Musik di Makassar dan Agenda Pendokumentasian

Sejarah skena musik Makassar adalah rentetan cerita dan pengalaman yang datang dari ruang-ruang mikro yang melibatkan banyak orang. Di era 90an, cerita tentang musik populer di Makassar datang dari ruang-ruang sempit studio musik yang hanya bermodal kipas angin. Tidak hanya tentang aktivitas latihan dan menjejal skill bermusik hingga setara dewa. Tapi juga tentang pertemuan. Baik antar band maupun mereka yang sekadar nongkrong. Momentum menunggu antrian menggunakan studio adalah bagian epistemik di studio. Disinilah pertukaran informasi dan pengetahuan terjadi. Informasi tentang info festival atau bazar musik yang akan diadakan dalam waktu dekat beredar disini. Tidak hanya itu, ruang tunggu studio juga bisa jadi tempat pertukaran referensi tentang musik yang saat itu tak semua bisa dengan mudah mengaksesnya seperti sekarang. Saat itu ada studio musik yang menyediakan radio tape di ruang tunggu. Sambil menunggu antrian latihan, biasanya akan ada yang memutar kaset untuk didengarkan dan diulik bersama-sama.

Cerita lain juga datang dari ruang-ruang sempit perpustakaan di era pasca 2010. Era ini jadi penanda fase baru perkembangan skena musik Makassar yang berkelindan dengan gerakan literasi. Perpustakaan komunitas seperti Kedai Buku Jenny dan Katakerja yang lahir di era itu bisa dibilang sebagai pionir kemungkinan ini terjadi. Bentuk awalnya adalah helatan micro gigs atau panggung musik sederhana dengan format berbeda yang jadi program rutin kedua perpustakaan komunitas ini. Di panggung seperti KBJamming yang volume pertamanya diadakan pada awal 2013, kita tidak hanya menyaksikan sekaligus menikmati karya dari teman-teman musisi atau band Makassar tapi sekaligus menjadikan musik sebagai medium untuk berbagi cerita tentang kota. Menurutku, banyak kerjasama dan kolaborasi yang terjadi antara komunitas literasi dengan teman-teman musisi dalam satu dekade belakangan awalnya bisa dilacak dari panggung rendah tanpa barikade seperti KBJamming atau Menyimak di Katakerja.

Skena Musik dan Inisiatif Pendokumentasian

Salah satu inisiatif penting yang tumbuh di era kolaborasi pasca 2010 adalah tumbuhnya kesadaran tentang pentingnya mendokumentasikan peristiwa dan cerita yang menyertai perkembangan skena musik populer di Makassar. Hal ini penting untuk dilakukan karena cerita dan sejarah ini seringkali hanya disampaikan secara verbal oleh para pelaku skena musik baik secara formal misalnya dalam diskusi, namun lebih banyak secara informal saat berada di tongkrongan. Selain itu, narasi tentang skena musik Makassar dan sejarahnya relatif tidak muncul dalam literatur tentang perkembangan musik populer di Indonesia yang masih didominasi kota-kota seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Kalaupun ada, porsinya sangat terbatas dan tidak detail.  Bahkan di jagad maya, data dan informasi tentang band yang cukup senior misalnya sangat terbatas. 

Inisiatif pendokumentasian ini muncul dalam format populer hingga akademik. Pada era pasca 2010 misalnya muncul majalah seperti Vonis atau Opium yang banyak mencatat dan melaporkan berbagai peristiwa musik di Makassar. Yang cukup lama dan dianggap sebagai penyelamat dokumentasi musik Makassar adalah webzine  Revius. Selain itu, ada beberapa project penelitian yang kemudian dibukukan, diantaranya buku berjudul 100 Tahun Musik Populer Makassar yang ditulis oleh Anwar Jimpe Rachman, juga ada beberapa buku yang diterbitkan oleh Kedai Buku Jenny seperti Soundscape: Makassar, Musik dan Catatan tentang Kota, Siasat Seni Kala Pandemi dan yang terbaru Glosari Memorabilia Skena Musik Makassar 1990-2019.

Lalu Apa Setelahnya?

Seperti yang terjadi di banyak kota di Indonesia bahkan di seluruh dunia, masa pandemi beberapa tahun kemarin yang menjadi sebab pembatasan aktivitas termasuk geliat industri musik, ternyata tidak menghentikan munculnya banyak inovasi produksi dan presentasi karya. Dan mungkin itu sebabnya mengapa aktivitas industri musik pasca pandemi tak perlu menunggu waktu lama untuk kembali bangkit dengan bentuk yang beragam dan intensitas yang semakin tinggi. Pertunjukan musik dalam format festival dapat kamu saksikan berkali-kali dalam sebulan. Panggung-panggung mikro juga masih bisa dijumpai dalam format yang lebih disiapkan dengan baik. 

Bagi saya, apa yang sedang terjadi saat ini dalam konteks skena (kultural) maupun industri musik beserta masalahnya seperti akses musisi atau band lokal terhadap festival-festival musik yang masih menjual line up band asal Jawa atau akses terhadap infrastruktur yang masih terbatas perlu terus dicatat atau direkam agar siapa saja bisa tau bahwa kota ini juga asik. Ia tidak hanya tentang narasi utama yang terus melabeli kota ini. Teruslah merekam agar ia tak mati!

Penulis: Zulkhair Burhan

Foto: Memorabilia Trip at Lorong Ceria 2025 oleh Feby Ardiatri Pasangka

Artikel ini sebelumnya terbit di zine Soundrenaline Makassar 2025


Komentar

Postingan Populer