Maryam
Saya suka, karena Okky Madasari menulis tanpa hati-hati.
Cerita ini tentang perjalanan hidup seorang Maryam. Seorang
gadis Ahmadi yang menemui konflik dalam dirinya, menghadapi pertikaian antara
iman dan cintanya. Menelan pahitnya ditinggalkan dan meninggalkan, menjejali
kepasrahan dalam pilihan-pilihannya, yang memelihara pedih dan tumbuh menjadi
kemarahan-kemarahan.
Kisah seperti ini, sudah sering diangkat dalam cerita
novel-novel Indonesia. Menyingkap kekuatan perempuan dari musibah demi musibah
yang dihadapi dalam hidupnya. Novel sebelumnya yang saya baca, juga demikian.
Serupa sebenarnya, namun sama sekali berbeda.
Cerita Maryam, menggunakan latar sekitar tahun 2000-an awal,
di daerah Timur, Lombok. Saat banyak orang di bangsa ini, yang sedang lena
dalam perdebatan dan sedang asyik-asyiknya menunjukkan kekuatan dengan parang. Tahun-tahun
dimana kebanyakan para ulama menjadi garang dengan saling menyesatkan satu
agama dengan agama lainnya. Kisah tentang Ahmadiyah, adalah kisah yang memang
patut diceritakan, tentang bagaimana orang-orang tanpa peri mengusir saudaranya
sendiri dari kampung halamannya. Kisah tentang
batu-batu yang memproduksi darah, kisah tentang api-api yang melahap habis
rumah-rumah.
Latar belakang itu, yang diangkat Okky dalam novelnya. Okky sejak
awal memutuskan tidak berhat-hati, tidak menyamarkan nama kelopmpok, dan gamblang
mengulik kekerasan yang nyata dirasakan oleh kaum-kaum Ahmadi saat itu. Menurutku,
dia melalui proses penelitian panjang, berkunjung ke daerah Lombok, dimana
golongan Ahmadiyah berkembang, dan beranak pinak. Karena penggambaran tentang
Lombok di novel ini sangat detil dan terjangkau dalam imajinasi, sangat
membantu bagi saya yang hanya mendengar keindahan Lombok dari cerita banyak
teman yang tinggal atau berkunjung ke sana. Deskripsi kehidupan ekonomi sosial
pun disentuh, bukan hanya sekedar tempelan.
Maryam, dijadikan sebagai tokoh utama, dikisahkan sebagai
perempuan cantik, berpendidikan, taat,
dan yakin dengan apa yang telah mereka pilih sebagai jalan spiritual. Kegagalannya
dalam kisah cinta pertama dengan sesame Ahmadi, membuatnya berikrar untuk tidak
akan gagal lagi dalam kisah cinta. Hingga ia dipertemukan dengan lelaki yang bukan
Ahmadi dan saling jatuh cinta. Ikrarnya yang kuat, mengokohkannya untuk rela
meninggalkan keluarga, dan keyakinanannya. Namun, tidak semulus itu ternyata. Cinta
Alan, suaminya, ternyata tidak mampu menampung masa lalu seorang perempuan
Ahmadi bahkan untuk berdamai dengan mertuanya sendiri.
Lalu, kepedihan membawanya pulang. Namun yang ia temui
adalah kepedihan-kepedihan selanjutnya yang dialami bapak, ibu dan adiknya
tanpanya. Pengusiran dari kampung dan rumahnya. bapak dan ibunya sekarang tinggal bersama
Ahmadi lainnya di satu kompleks, yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari
kampung halamannya. Ia disambut bahagia, masa lalu tidak lagi dipermasalahkan
ayah dan ibunya. Ia telah pulang berkumpul kembali dengan keluarga yang telah
ia tinggalkan. Cerita bahagia dimulai, tentang ia dijodohkan dengan seorang
laki-laki Ahmadi, lalu dengan proses
yang cepat menjadi istri dan calon ibu. Namun, cerita bahagia mesti berakhir di
situ. Pengusiran yang kedua kalinya kembali terjadi, dan bahkan di depan
matanya sendiri. Ia menyaksikan orang-orang dengan beringas seperti
menghalalkan darah mereka. Mereka diusir, rumah mereka dibakar habis,
barang-barang berharga mereka dijarah. Dan mereka harus mengungsi di sebuah gedung.
Yang akhirnya, menjadi tempat tinggal mereka bertahun-tahun. Hampir dua ratus
orang, dengan 1 dapur umum, dan 1 WC umum. Masing-masing keluarga dibatasi
dengan sekat-sekat. awalnya menggunakan kain-kain, lalu semakin lama, semakin variatif.
Dan Maryam, masih dengan marah, dengan pedih, memutuskan untuk berjuang, tidak berhenti
berjuang. Bersama suaminya, bersama kaum muda Ahmadiyah, mengabarkan masalah
ini pada wartawan yang silih datang berganti, pada pemegang kuasa, pada
orang-orang berpengaruh. Namun mereka selalu dibawa pada simpang pilihan “ jika
ingin pulang, mereka harus bertaubat”
Membaca novel ini, harusnya membuka mata tiap orang, bahwa
apa yang terjadi pada jemaah Ahmadiyah, di Lombok ataupun di tempat lain di
negara ini, adalah tindakan pelanggaran atas hak hidup mereka, mereka hidup
dalam ketakutan, mereka terusir dari tanah mereka sendiri. Atas nama agama,
atas nama Tuhan, dan negara bahkan
tiidak bisa mengembalikan kehidupan mereka. Hingga hari ini, jemaah Ahmadiyah masih
hidup di Gedung Transito di kota Mataram, mereka tidak punya kuasa untuk
kembali hidup layak.
12 Agustus 2016
ibumhasuar
Komentar
Posting Komentar