Menebus Rasa Takut di Tanah Yang Kehilangan Manusia
Akhir minggu kemarin, di
halaman masjid RRI Makassar saya membuat sebuah pengakuan yang disaksikan
langsung oleh kedua bocah jagoan kecilku. Saat itu kami baru saja selesai
melaksanakan shalat magrib dan sedang menunggu ibunya yang masih sedang shalat.
“Sampai setua ini, bapak itu
masih selalu takut kalau mau tampil di depan orang banyak”, saya memulai membuka
pengakuan.
“Terus pak”, timpal maha yang
lebih serius menyimak ketimbang Suar yang lebih memilih duduk manis di
pangkuanku sambil terus ngoceh
menanyakan ibunya.
“Biasanya kalau seperti itu
saya langsung mau boker (baca:buang
air)”, lanjut saya sambil tertawa lebar.
Tak lama berselang, maha juga
membuat pengakuan yang akhirnya sejak lama terucap juga dari mulutnya.
“Saya juga begitu, Pak. Setiap
mau tampil depan orang langsung takut”, dengan yakin maha membuka pengakuannya.
“Kalau lagi takut begitu, apa
yang maha pikirkan”, saya berusaha terus mengulik apa yang maha rasakan hingga
akhirnya ia selalu enggan diminta tampil atau beraktivitas apa saja dihadapan
banyak orang.
“Kalau lagi begitu, saya
biasanya langsung nda’ mau tampil atau berdoa mudah-mudahan acaranya batal”
ungkap maha jujur dengan raut wajah meyakinkan.
Saya langsung tertawa
terbahak-bahak setelah memberi wejangan khas orang tua bahwa setiap tantangan
itu harus dihadapi dan jangan sekali-kali berpikir untuk lari menghindarinya.
Setelah maha mengangguk pertanda setuju, dan melihat ibunya sudah keluar dari
masjid, kami lalu segera bangkit dan hendak beranjak ke gedung depan RRI untuk
tampil di depan orang banyak. Tapi belum berapa langkah, kami dicegat oleh
seorang Ibu yang datang menghampiri maha hanya untuk sekedar memuji gerakan
shalat maha khususnya saat sujud duduk tasyahud. Kata ibu itu, maha menekukkan
ujung kakinya dengan tepat dan tak banyak anak seusia maha yang melakukan itu
saat shalat. Si ibu berlalu dan saya hanya tersenyum memandangi maha yang
girang setelah mendapat pujian. Aha, saya melihat wajah sendiri saat maha
tersenyum bangga…hahahaha…..
Malam itu, setelah pengakuan
jujur dari saya dan maha, bersama ibunya kami (kembali) bereksperimentasi
membuat media kebahagiaan yang sederhana. Saya dan ibunya maha mengajak maha
ikut serta menampilkan sebuah naskah teater berjudul Tanah Kehilangan Manusia yang
mana penulisan naskah dan penyutradaraannya dilakukan sendiri oleh maestro teater
kebanggaan kami, Harnita Rahman a.k.a
Ibu Nita.
Soal keikutsertaan maha dalam
project teater rumahan milik Kedai Buku Jenny yang kami namai Teater KetjiL
(kami memilih ejaan lama untuk menulis “kecil” karena baru ingat kalau nama
teater kecil sudah dipakai di Taman Ismail Marzuki kalau tak salah) ini bermula
beberapa bulan lalu sesaat setelah saya dan ibunya menampilkan naskah teater di
pembukaan acara 11 Tahun mengenang kematian Munir yang dihelat oleh Kedai Buku
Jenny bersama BEM FISIP Unhas. Sesaat setelah penampilan itu, maha meminta
untuk diikutsertakan dalam project teater sederhana kami berikutnya. Tak lama
gayung bersambut, BEM FISIP Unhas kembali mengajak Teater KetjiL untuk tampil
di acara Rekam Aksi Tolak Reklamasi yang digelar di halaman Gedung Kesenian Societeit
De Harmonie Makassar. Sebuah acara yang dihelat BEM FISIP Unhas bersama Walhi
untuk menyatakan penolakan terhadap proyek ambisius reklamasi Pantai Losari. Dan
untuk penampilan itu, kami bertiga baru mulai berlatih dan menghafalkan naskah
dua hari sebelum hari H. Maha begitu antusias selama masa latihan bahkan Suar
pun tak ketinggalan ikut berpartisipasi. Untuk kali pertama ini, maha masih
diberi sedikit jatah adegan karena waktu latihan yang tak berdurasi lama.
