikit dari kita yang mengetahui kalau para selebritis ini sering melakukan kampanye perdagangan adil. Selain itu, kami juga menggelar pementasan seni yang sebagian besar mengangkat tema-tema kemanusiaan dan budaya lokal yang selama ini semakin terpinggirkan akibat komersialisasi budaya. Dan tidak kalah menariknya, kami juga membuat stand jajanan daerah sebagai bentuk kampanye untuk mengkanter maraknya makanan cepat saji sekaligus mengangkat kearifan-kearifan lokal yang semakin terlupakan. Sebagai bentuk kampanye terhadap pendidikan murah, disediakan stand toko buku alternatif yang harganya lebih terjangkau.
            Kalau teman-teman pernah mendengar WSF (World Social Forum) yang diadakan sekali dalam dua tahun, sebuah forum yang mempertemukan berbagai kelompok maupun individu dari berbagai spektrum ideologi yang terus mengkritisi globalisasi beserta variannya serta terus berupaya mencari alternatif  atas sistem yang timpang ini, maka kira-kira seperti itulah mimpi kami dari kegiatan ini. Mimpi ini seharusnya menjadi milik kita semua yang selama ini sering “merekatkan” predikat transformator sosial dalam diri kita. Kedepan, mestinya kegiatan ini bisa melibatkan lebih banyak kelompok maupun individu dari berbagai spektrum ideologi sehingga diskusi yang digelar bisa lebih konstruktif dan transformatif dan pada akhirnya dapat melahirkan ide-ide alternatif yang lebih bervariasi.
            Di salah satu kain yang diletakkan di depan arena HI FEST yang berisi kesan dan pesan para pengunjung tertera tulisan yang membuat saya tersenyum dan segera ingin melanjutkan mimpi membangun dunia baru. Begini tulisannya: “anda pernah dengar atau membaca tentang Revolusi Prancis 1968? Saat itu puluhan ribu buruh bersama mahasiswa mengepung kampus Sorbonne menuntut digulingkannya Presiden De Gaulle yang tidak berpihak ke rakyat. Saya berharap kegiatan ini bisa menjadikan Unhas menjadi Sorbonne baru yang mahasiswanya peduli dengan penderitaan rakyat.”

* Penulis adalah Alumni Mahasiswa Hubungan Internasional Unhas Angk. 2000
             

Komentar

Postingan Populer