Ms. Oishi Bisa Apa? Catatan Singkat Novel Twenty-Four Eyes Karya Sakae Tsuboi
"Jangan mati terhormat, pulanglah dengan selamat"
Satu kalimat Ms. Oishi ini membuat saya sesenggukan beberapa menit. Kalimat ini cukup kuat memberi tahu saya, bagaiamna dia tidak bisa apa apa di bawah kuasa perang. Bahkan posisinya sebagai guru yang dicintai, dihormati, tidak bisa mencegah perang dan berita kematian demi kematian yang datang.
Buku ini saya baca sebagai upaya lari dari timeline, deadline dan toxic scrolling, dari hari ke hari. Saya memaksakan 20 menit saja membaca dalam sehari.
Bukunya saya pilih acak dari buku sumbangan Gramedia untuk KBJ beberapa waktu lalu. Tapi dari sampul dan blurb nya saya tahu betul, buku ini tentang anak anak di Jepang.
Jepang dan pendidikannya seringkali jadi kiblat saya melihat bagaimana kehadiran negara dalam pendidikan karakter anak anak. Bahu membahu bersama masyarakat sehingga menjadi kultur yang mengakar.Beruntungnya buku ini tidak memperlihatkan itu. Diceritakan dengan latar dekade 30 hingga 40an, dimana Jepang berada di masa perang dunia, terlibat aktif dalam perang dari sudut desa terpencil yang hanya bisa ditembus lewat perahu dan jalan kaki.
Cerita ini disajikan lewat sudut pandang Ms Oisihi seorang guru muda yang berkenalan dengan 12 anak didiknya di desa yang sangat miskin. Sejak sekolah Dasar hingga anak anak itu tumbuh dewasa.
Perjalanan Ms Oishi sebagai seorang guru adalah perjalanan dilematis, dimana ia tidak bisa mengambil jarak dengan anak anak didiknya. Terlibat berarti mengorbankan hidupnya yang juga tidak begitu baik. Karena memang di masa perang, tidak ada yang terlihat baik.
Iya melihat bagaimana anak anak perempuan tumbuh dengan ketakutan nyaris tanpa semangat. Mereka melihat masa depan hanya seperti ibu mereka, bergumul di dapur, dan menjadi nelayan pembantu suaminya.
Ia melihat anak anak laki laki tumbuh dengan doktrin bahwa mereka kelak akan berjuang di medan perang atas nama negara.
Kemiskinan, penelantaran, berita kematian membuat Ms.Oishi mempertanyakan untuk apa dia menjadi guru, jika tidak bisa menyelematkan anak anaknya.
Cerita ini dikemas ceria di awal namun semakin lama semakin suram. Saya sempat berhenti membacanya sekitar 2 hari karena merasa cerita tokoh anak anaknya tidak dieksplorasi lebih dalam. Terkesan setengah setengah dan melompat lompat.
Namun, saya memaksa meneruskan dan tiba tiba saya masuk saja dengan sangat emosional apalagi ketika anak anak itu remaja. Mereka menghadapi kenyataan dinikahkan, dipekerjakan paksa, menjadi tentara, dan Ms Oishi ada di sana.
Sejak awal hingga akhir Ms Oishi menentang perang, menentang keputusan pemerintah, menentang siswa laki lakinya untuk menjadi tentara.
Namun ia tidak punya kekuatan, seperti kebanyakan orang lainnya. Ia rela dianggap pengecut oleh anaknya sendiri. Ia rela dianggap tidak patriotik.
Perang baginya bukanlah menang dan kalah. Tapi soal manusia yang harus mati dan entah sedang membela apa. Kematian tidak berguna, menurutnya.
Tapi, Ms Oishi bisa apa?
Ibu Nyhtha
Moncongloe, 6 Oktober 2025
Komentar
Posting Komentar