Ini adalah Tanah Indah Untuk Para Terabaikan, Rusak dan Tinggalkan!
![]() |
Diunduh dari akun FB Tru Li Cious |
13 yang kutunggu akhirnya menyapa manis, tak ada
kesan gelap sama sekali. Meski ia jatuh tepat di hari jum’at dan kemudian diidentikkan
oleh beberapa orang dengan suramnya Friday The 13th. Bayangan akan
perayaan kebahagiaan dan kesetaraan yang selalu sederhana membuatku tak sabar
menjumpai hari ini. Dan pasti ku tak sendiri menunggu hari ini!
Hari itu ku diaduk rasa!
Setelah menunggu agak lama,
duo host super kocak malam itu memanggil mereka, FSTVLST. Ratusan orang yang
semula menunggu agak jauh sambil duduk di kiri kanan dan depan stage mulai merapat. Begitu cepat,
berusaha mendapatkan posisi yang paling nyaman untuk perayaan yang akhirnya
datang lebih cepat malam itu. Serupa deretan manusia di Ibu Kota yang hendak
memperebutkan beberapa sentimeter ruang di dalam busway untuk hanya sekedar
berdiri hingga tujuan. Tak terkecuali saya dan teman karibku.
Tapi tak seperti malam
biasanya, saya dan teman karibku memilih berdiri agak dibelakang dan tak begitu
berniat merapat dengan yang lain untuk perayaan yang selalu hingar namun setara
itu. Kali ini kami ngin menikmati setiap detiknya dengan lebih khidmat. Ah,
entah mengapa malam itu tiba-tiba kumerasakan suasana yang lain. Ada raup duka
menyelip sempit entah dari mana, meski medley Manifesto Postmodernisme, Menangisi Akhir Pekan, Maha Oke, dan Look
With Whom I’m Talking To menghantam telak dan disambut gempita oleh para
Festivalist.
Kuberusaha menepis rasa yang
terus berkelebat ditengah indahnya perayaan malam itu. Kupikir ini efek biasa dari
rasa rindu yang akhirnya terjawab. Kuikut bernyanyi dan sesekali berlompatan
ria. Saya dan para Festivalist begitu bergembira.
Tapi rasa itu tak betul-betul
hilang.
Hujan Mata Pisau mengalun dan perasaan itu kembali menyerang dan
saat Mati Muda menjadi serupa taburan
doa untuk Cokro yang lebih “memilih nasib terbaik,” saya tak bisa lagi ikut
bernyanyi. Tiba-tiba sesuatu menyerangku tiba-tiba. Cuih, saya menangis! Ah, tangisan yang indah.
Kutebarkan pandangan keseluruh
sudut dan kuyakin Cokro sedang bersama dan ikut merayakan kebahagiaan yang
selalu seperti sedia kala. Setara dan sederhana. Sembari doa kuhaturkan khusus
untuknya, tetaplah tersenyum teman!
Malam itu, betul kudiaduk
rasa. Bulan, Setan atau Malaikat, Tanah Indah untuk Para Terabaikan, Rusak dan
Tinggalkan lalu menyempurnakannya. Untuk yang terakhir ini, kumenangkap kesedihan
tapi ku tak berani menyimpulkan. Semoga tidak. Tapi lantunanya begitu indah,
pilihan kata yang mewakili makna yang
dalam kuyakin membuat siapa pun di perayaan malam itu tersentuh. Dan tak sabar
menunggu rilisan utuhnya. Dan apalagi, lagu itu berkali-kali terulang malam
itu.
Mencoba menebak, mungkin dari
sini duka itu menelusup malu namun menyayat. Ah, semoga tebakanku salah, dugaku
malam itu!
Dan hari terakhir peradaban
menyentak, menyerang siapa saja yang masih memuja ambisi dan alpa akan syukur.
Dan semuanya diakhiri dengan peluh dan senyum. Seperti biasa. Dan tentu kami
belajar dan mengingatkan. Belajar dan mengingatkan bahwa kegembiraan sedianya
tetap menjadi kegembiraan tanpa basa basi. Jangan membiarkan kegembiraan dan
perayaaannya terbatasi oleh apapun yang mewujud seperti barikade. Barikade yang
seringkali berbentuk puja puji berlebihan (khususnya kepada ben-benan FSTVLST
itu) dan lupa bahwa suguhan lagu tidak akan berarti apa-apa meski ia telah tiba
di nada akhir jika tak ada belajar disana. Barikade itu juga kadang memiliki
segi, termasuk bendera yang diusung tinggi-tinggi. Tak salah. Ekspresi memang
kadang melampaui apa yang kita pikirkan. Dan cinta sering seperti itu. Tapi
apakah kita rela membatasi dan mengurangi kebahagiaan yang akan kita raih hanya
karena merasa ada yang menjadi idola dan selebihnya menjadi pengidola. Ada yang
menjadi seolah raja dan selebihnya adalah penghamba. Dimana kebahagiaan berada
dengan hubungan seperti itu. Relakah kita mendapati angkringan Pak Tegho yang
tak ramah lagi, karena Sang Idola lebih memilih “duduk” diatas kursi dan yang
lain berderet menunggu pose bersama dan tanda tangan di punggung? Ah, tak
berani membayangkannya.
Dan bukankah sejak lama kita
berikrar untuk merayakan kebahagiaan, kesederhanaan, kesetaraan itu semua di
panggung, rendah, luas, terang tanpa barikade? Ya, Tanpa Barikade!
Meski ku diaduk rasa, tapi
saya berbahagia. Kami semua bahagia.
Selamat Datang di Tanah Indah
Untuk Para Terabaikan, Rusak dan Tinggalkan!
Jogja, 15 April 2012
Tetap kuat saudaraku, selalu ada
skenario indah setelah ini!
Komentar
Posting Komentar