Akhirnya Menyambangi Ngayogjazz

Beberapa hari lalu, postingan tentang Ngayogjazz lewat di lini masa instagramku. Setelah tau kalau event ini gratis dan diadakan pada hari libur, sulit untuk tak tergoda menyambanginya. Satu-satunya yang saya pikirkan adalah menuju venue. Ngayogjazz tahun ini diadakan di Imogiri Bantul. Lumayan jauh dari Kaliurang. Kalau tak mengajak orang yang tau jalan, berarti saya akan sangat bergantung sama instruksi google map. Untungnya, Sabtu siang kemarin, adik saya bilang kalau dia juga mau kesana membawa anaknya jalan-jalan. Kami lalu bersepakat menuju Imogiri pukul 3 setelah Ashar. 

Kami meninggalkan rumah pukul 3 sore lewat sedikit. Melalui jalur ring road selatan menuju Imogiri. Dengan kecepatan sangat ala kadarnya, kami tiba di venue menjelang pukul 5 sore. Setelah parkir motor di mulut sebuah gang yang berdampingan dengan sebuah institusi Muhammadiyah, kami langsung menuju venue. Dari tempat parkir kami berjalan sekitar 50-an meter dan memasuki jalan desa yang dijadikan venue. 

Beberapa meter setelah masuk, di sebelah kiri ternyata disediakan area parkir motor yang cukup luas. Lalu di sepanjang jalan banyak spanduk penjelasan tentang area dan penampil Ngayogjazz 2025. Setelah beberapa meter dari area spanduk hingga ke menuju area panggung pertama yang terlihat adalah jejeran jualan makanan dan minuman yang beragam dan dipadati pengunjung. Meski kamu lagi dalam program diet ketat, saya kira sulit untuk tidak tergoda saat berada disini. Bayangkan, di sepanjang jalan dari satu stage ke stage berikutnya, jualan makanan ada di kiri dan kanan jalan.

Tahun ini ada empat panggung yang tersebar di area desa. Nama panggungnya menggunakan panggilan untuk ibu dalam bahasa Jawa. Ada Panggung Ibu, Simbok, Biyung dan Simak. Penggunaan nama ini sesuai dengan tagline tahun ini yaitu “jazz Diundang Mbokmu.” Menurut penyelenggara, tagline ini bisa ditafsirkan sebagai panggilan untuk pulang ke “rumah” atau sekadar nyanyian dan tawa ringan di sela obrolan.

Panggung pertama yang kami sambangi kalau tak salah adalah Panggung Ibu. Dari arah jalan masuk, panggung ini yang pertama kami temui. Di panggung sedang tampil sebuah band Jazz yang namanya sayang tidak saya ingat. Saat itu band ini sudah di penghujung penampilan. Sebelum lagu terakhir, sang vokalis mengumumkan jika panggung ini jadi kali pertama mereka menggunakan nama band yang baru. Area depan panggung yang pertama ini agak becek jadi tak ada yang terlihat duduk lesehan.

Nah situasi berbeda terlihat di panggung kedua yang kami sambangi yaitu Panggung Biyung. Setelah memasuki gerbang, yang tampak seperti sebuah area yang lebih intim. Di panggung ada sebuah band yang lagi perform dan membawakan lagu yang enak didengar. Sayang sampai band ini selesai perform dan break shalat Magrib, saya tak tau apa nama bandnya. Di depan panggung, banyak penonton yang duduk lesehan diatas tanah berumput. beberapa juga menggunakan alas yang bisa dibeli dari warga yang menjualnya. 

Tepat di bagian belakang area penonton terdapat bangunan serupa pendopo yang cukup besar. Di area depan pendopo itu, ada dua anak muda dengan style sangat penonton konser sedang membatik, juga ada yang menjual batik dan lukisan. Di sekeliling pendopo juga ada jajanan makanan dan minuman serta ada booth Demajors. Setelah membeli makanan dan minuman, kami menikmatinya sambil lesehan di area berumput depan jejeran penjual makanan bersama para pengunjung lainnya. Sore kemarin itu, saya mencoba beberapa menu seperti mie lethek dan bajigur. Oh iya, penjual makanan dan minuman ini jangan bayangkan pakai booth seperti di konser-konser pada umumnya. Karena mayoritas warga desa, mereka tampil apa adanya seperti sehari-hari mereka dagang. Makanya banyak angkringan dan lesehannya juga terlihat. Kesan saya, meski event ini dipadati pengunjung, tapi kesan santai dan rekreatifnya masih sangat terasa.

Setelah break Magrib, saya meninggalkan Aksa dan Ibunya yang masih menikmati makanan dan minuman dan menuju ke area depan panggung. Masih di Panggung Biyung. Di atas panggung ada duo host kocak yang sering mengisi panggung-panggung musik zaman S2 dulu. Mereka lalu mempersilahkan Jumat Gombrong ke atas panggung dan menjadi penampil selanjutnya. Awalnya nama ini merupakan event yang tumbuh di masa pandemi kemudian tumbuh menjadi komunitas, gerakan dan super group hip hop berbasis di Jogja. Mereka membawakan nomor-nomor yang beberapa menggunakan lirik berbahasa Jawa. Grup ini dihuni oleh para personil lintas generasi yang masing-masing memiliki album masing-masing. Kehadiran grup atau band lintas genre di Ngayogjazz selalu menjadi warna lain dan menjadi ruang bertemu dan membuka kemungkinan kolaborasi yang lain. Setauku FSTVLST juga pernah menjadi line up di gelaran ini beberapa tahun lalu.

Setelah Jumat Gombrang mengakhiri penampilannya dengan sangat bersemangat, saya lalu menuju area jalan keluar menjumpai Aksa dan Ibunya yang sedang menikmati kudapan yang baru saja dibeli. Kami lalu memutuskan untuk pulang, Meski tak bisa menikmati keseluruhan event, tapi saya sangat bergembira akhirnya bisa menyambagi event jazz merakyat ini.

Zulkhair Burhan

Klidon, Minggu 16 November 2025

Komentar

Postingan Populer