Masa Depan Sampah


Permasalahan sampah menjadi salah satu masalah yang dihadapi hampir seluruh masyarakat dunia apalagi kaum urban. Kita kaum manusia memproduksi limbah setiap waktu dan sayangnya tidak hirau akan hal itu.     

Menurut data yang dilansir di jurnal Lingkungan Hidup September 2016, kota-kota di dunia menghasilkan sampah hingga 1,3 milliar ton setiap tahun. Menurut perkiraan Bank Dunia jumlah ini akan bertambah hingga 2,2 milliar ton pada tahun 2025[1]. Angka ini adalah hasil kalkulkasi atas konsumsi global yang meningkat secara signifikan setiap tahun. Yang paling mencengangkan adalah setidaknya lebih dari 50% sampah itu adalah plastik. Jenis sampai yang setidakknya membutuhkan puluhan tahun untuk terurai. Mirisnya, semakin terurai, kandungan plastik menjadi semakin berbahaya.

Di Indonesia sendiri, menurut INDONESIA Solid Waste Association, produksi sampah plastiknya mencapai 5,4 juta ton per tahun, yang 13% nya, sekitar 6.000 ton adalah plastic. Jumlah ini diluar dari sampah yang mencemari lautan Indinesia. Diperkirakan sebanyak 46 ribu sampah plastic mengapung di setiap mil persegi samudera. Angka ini menjadi factor utama pencemaran laut di Indonesia yang 75% persen berkategori Sangat Tercemar, 20% Tercemar, 5% Tercemar Ringan[2]. Dan kabar buruknya, sebagian besar sampah itu adalah sampah rumah tangga di perkotaan dan pemukiman. Diperparah dengan pola hidup yang tidak ramah lingkungan. Akhirnya, tanpa disadari, masing-masing kita sedang memberi sumbangsih sekecil-kecilnya terhadap semesta sampah disekitar kita. Tidak terkecuali saya.

Sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak lekaki waktu luang saya tentu tidak banyak. Namun jika berkesempatan, saya menghabiskan waktu luang dengan menonton, kebanyaan drama Korea. Ada pola hidup yang menarik yang selalu ditampilkan di drama-drama Korea apapun genre dramanya. Salah satunya adalah tentang sampah.

Di semua drama Korea yang saya tonton, adegan pemilahan sampah dengan detil selalu diangkat. Bagaimana orang-orang di sana membuang sampahnya di tempat yang sesuai kategori. Organic, non organic dan plastik. Setelah saya cari tahu, kebijakan pembuangan sampah di Korea cukup ketat. Setiap rumah tangga diwajibkan memilah sampahnya dan memasukkannya ke tempat yang tepat. Kantong sampah dijual satu paket bertuliskan daerah tempat tinggal agar pihak yang mengurusi sampah tahu asal sampah mereka. jika tidak dilakukan sesuai aturan, sampah tidak akan diangkut.

Upaya ini sejak beberapa tahun lalu juga sebenarnya telah coba diimplemnetasikan di negara kita. Namun sayang, tidak berjalan sesuai harapan. Di Makassar ceritanya pun tidak jauh berbeda. Program LiSA (Lihat Sampah Ambil) yang pilot projectnya dilkasanakan di sekolah pun hanya sebatas program semata. Tidak bisa menjangkau kesadaran anak-anak untuk membuang sampah sesuai dengan jenis sampah. Jangankan hal itu, membuang sampah saja masih sembarangan. Tempat sampah yang disediakan dinas terkait, tidak butuh waktu lama, satu persatu rusak dan hilang.

Jika ada sekolah yang berhasil menjalankan program “membuang sampah sesuai jenisnya” ini, menurut saya pun sama saja sia-sia. Mobil pengangkut sampah yang ada, serta merta mengangkat sampah tersebut di mobil sampah dan sekonyong-konyong mencampurbaurkan semua jenis sampah. Artinya, program ini memang tidak siap dilaksanakan. Toh pada akhirnya sampah yang sudah dipisah-pisahkan akan bercampur lagi di pembuangan akhir. Kembali ke nol bukan?

Menurut saya, penting kiranya mengedukasi masayarakat tentang masalah sampah ini dan mengajak mereka untuk sama-sama berpartisipasi. Dan rumah adalah tempat yang tepat dimana cikal bakal pengetahuan itu mestinya bergulir dengan baik. Karena sekali lagi, bahwa produsen sampah terbesar adalah berasal dari rumah.