Mungkin di project berikutnya.
Setelah penampilan Half, projekan
baru gitaris personil Wild Horse yang berduet dengan seorang drummer, MC
mengumumkan giliran kami untuk tampil. Babak-babak kekhawatiran pun dimulai.
Apa gerangan yang akan terjadi. Di kepala, terbayang peristiwa puluhan tahun
lalu saat saya lari kabur meninggalkan dokter gigi yang telah siap dengan
suntiknya. Jangan sampai di tengah adegan maha tiba-tiba kabur atau ia
tiba-tiba lupa apa yang harus dilakukan dan menangis. Bermacam-macam
kekhawatiran menyelimuti kepalaku. Tapi segera saya tepis dan memastikan maha
akan tampil maksimal.
Saya dan maha mengambil
posisi. Ia di sudut kiri panggung dan saya di tengah panggung. Kami berdua
berposisi duduk. Tak lama ibunya memulai pertunjukan dengan membacakan beberapa
bait naskah pembuka sambil diiringi Om Ale yang memainkan lagu Rayuan Pulau
Kelapa. Sesuai naskah, setelah ibunya, maha lalu menyambut “umpan” ibunya
dengan menyanyikan reff lagu Rayuan Pulau Kelapa:
Melambai lambai
Nyiur di pantai
Berbisik bisik
Raja Kelana
Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah Airku
Indonesia
Sambil duduk, saya berusaha konsentrasi
membangun aura tapi saya juga harus memastikan maha memulai sesi adegannya di
waktu yang tepat. Jadi sambil bertopang dagu, saya segera membisikkan ke maha
untuk mengambil mic didepannya untuk memulai menyanyikan reff lagu Rayuan Pulau
Kelapa, awalnya ia salah lirik tapi segera ia perbaiki dan setelah itu semuanya
berjalan lancar jaya aman sentausa Indonesia merdeka….hahaha…
Seperti yang kami estimasi
sebelumnya, pertunjukan kami menghabiskan waktu belasan menit. Para penonton
yang malam itu begitu mendukung pementasan kami dengan tidak mempertontonkan
kebodohan-kebodohan tak penting seperti banyak terjadi di pementasan teater
luar ruangan, memberi apresiasi luar biasa khususnya buat maha tentunya yang
memainkan perannya dengan sangat baik. Kecuali diawal, maha sama sekali tak
terlihat kagok atau malu-malu apalagi takut, ia menghayati perannya dengan
baik. Dan kami begitu berbangga malam itu.
………………………..
Saya adalah tipe orang yang
selalu bermasalah jika harus tampil di depan umum. Dan itu sudah saya rasakan
sejak masih belia hingga kini saat usia saya telah melewati seperempat abad.
Dan penyakit itu sepertinya menurun ke maha, anak pertama saya. Sejak TK maha
tak begitu senang jika diminta menampilkan sesuatu di depan umum, seperti menggambar
misalnya. Padahal ia cukup berbakat di bidang itu.
Iya, kami berdua mengidap “penyakit”
yang sama. Penyakit yang tidak diidap oleh ibunya dan (sepertinya) Suar. Tapi
kami berdua juga memiliki perbedaan terkait “penyakit” itu. Saya begitu lama
menjalani masa penyembuhan sedangkan maha segera mendiagnosa “penyakit” nya dan
ia juga memulai masa healing sedari
dini. Dan mudah-mudahan berhasil.
Selamat jagoan kecilku !
Wesabbe, 11 Desember 2015
Saat demam mulai menyapa
keren kak (y)
BalasHapus