Menyadari pentingnya hal itu, sejak berumah tangga dan tinggal bersama anak dan suami, persoalan sampah ini betul-betul saya pikirkan. Setiap hari, kami sekeluarga memproduksi limbah  sekitar dua kantong kresek ukuran sedang. Kebanyakan adalah kemasan makanan dan minuman yang umumnya berbahan plastik, selanjutnya adalah sampah sisa makanan, dan sampah non organic. Saya berkomitmen mengurangi sampah dengan menekan pola hidup konsumtif dan bijak berplastik.

Jika tak bisa dihindari, plastik dan sampah organic seperti kertas dan karton, sedapat mungkin saya daur ulang. Komitmen ini membuat anak-anak saya sejak dini memahami bahwa sampah bisa disulap menjadi bentuk berbeda dengan sedikit kreativitas. Anak-anak pun tanpa komando melibatkan diri dalam proses ini. Mereka menikmati aktivitas daur ulang dan seringkali mengajak beberapa temannya untuk bergabung. Waktu yang kami habiskan mendaur ulang sedapat mungkin saya isi dengan membicarakan sumber-sumber sampah yang sedang kami olah. Sambil mengasah kreativitas, anak-anak perlahan tahu perihal sampah dan upaya yang bisa mereka lakukan untuk ligkungan sekitarnya.

Saya membayangkan, jika setiap rumah menggalakkan aktivitas ini sebagai aktivitas bersama keluarga. Tentunya bukan hanya mengurangi produksi sampah rumah tangga namun juga menumbuhkan kesadaran anak-anak sejak dini bahwa persoalan sampah adalah tanggung jawab setiap orang. Kita tentu tidak perlu repot berteriak menggalakkan aturan “buang sampah pada tempatnya”, karena dengan tidak disadari hal itu menjadi kebiasaan dalam keseharian anak.

Pemerintah hanya akan mengambil alih pada proses berikutnya. Yaitu pengangkutan sampah ke tempat pembuangan akhir yang sekali lagi, harus terpisah. Contohnya  masih dari Korea Selatan, tempat pembuangan akhir mereka terbagi sesuai jenis sampah. Jauh lebih mudah dari Jepang, yang mengelompokkan sampahnya menjadi 10 jenis dan dilakukan dari rumah. Jika hal tersebut bisa diadopsi di Indonesia maka produksi sampah kita yang biasanya berbentuk piramida akan terbalik. Karena proses besar dan penting telah diselesaikan di rumah. Yaitu pemilahan dan daur ulang sampah.

Bukan pekerjaan mudah, tapi bisa. Beberapa desa percontohana bebas sampah telah melakukannya dan berhasil, salah satunya di Dusun Sukuanan, Desa Banyuraden, Kecamatan gamping, Kabupaten Sleman, Jogjakarta. Mereka merintis desanya menjadi salah satu wilayah ecotourisme yang didatangi banyak pemerhati lingkungan atau wisatawan krna kegigihan dan komitmen mereka terhadap urusan sampah ini. Mereka mengolah sampahnya menjadi uang, menjadi pupuk,menjadi penghasilan utama mereka sejak tahun 2003, dan dikerjakan oleh setiap rumah tangga di sana.    

Lingkungan yang bersih tentu menjadi syarat utama yang harus dikerjakan demi melihat anak-anak kita tumbuh sehat. Dan orang  dewasa, orang tua harus ikut ambil bagian dalam proses itu. Penting bagi setiap orang menyadari bahwa sampah yang kita buang hari ini apalagi dengan sembarangan akan menghancurkan bumi yang akan dihidupi anak-anak dan cucu kita kelak. Merekalah pemilik masa depan, dan kita tidak seharusnya mewarisakan sampah pada mereka.

Jika tidak di daur ulang hari ini, sampah  tetap menjadi sampah di masa depan. Bahkan jauh lebih berbahaya. Karenanya, kenapa harus menunggu lama untuk memperbaikinya. Mengurus sampah kita sendiri, adalah bentuk tanggung jawab paling nyata terhadap masa depan bumi yang semoga berumur panjang. Dan langkah yang paling sederhana adalah mengolah sampah kita sendiri dari rumah bersama anak-anak kita.

Agustus 2018



[1] https://lingkunganhidup.co/sampah-plastik-indonesia-dan-dunia//
[2] National Geographic 06.208 Edisi Bumi atau Plastik

Komentar

Postingan Populer